Apa Alasan Logis di Balik Mitos Kutukan Juara Bertahan?
Thursday, June 28, 2018
(Instagram/withneuerandco)
"Mempertahankan gelar/prestasi/sesuatu lebih sulit ketimbang merebutnya." kata kutipan anonim yangkadang sering berseliweran di telinga kita. Itulah yang terjadi khususnya di sejarah Piala Dunia.
Tadi malam baru saja tim Der Panzer, Jerman, harus menelan pil paling pahit dalam sejarah World Cup. Mereka tidak lolos babak grup Piala Dunia 2018 setelah dikalahkan Korea Selatan, negara yang sudah delapan kali gagal lolos babak grup dari sepuluh kali keikutsertaan di Piala Dunia. Meski Korea Selatan juga harus ikut pulang ke negaranya, sebagaimana Jerman yang harus mengepak barangnya untuk pulang, namun Korea Selatan pulang dengan rasa bangga setelah membobol gawang Juara Bertahan Piala Dunia, Jerman, sebanyak 2 gol di menit-menit terakhir.
Siapa yang tidak ingin mengalahkan juara dunia? Terlebih menjadi penentu nasib Sang Juara Bertahan di bagian permulaan Piala Dunia. Itulah yang dirasakan Korea Selatan, atau bahkan Meksiko yang telah berhasil membobol gawang Jerman dan menoreh kemenangan atas Jerman.
Kekalahan Jerman seakan membenarkan mitos kutukan juara bertahan, dan turun temurun dari masa ke masa:
Prancis sebagai juara Piala Dunia '98, telah gugur di babak grup pada Piala Dunia berikutnya, tahun 2002.
Empat tahun setelah juara Piala Dunia 2006, Italia gagal melewati babak grup pada Piala Dunia 2010.
Empat tahun setelah juara Piala Dunia 2006, Italia gagal melewati babak grup pada Piala Dunia 2010.
Spanyol, juara Piala Dunia 2010, gagal lolos babak grup pada Piala Dunia 2014.
Jerman, juara Piala Dunia 2014 sekaligus juara bertahan, tahun ini harus pulang dengan rasa malu karena gagal di babak grup karena tidak berhasil membobol gawang Korea Selatan.
Permainan Jerman di Grup F terbilang mengecewakan. Setelah gawangnya kebobolan 1 gol oleh Meksiko, posisi Jerman terancam. Di pertandingan kedua, Jerman pun terlihat kurang sangar, hingga Reus dan Kroos menyelamatkan Jerman dari kekalahan, dan berakhir menang atas Swedia 2-1. Dengan jumlah poin yang sama dengan Swedia, Jerman hanya butuh menang dari Korea Selatan yang saat itu berada di posisi terbawah Grup F.
Sayangnya, di pertandingan sebelah, Swedia melawan Meksiko, Swedia justru unggul dengan 3 gol, sedangkan Meksiko belum menorehkan gol satupun. Posisi Jerman makin terancam, dan satu-satunya cara agar lolos grup adalah menorehkan setidaknya satu gol saja dan tidak kebobolan, untuk menandingi posisi Meksiko dengan 4 kebobolan sejauh pertandingan babak grup. Namun, hingga akhir pertandingan, serangan Jerman terhadap gawang Korsel semuanya tumpul dan berhasil dihalau Kiper Korsel, Jo Hyeonwoo, yang menunjukkan performa terbaiknya.
Setelah Korsel berhasil membobol gawang Neuer, menit-menit terakhir, Neuer nampaknya terlalu bersemangat sehingga menyerang terlalu jauh hingga ke daerah pertahanan Korsel. Seakan tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan dimana Neuer jauh dari gawang, dan lini tengah Jerman begitu kosong, Son Heung-min menggiring bola hingga ke sisi gawang Jerman dan menendang gol terakhirnya di Piala Dunia 2018.
Blunder yang dilakukan Neuer, kurang ngototnya permainan Jerman, tumpulnya tendangan Jerman ke arah gawang Korsel, dan kecerdikan Son Heung-min memanfaatkan kesempatan, jadi faktor penentu Jerman pulang ke tanah airnya tanpa membawa kemenangan.
