Dewi Kanti: Agama Leluhur Bukan Ancaman
Dewi Kanti: Agama Leluhur Bukan Ancaman
SABTU, 18 NOVEMBER 2017 01:22 WIB
REPORTER: ADMINISTRATOR
EDITOR: ADMINISTRATOR
Dewi Kanti: Agama Leluhur Bukan Ancaman
Pada 7 November lalu, Mahkamah Kon-stitusi mengabulkan gugatan uji materi atas pasal dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang mewajibkan kolom agama dalam kartu tanda penduduk diisi dengan agama yang diakui negara. Setelah putusan ini, kolom agama di KTP dapat diisi dengan keterangan "penghayat kepercayaan".
Juru bicara Masyarakat Adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan, Dewi Kanti Setianingsih, yang ikut menjadi saksi dalam sidang uji materi tersebut, menyatakan putusan ini membuka gerbang kemerdekaan bagi para penghayat kepercayaan. Selama ini, menurut keturunan pencetus kepercayaan Sunda Wiwitan di Cigugur, Madrais, tersebut, para penghayat kepercayaan hanya bisa menjadi penonton kemerdekaan.
"Sudah 72 tahun Indonesia merdeka, kami belum masuk ke ruang kemerdekaan itu," ujar perempuan 42 tahun itu.
Namun, kata dia, perjuangan belum selesai. Dewi dan rekan-rekannya dari penganut kepercayaan lain ingin memperjuangkan agar kolom agama di KTP dapat diisi dengan nama kepercayaan, tidak hanya keterangan "penghayat kepercayaan". "Karena nama itu punya arti," dia mengungkapkan. Berikut ini petikan wawancara wartawan Tempo, Angelina Anjar Sawitri dan Diko Oktara, dengan Dewi di Paseban Tri Panca Tunggal, Cigugur, Kuningan, Jawa Barat, Rabu siang lalu.
Apa makna putusan Mahkamah Konstitusi bagi para penghayat kepercayaan?
Terlunasinya utang-utang peradaban. Sudah 72 tahun Indonesia merdeka tapi kami masih begini-begini saja. Menonton sebuah ruangan yang katanya merdeka, tapi kami belum masuk ke ruangan itu. Untuk membuka pintu kemerdekaan itu masih ada hambatan dari penyelenggara negara yang tidak konsisten dengan pesan konstitusi.
Tidak konsisten bagaimana?
Pesan Undang-Undang Administrasi Kependuduk-an adalah mencatat segala peristiwa kependudukan, tanpa diskriminasi. Selama ini, di lapangan, kolom agama kami di KTP diberi tanda setrip. Tanda setrip itu pun baru bisa dicantumkan setelah 2006, setelah Un-dang-Undang Administrasi Kependudukan. Setrip kami terima, daripada bohong (mencantumkan agama yang tidak dianut).
Bagaimana dengan dokumen yang lain?
(Dewi menunjukkan kepada kami foto akta kelahiran salah seorang penganut Sunda Wiwitan. Dalam akta tersebut hanya dituliskan, "Telah lahir seorang anak perempuan bernama IK, anak kedua dari seorang perempuan bernama IK". Nama ayahnya tidak dituliskan. Dalam akta lain yang mencantumkan nama ayah, tertulis, "Telah lahir seorang anak perempuan bernama DM, anak kedua dari seorang perempuan bernama EJ, yang telah diakui oleh seorang laki-laki bernama ES (sebagai ayahnya) di bawah Akta Pengakuan Anak")
Jadi seperti anak angkat. Padahal dia ayah biologis dari si anak. Anak saya pun belum dibuatkan akta kelahiran. Orang saya tidak punya akta perkimpoian. Ha-ha-ha
Mengapa begitu?
Setelah menikah, saya dan suami ke kantor catatan sipil. Tapi di sana ditolak karena menurut petugas tidak ada petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis untuk perkimpoian penghayat. Karena itu, kami tidak punya akta perkimpoian kecuali dari internal. Meskipun negara tidak mengakui kami, di komunitas kami membuat berita acara.
Apa lagi diskriminasi yang dialami oleh penghayat?
Waktu saya kehilangan dompet, surat kehilangan di kepolisian nyaris tidak bisa dicetak kalau tidak mengaku beragama. Kalau tidak memilih salah satu agama di komputer, tidak bisa tercetak karena invalid. Beberapa pemohon uji materi seperti dari Parmalim, Sapta Dharma, Marapu, dan Ugamo Bangso Batak, juga kehilangan kesempatan untuk mendaftar sebagai tentara ataupun melamar pekerjaan. Di komunitas kami, ada anak SMK yang tahun ketiga disalurkan oleh sekolah untuk praktik di perusahaan, dikembalikan ke sekolahnya lagi karena dianggap tidak beragama.
