Menguak Pola Pikir Pendukung Teroris di Indonesia



Semenjak merebaknya berita pengeboman gereja di Surabaya, banyak para pendukung teroris keluar dari sarangnya. Mereka pun segan melontarkan kata - kata tak beretika di kala situasi tengah berduka. Salah satunya adalah dugaan itu konspirasi atau rekayasa, entah rekayasa pemerintah, asing, yahudi, komunis, dan lain sebagainya yang intinya kata - kata yang kurang tepat yang seharusnya tak keluar saat itu. Ada suatu hal ketika terjadi kehebohan di dunia nyata ataupun dunia maya terkait berita terorisme yang membuat mereka seakan malas untuk membicarakannya walau ada yang mengutuknya, di sisi lain mereka terus menggiring opini sekaligus mengalihkan topik bahwa seakan teroris tidak bersalah. Mereka seperti setengah ketika mengutuk aksi terorisme. Dan untuk itu inyong akan coba membahas pola pikir mereka dalam konteks teroris di Indonesia.

Jika melihat konteks teroris Indonesia saat ini maka ada haluan kelompok yang berkiblat ke ideologi terorisme di timur tengah sana yakni Al - Qaeda dan juga ISIS. Keduanya mempunyai masanya sendiri, setelah kejadian tragedi 9/11, Al - Qaeda dan juga Taliban sangat terkenal pada saat itu. Ideologi ekstrim begitu pula dengan mereka yang menganggap bahwa Amerika dan sekutunya adalah musuh, mereka meneror tempat manapun yg terdapat orang sipil yang berwarga negara Amerika dan sekutunya walau orang sipil ini tak tahu apa - apa, cara teror mereka adalah dengan teror bunuh diri dengan ledakan bom yang luar biasa, kalau di Afghan sendiri terkadang menggunakan mobil yang nantinya diledakkan dari dalam. Tentu ini sedikit berbeda dengan ISIS yang tak hanya menggunakan bom tapi juga pisau bahkan dengan truk yang nantinya ditabrakan ke orang - orang seperti yang terjadi di Eropa tahun sebelumnya dan tujuan mereka saat ini adalah membuat negara khilafah versi mereka sendiri di daerah Suriah dan Irak. Kedua kelompok besar itu sama - sama mencari anggota mereka dari luar daerah mereka seperti salah satunya adalah Indonesia dengan membentuk cabang kelompok sendiri namun masih berafiliasi dengan mereka misalnya JI dan juga JAD.

Dalam hal ini tentu yang berbahaya bukan cuma teroris itu sendiri namun juga pendukungnya yang berwujud seperti siluman tengkorak di serial kera sakti yaitu sok merasa dizalimi agar tujuan buruknya bisa terpenuhi. Mereka para pendukung biasanya memberikan dukungan baik lewat dunia maya atau dunia nyata secara langsung atau tak langsung seperti ketika demo malah membawa bendera isis. Namun di era modern seperti ini, pergerakan para pendukung lebih leluasa lewat media internet, lebih spesifik website berupa sosial media. Mereka selalu membuat kegaduhan di kala terjadi aksi terorisme. Kegaduhan itu juga dibuat karena pola pikir buruk mereka ketika bereaksi terhadap kejadian terorisme. Untuk selanjutnya mari kita simak bentuk pola pikir mereka jauh lebih dalam agar bisa mengantisipasi serangan - serangan dalam dunia maya.