Apakah ada alasan logis di balik sebutan "kutukan" atau "mitos" juara bertahan ini?
Menjadi juara, ada banyak rasa sakit, pengorbanan, dan ketidaknyamanan di baliknya. Yang paling berarti bagi sang juara selain kemenangan, adalah proses di belakangnya. Proses menaiki tangga juara, di situlah seluruh fokus dan seluruh upaya maksimal ditorehkan. Namun, ketika gelar juara itu sudah di tangan, hal yang paling sulit berikutnya adalah konsistensi dan komitmen.
Permainan Jerman di Piala Dunia tahun ini jauh berbeda 180 derajat ketimbang sebelumnya. Konsistensi berkurang, terlebih, setelah Jerman ditinggal pemain-pemain terbaiknya yang memutuskan pensiun; Miroslav Klose, Phillip Lahm, Per Mertesacker, dan Bastian Schweinsteiger. Pelatih Jerman, Joachim Löw, pun terlihat mengubah posisi pemain penting seperti Mesut Özil ke posisi 6 (tadinya 10), dan Thomas Müller ke posisi 10. Terlebih, Goetze sebagai pencetak gol pada final Piala Dunia 2014 lalu, tidak dipilih dimainkan kembali tahun ini, dengan berbagai alasan performa yang menurun pada pertandingan di liga dan klub.
Quote:
Meski Jerman secara statistik lebih dominan pada ball possession dan akurasi passing, tumpulnya tembakan mengarah yang ke gawang jadi faktor kekalahan Jerman kemarin. Ditambah performa terbaik kiper Korsel yang mencengangkan.
Dilansir dari CNN Indonesia, Neuer mengakui para pemain kurang ngotot dalam bermain di tiga pertandingan.
Quote:
Performa yang menurun. Drastis. Mungkin menjadi alasan utama di balik "mitos kutukan juara bertahan". Faktor performa yang menurun bisa banyak, misalnya terlalu percaya diri dengan gelar sebelumnya, kurangnya motivasi karena merasa target sudah tercapai sebelumnya. Atau kurangnya motivasi untuk meraih target ke level yang lebih tinggi tidak terlalu kuat. Stamina pemain juga menjadi faktor turunnya performa, misalnya saja Neuer yang belum fit dan staminanya belum kembali seperti performanya di piala dunia sebelumnya, sebagai peraih Golden Glove, Piala Dunia 2014.
Adakah alasan lainnya di balik mitos kutukan juara bertahan? Percaya diri yang terlampau tinggi, bisa jadi faktor psikologis yang mempengaruhi. Banyaknya sorotan yang ditujukan kepada mereka para peraih gelar juara, membuat fokus mereka teralihkan dari target kemenangan berikutnya dan berujung minimnya strategi baru untuk menang.
Terakhir, semua negara ingin mengalahkan Sang Juara di kesempatan apapun. Akan ada imbalan rasa bangga yang tinggi ketika mampu mengalahkan Sang Juara. Dengan target mengalahkan sang juara yang begitu besar, tentunya fokus lebih tinggi, strategi lebih tajam, analisa permainan lawan (Sang Juara) digali lebih dalam.
Upaya keras dan pantang menyerah terlihat dari permainan Meksiko, Korea Selatan, dan Swedia yang mengeluarkan seluruh daya dan upayanya sekeras mungkin untuk memenangkan pertandingan. Meski Korea Selatan tetap keluar dari babak grup di akhir cerita, namun Korea Selatan pulang dengan bahagia dan rasa bangga. Sedangkan Jerman pulang membawa rasa malu yang terelakkan. Wajah kekecewaan fans Jerman berbanding terbalik dengan wajah kebahagiaan fans Korsel, meski keduanya sama-sama pulang.
Kekecewaan Fans Jerman di nobar terbuka langsung dari negaranya/County Times
Fans Korea Selatan merayakan kemenangan atas Jerman, meski tetap tidak lolos babak grup F/Vaaju
Gimana menurut Agan, apa alasan logis di balik mitos kutukan juara bertahan?