Di dunia pendidikan pun terjadi diskriminasi?
Ya. Kalau di dunia pendidikan, kolom agama pada data pokok peserta didik juga dibatasi hanya enam agama, serta "lainnya". Tapi, kalau diisi "lainnya", invalid. Hal ini membuat sekolah menggiring siswanya untuk memilih agama yang bukan keyakinannya. Misalnya ketika pendaftaran, sekolah memberi tahu ibu si siswa, "Bu, kalau anaknya tidak mau susah, pilih salah satu agama saja." Pernah juga ada anak SMP yang disidang guru dan kepala sekolah dan dituduh tidak bertuhan. Tidak boleh menyebut Gusti (penyebutan Tuhan oleh para penganut Sunda Wiwitan).
Anda pernah mengalami diskriminasi di sekolah?
Saya waktu SD itu sudah banyak tekanan. Apalagi pada 1980-an itu sedang hangat-hangatnya para penindas kami. Kami sebagai keturunan biologis langsung dari tokoh adat merasa harus berjarak dari sini. SMP, saya sekolah di Tangerang. Ketika di sana, saya mengaku sebagai penghayat, dan diterima. Kuncinya adalah saya menjadi asisten guru bahasa Sunda. Saat itu, saya tidak terlalu mendapat tekanan karena dianggap berguna bagi sekolah. Ketika SMA di Jakarta, nilai praktik agama saya hanya 6. Saya keberatan untuk ikut praktik. Orang tua dipanggil untuk bernegosiasi dengan kepala sekolah. Akhirnya saya tidak ikut praktik. Sebetulnya, ikut pelajaran teori agama apa pun bukan persoalan bagi kami. Tapi, untuk praktik, itu berbeda.
Para penghayat memang selalu mengikuti pelajaran agama lain?
Ya, selama ini ikut pelajaran agama yang ada di sekolah. Pilih salah satu.
Bagaimana orang tua memberikan pendidikan agama di rumah, jika di sekolah diajarkan yang berbeda?
Memberikan pemahaman kepada anak memang menjadi tantangan tersendiri. Ketika di luar dia mendapatkan konsep yang berbeda, kami memberikan pemahaman kepercayaan lewat kegiatan budaya. Kami juga mengadakan pembekalan setiap tiga atau enam bulan di sini. Mereka pun diajak untuk melihat komunitas lain, misalnya Ahmadiyah. Kami undang mereka untuk saling menguatkan. Jadi, mereka tidak merasa sendiri. Sekitar tujuh tahun ini, kami juga berinisiatif mendekati beberapa SMP dan SMA agar kami bisa memberikan nilai kepada siswanya atas pembekalan ajaran setiap minggunya di komunitas. Kami setor soal ketika ulangan agama, lalu sekolah menunggu setoran nilai dari kami.
Apa inti ajaran Sunda Wiwitan?
Dasarnya pada kesadaran asali. Manusia sekarang itu tidak mungkin ada tanpa leluhur-leluhur. Kita tidak mungkin ada, tidak mungkin memiliki pemahaman dan tuntunan menata kehidupan, tanpa ada orang-orang tua kita dulu. Artinya, yang mengajarkan nilai kemanusiaan, yang mengajarkan nilai ketuhanan, ya para leluhur.
Ada pedoman tertulisnya?
Tuntunan tertulis ada. Ada "Sanghyang Siksakanda Karesian", ada "Amanat Galunggung". Setiap periode sejarah, leluhur kami mewariskan peradaban tulisan. Pangeran Madrais juga menulis wasiat sebagai hukum adat.
Bagaimana cara berdoa Sunda Wiwitan?
Kami meditasi. Kalau perempuan bersimpuh, ka-lau laki-laki bersila. Tapi yang paling penting adalah posisi tangan di mana jempol saling bertemu. Ini simbol kekhasan setiap orang karena sidik jari tangan tidak ada yang sama. Ketika menyatukan kanan dan kiri, kami meyakini ini sebagai bentuk menyatukan napas dengan denyut jantung. Lalu, dengan mata tertutup, kami mengucapkan syukur dalam bahasa Sunda kepada Yang Maha Kuasa, tapi bukan permohonan. Kami juga membayangkan dan mensyukuri apa yang kami miliki mulai dari ujung kaki hingga ujung rambut. Pada pencapaian tertinggi, kami bisa melihat wajah, seperti becermin.
Kapan dan di mana meditasi bisa dilakukan?
Di mana saja, kapan saja. Tapi, waktu tertentu juga ada, yakni menjelang matahari terbit dan terbenam, karena itu proses pergantian aura. Terkadang kami juga berdoa di situs. Situs adalah tempat yang sudah dipilih leluhur kami sebagai tempat yang katakanlah kalau sekarang itu stasiun pemancar, penerima dan penangkap gelombang kesemestaan. Tidak semua tempat memiliki titik-titik koordinat yang cukup baik untuk meditasi. Leluhur-leluhur kami sudah meninggalkan jejak-jejak itu.