- Pola Pikir Denial/Mengelak Jika Faktanya Kubunya Berbuat Salah

Ya, pemikiran seperti ini sudah tertanam kuat bagi para pendukung teroris. Di dalam benak pikiran mereka yang utama adalah kubu mereka pada pendukung teroris atau kelompok radikal itu tak pernah salah, jika benar adanya maka itu bukan perbuatan mereka melainkan konspirasi pihak tertentu yang ingin menjatuhkan mereka entah itu pemerintah, polisi, atau kubu lain yang bersebrangan dengan pemikiran ekstrim mereka. Dalam konteksnya di Indonesia, biasanya baik kelompok radikal/ekstrimis dan juga konservatif/puritan punya satu pemikiran dan dalam posisi dunia perpolitikan Indonesia, mereka berada di kubu oposisi. Karena itulah ketika ada kasus pengeboman kemaren, banyak para pejabat oposisi yang juga punya pemikiran yang sama yaitu aksi terorisme adalah konspirasi pemerintah, bahkan ketika mereka memberikan argumen tanpa bukti yang kuat. Baik teroris, pendukung teroris dan oposisi berada di pihak yang sama yaitu kubu oposisi karena mereka seakan bersama melawan pemerintah yang zalim. Tentu mengkritik kebijakan pemerintah bukan hal yang salah apabila dilakukan dengan beretika dan penuh sikap kritis misal dengan berkata sopan/santun, menjelaskan dengan detil mana yang salah dan apa solusinya, lalu sertakan bukti yang teruji kevalidannya dan kredibel. Namun dalam konteks baru - baru ini, para pejabat itu seolah tak peduli dengan perasaan korban, tak punya empati, mereka dengan mudah menuduh aksi terorisme hanyalah rekayasa tanpa bukti yang kuat. Hal itu juga didorong akan kepentingan politik di mana momen seperti ini para pejabat akan memberi ocehan kepada pemerintah bahwa mereka lalai, tentunya momen ini pas buat mereka karena bisa menjatuhkan mereka dan menarik simpati masyarakat agar mau memilih mereka kembali setelah sampai saat ini masyarakat jerah kepada mereka. Mereka hanya bisa menyalahkan tanpa memberi solusi, mereka sesungguhnya tak peduli itu terorisme mau ada korban berapa yang penting ini momen pas buat menjatuhkan pemerintahan yang ada.

Sedangkan pendukung teroris yang notabene kelompok radikal dan konservatif yang sepemahaman dengan mereka dan juga mungkin para teroris itu sendiri juga harus memastikan bahwa citra atau image mereka tetap baik di kala ada aksi terorisme. Kenapa? Karena jika imagenya turun atau menjadi jelek maka mereka akan sulit mendapatkan anggota kembali, anggota yang sepemahaman dengan mereka atau anggota baru yang harus dicuci otak agar bisa sepemahaman dengan mereka. Jika itu terjadi maka mereka akan kehilangan dukungan, jika kehilangan dukungan maka tujuan utama mereka bisa buyar atau hancur. Apa tujuan utama mereka? Ya tidak jauh - jauh politik kekuasaan di mana mereka juga menggunakan unsur agama sebagai jalan pintas misalnya seperti menuduh pemerintahan yang ada yoghurt eh tobrut eh thogut dan harus digulingkan dan digantikan dengan sistem pemerintahan yang mereka kehendaki misal kalau ISIS ya pemerintahan khilafah namun dengan aturan yang lumayan bar - bar, atau seperti DI/TI yang ingin manjadikan Indonesia negara islam dengan cara yang ekstrim. Mereka sangat tidak menghendaki demokrasi dan pancasila, untuk itu Indonesia harus segera digulingkan secepat mungkin.

Lalu bagaimana cara mereka menjaga image mereka di kala ada aksi terorisme itu sendiri di dunia maya atau nyata?