Apakah ada ritual lain, misalnya berpuasa?
Kami berpuasa menjelang Seren Taun (Hari Raya Sunda Wiwitan). Lamanya tergantung sesepuh adat, ada beberapa petunjuk.
Sunda Wiwitan kerap dianggap sempalan Islam, benarkah?
Itu adalah upaya Belanda mengadu domba kami de-ngan kelompok pesantren saat zaman penjajahan. Kami distigmatisasi oleh Belanda sebagai penyem-bah api dan sempalan Islam. Sebetulnya, gerakan kebudayaan kami menumbuhkan nasionalisme. Itu menjadi ancaman untuk penjajah, sehingga supaya nasionalisme tidak bangkit, pecah belah, dan jajahlah. Sampai saat ini, stigma itu terbawa karena ba-nyak orang yang senang memperjualbelikan "katanya" tanpa klarifikasi. Leluhur kami kan sudah ada sebelum negara ini ada. Berkembangnya agama-agama yang ada sekarang juga atas kebesaran jiwa para leluhur kami. Artinya, leluhur kami tidak mempersoalkan agama-agama itu berkembang di Nusantara.
Bagaimana dengan lembaga-lembaga keagamaan yang keberatan dengan putusan MK?
Persoalannya adalah ke-senjangan informasi. Ada pemahaman yang tidak nyambung. Ada praduga. Sebetulnya, prinsip agama itu menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Bukan berebut pembenaran, tapi memperjuangkan kebenaran. Kebenaran itu bisa kita temukan ketika kita memaknai dan menghormati kemanusiaan.
Katanya kan bangsa Indonesia berketuhanan yang maha esa dengan se-mangat memuliakan kemanusiaan dan setiap agama juga menuntun ajaran cinta kasih. Harusnya tidak ada lagi alasan bagi penganut agama apa pun untuk menghambat putusan ini. Tidak perlu juga merasa ketika hak konstitusional kami sudah dipenuhi oleh negara, kami akan menjadi ancaman. Bagi kami, agama-agama Nusantara atau agama-agama leluhur itu tidak memiliki konsep syiar atau penyebaran. Itu hanya untuk internal.
Setelah ini, apa lagi yang diinginkan oleh penghayat kepercayaan?
Harapan kami, (pencantuman kepercayaan) lebih detail. Karena buat kami masyarakat Nusantara, nama itu punya arti, nama itu punya ikatan historis dan kultural. Ketika masyarakat agama-agama leluhur menginginkan identitasnya tertulis sesuai dengan lokalitasnya pun sebetulnya negara juga tidak punya hak untuk menghalangi.
Semua penghayat kepercayaan menginginkan hal yang sama?
Ya. Kebetulan saya sudah menyaring juga, menggali harapan-harapan para sedulur di daerah. Yang punya keinginan merdeka secara mandiri itu bukan cuma orang Pulau Jawa. Dan penentu kebijakan itu bukan cuma orang Pulau Jawa. Jadi, sudah sepakat belum nih para sedulur di Indonesia timur, Indonesia tengah, dan Indonesia barat dengan satu identifikasi atau diseragamkan (dengan keterangan "penghayat kepercayaan")? Sudahilah perdebatan atau pemahaman yang terlalu berniat menyeragamkan itu.
Perlu ada revisi UU Administrasi Kependudukan?
Tidak perlu revisi, tapi langsung pasal itu tidak berlaku. Peraturan di bawahnya berupa petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis, itu yang penting. Di awal putusan itu pun se-betulnya ada pertimbangan-pertimbangan yang sebetulnya menguatkan perlindungan dan pengakuan negara terhadap agama-agama leluhur. Jadi, sudah saatnya ada produk kebijakan yang tidak pandang bulu dan mematikan generasi penerus dalam memahami dan melestarikan ajaran leluhur.
Dewi Kanti Setianingsih
Tempat, tanggal lahir: Bandung, 3 Juli 1975
Organisasi:
- Yayasan Tri Mulya (1998-sekarang)
- Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (2006-sekarang)
- Girang Pangaping Adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan (2014-sekarang)
- Dewan Pengurus Pusat Himpunan Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan YME (2008-2013)
- Yayasan Masyarakat Dialog Antar Agama Jakarta (2001-2010)
- Indonesian Conference on Religion for Peace Jakarta (2002-2007)
- Paguyuban Anti Diskriminasi Agama, Adat, dan Kepercayaan Jawa Barat (2003-2006)
https://koran.tempo.co/read/424116/d...aman?read=true