Simpel, jawabannya adalah teknik red herring. Apa itu teknik red herring? Yaitu teknik yang sering digunakan saat debat ketika lawan debat terpojok maka ia akan mencoba mengalihkan pembicaraan ke arah topik yang sangat ia kuasai namun tak dikuasai orang yang menyerangnya bahkan ketika topik itu konyol sekalipun namun mujarab untuk mebalikan keadaan dan bisa memenangkan debat. Itulah kenapa ketika ada aksi terorisme, yang menelan banyak korban, para pendukung teroris dengan mudah menuduh itu adalah konspirasi. Ya karena mereka sangat ahli dalam hal ini, beberapa orang pendukung mungkin sering mendengar ocehan para pemimpin pendukung teroris itu terus berdongeng indah bahwa banyak konspirasi memojokan umat mereka biasanya dalam hal ini mereka suka membawa - bawa islam bahkan ketika mereka para pendukung teroris itu tidak mewakili islam secara keseluruhan. Dongeng yang diceritakan terus menerus itu akhirnya tertanam kuat di benak kepala mereka sehingga mereka sangat yakin bahwa konspirasi itu benar adanya. Dan ketika aksi pengeboman terjadi, mereka tinggal bilang ini semua konspirasi untuk menjatuhkan kelompok mereka atau dalam konteks pengeboman sebelumnya mereka akan berkata konspirasi memojokan islam. Mereka yang awam dan bersebrangan dengan mereka tentu kaget mendengar hal ini karena dibenak mereka tak ada yang namanya konspirasi pemerintah buat menjatuhkan umat mereka karena pemerintah sendiri mayoritas juga seagama dengan mereka. Ya ini aneh, para pendukung teroris itu uniknya secara gak niat bilang mereka mengutuk aksi terorisme, ini ibarat penjual narkoba memperingatkan narkoba bahaya karena bisa membuat overdosis. Para pendukung teroris itu sebagian juga bergerak sporadis dan masif di dunia maya. Hadir di segala grup sosial media, fanpage terutama portal berita terkenal dan lain sebagainya, menyebarkan pesan bahwa aksi terorisme adalah bentuk rekayasa pemerintah dan juga pengalihan isu atau apapun itu bentuknya. Tujuan mereka yakni mengalihkan pembicaraan publik dari yang tadinya menyalahkan teroris menjadi menyalahkan pemerintah.

Lebih tepatnya mereka itu seperti orang yang tahu dirinya sakit tapi bukannya mengobatinya malah membiarkannya. Mereka terus denial seolah mereka tak pernah sakit, jika sakit maka itu adalah hal yang mustahil, ya seperti itu. Mereka sengaja tak ingin membahas ada yanh salah di kubu mereka atau para manusia yang salah dalam menjalankan agamanya, bukannya menjadi pahlawan tapi malah menjadi teroris yang dibenci publik. Para pendukung teroris tentu malu membahas itu, terkait image atau citra yang saya bahas sebelumnya, mereka malas membahas aib dari kubu mereka, karena itu mungkin bisa merusak segala rencana yang ada. Image mereka sudah hancur karena aksi terorisme, namun pendukung teroris itu tak kehilangan akal, supaya mereka kembali dapat banyak dukungan maka mereka harus mengembalikan citra mereka kembali salah satunya ya dengan menuduh atau mengkambinghitamkan pemerintah. Ibaratnya dalam berbisnis, tentu tak ada yang mau membeli produk dengan image yang buruk karena kualitasnya, iklannya yang jelek, desainnya yang buruk dan sejenisnya. Mana ada orang yang akan bergabung dengan mereka jika mereka terus membahas kebobrokan sebagian dari mereka. Jika kita lihat, mereka lebih memilih menenggelamkan isu pelaku teroris (entah karena malu atau aib sesama kudu dijaga) dan lebih memblow up isu rekayasa atau teroris adalah pengalihan isu. Ya mereka lebih senang membahas isu rekayasa ketimbang pelaku teroris yang jelas salah itu. Tapi kalau tidak gini, seperti yang saya katakan sebelumnya bahwa tak ada orang yang mau bergabung dengan para pendukung teroris berbalut agama itu.

Para pendukung teroris itu udah masuk tahap radikal tapi belum setinggi para teroris itu. Mudah mengidentifikasi mereka, pada dasarnya mereka lebih suka hoax ketimbang fakta tapi menyakitkan. Mengedepankan emosi atau perasaan ketimbang rasa kritis dan bijaksana ketika menanggapi berita sensitif. Gak punya etika, tidak kreatif dan selera humornya rendah atau tidak mudah tertawa, jika tertawa atau senang biasanya terkait diskriminasi sara atau pandangan politik yang ekstrim. Dalam konteks teroris seperti JI, JAD, atau pandangan radikalisme yang sejenis misalnya, ketika melihat dan mendengar unsur Yahudi, Cina, PKI, Syiah, Ahmadiyah, Kristen, Amerika, atau pihak berwenang seperti polisi, bawaannya pinginnya rusuh saja. Jika ada orang seperti itu, bukan tak mungkin suatu saat bisa terumus ke dalam limbah terorisme.

Related Posts

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel