Lanskap E-commerce Indonesia: Pasar Besar Penuh Tantangan
Thursday, June 7, 2018
Dengan jumlah penduduk yang besar, penetrasi mobile yang sedang naik-naiknya, dan juga peningkatan jumlah kaum kelas menengah membuat negara ini memang memiliki lahan subur untuk pertumbuhan e-commerce.
Fenomena ini tidak hanya ditandai dengan meningkatnya jumlah pemain lokal yang menyambangi toko daring, tapi juga invasi dari pemain-pemain dari luar negeri. Alibaba Group misalnya, yang bulan Maret lalu telah mengakuisisi Lazada Group dengan menyuntikkan dana investasi tambahan. Selain Lazada, Alibaba juga telah menyokong US$ 1,1 miliar ke Tokopedia pada bulan Agustus 2017 lalu.
Tidak hanya Alibaba saja yang gesit membidik pasar Indonesia, jauh-jauh dari California, eBay.com juga joinandengan Telkom untuk menyuntikkan dana sebesar US$ 35 juta ke Blanja.com di Maret tahun lalu.
Bank Indonesia menyebutkan selama 2016-2017, nilai transaksi belanja daring di Indonesia mencapai US$ 5,3 milyar. Nilai transaksi ini diprediksi akan meraih US$ 130 milyar di tahun 2020 yang dinilai sangat ambisius dan optimistis. Tidak heran bila mulai banyak pemain-pemain e-commerce lokal maupun internasional yang berlomba untuk merebut kue pasar yang lebih besar.
Salah satu gerakan yang paling lincah di Tanah Air adalah platform perdagangan elektronik dari Singapura bernama Shopee. Marketplace ini berhasil menunjukkan performa yang mumpuni dengan meraih ranking pertama sebagai aplikasi mobile paling popular di Android dan iOS, berdasarkan Peta E-commerce Indonesia.
Meski pasar Indonesia begitu menggiurkan, namun ada beberapa tantangan mungkin masih menjadi momok yang menghantui setiap pemain e-commerce di negara ini.
Logistik yang Masih Semrawut
Tidak bisa dipungkiri, ukuran geografis Indonesia yang terdiri ribuan kepulauan dan luas sebesar 1,9 juta km persegi menjadi tantangan penting dalam logistik. Pengiriman barang dari Indonesia bagian Barat ke bagian Timur menjadi hal yang tidak mudah.
Padahal ongkos kirim adalah salah satu faktor penting yang menentukan keputusan pembelian konsumen. Promosi bebas ongkir menjadi salah satu strategi yang merogoh modal banyak bagi pemain e-commerce,terutama bagi UKM.
Kesemrawutan logistik ini juga dialami oleh e-commerce yang mengimpor barang-barang dari luar negeri. Beberapa problem klasik yang kerap disebut-sebut adalah karena sempitnya rantai distribusi, dwelling time yang lama di pelabuhan, serta antrian bea cukai yang melelahkan.
Menurut Bank Dunia, sektor logistik telah menelan dana hingga 25% dari total GDP, di mana hal ini tertinggi di Asia Tenggara. Negara tetangga seperti Vietnam, Malaysia, dan Singapura hanya menelan maksimal 20% dari GDP mereka. Tingginya harga logistik ini memiliki dampak semakin mahalnya barang yang dibeli oleh konsumen.
Sistem Pembayaran yang Belum Terintegrasi
Transfer bank masih menjadi metode pembayaran yang paling popular di Indonesia saat belanja daring. Metode ini padahal sudah mulai ditinggalkan di negara-negara maju, contohnya di Singapura dan Hong Kong.
Hal ini dikarenakan literasi keuangan di Tanah Air masih terbilang rendah. Hanya sekitar 36% penduduk yang memiliki rekening bank. Selain itu penetrasi kartu kredit pun masih terendah di Asia Tenggara yakni hanya 1,6% saja.
Literasi keuangan yang masih rendah menjadi tantangan tersendiri bagi para pelaku industri perdagangan el. Mulai dari pemberian edukasi kepada konsumen bagaimana bertransaksi daring yang praktis dan aman hingga melebarkan metode pembayaran untuk merengkuh konsumen yang belum memiliki kartu kredit maupun rekening bank. Contohnya dengan mengimplementasi fintech (financial technology).
Karakteristik Konsumen yang Unik
Ribuan UKM memulai bisnisnya melalui media sosial sebelum akhirnya membangun situs jual beli daring dengan domain sendiri. Meski begitu, banyak juga yang masih ragu untuk pindah ke situs karena sudah terlanjur nyaman dengan komunitas yang dibentuknya di Facebook maupun Instagram.
Salah satu alasannya adalah konsumen Indonesia masih lebih menyukai transaksi belanja daring yang lebih personal, yakni dengan menghubungi penjual secara langsung lewat aplikasi chat seperti Whatsapp atau LINE.
Padahal cara konvensional ini terbilang kurang jaminan keamanan dan sudah menelan banyak sekali korban penipuan. Berbeda dengan situs belanja daring yang umumnya sudah memiliki sistem keamanan yang menjamin pelanggan tidak mengalami kerugian saat bertransaksi.
Salah satu konsumen daring asal Jakarta bernama Rara mengaku meski sekarang banyak sekali toko daring, dia masih lebih nyaman mencari produk di media sosial dan menghubungi penjual lewat Whatsapp. Dia menilai transaksi ini lebih terasa personal, hangat, dan terpercaya dibanding transaksi daring di website langsung yang terkesan terlalu direct dan kaku.
Karakteristik yang unik ini merupakan salah satu hal yang bisa dikembangkan dari pemain e-commerce yang memiliki basis web yakni dengan cara personalisasi chat bot, fitur messenger dengan penjual, dan lain-lain.
Loyalitas Berdasarkan Harga
Banyak yang menilai konsumen Indonesia senang datang dan pergi ke toko daring mana pun yang memberikan promosi yang lebih banyak dan harga yang lebih murah. Ketika musim promosi sudah habis, maka mereka akan pindah mencari toko daring lain yang lebih banyak memberi keuntungan.
Di sisi lain, ukuran basket size rata-rata orang Indonesia juga terbilang sedikit. Menurut laporan State of eCommerce iPrice 2017, basket size konsumen Indonesia hanya sekitar US$ 36 atau Rp 500 ribu. Sedangkan Malaysia dan Singapura memiliki basket size yang lebih banyak yakni US$ 54 dan US$ 91.
Nilai basket size yang kecil juga menandakan mengapa persaingan harga menjadi salah satu hal yang mendorong loyalitas konsumen. Ketatnya persaingan harga ini akan menjadi PR tersendiri bagi pemain e-commerce untuk menjaga pelanggan tetap kembali.
Meski Indonesia mulai dipenuhi oleh pemain startup di bidang perdangan elektronik dan digempur oleh pemain luar, namun tidak sedikit juga yang mengalami kegagalan. Jatuh bangunnya pemain ini menandakan meski pasar Indonesia terlihat menjanjikan, namun hanya dengan strategi tepatlah yang bisa menguasainya.
Source: iPrice
Fenomena ini tidak hanya ditandai dengan meningkatnya jumlah pemain lokal yang menyambangi toko daring, tapi juga invasi dari pemain-pemain dari luar negeri. Alibaba Group misalnya, yang bulan Maret lalu telah mengakuisisi Lazada Group dengan menyuntikkan dana investasi tambahan. Selain Lazada, Alibaba juga telah menyokong US$ 1,1 miliar ke Tokopedia pada bulan Agustus 2017 lalu.
Tidak hanya Alibaba saja yang gesit membidik pasar Indonesia, jauh-jauh dari California, eBay.com juga joinandengan Telkom untuk menyuntikkan dana sebesar US$ 35 juta ke Blanja.com di Maret tahun lalu.
Bank Indonesia menyebutkan selama 2016-2017, nilai transaksi belanja daring di Indonesia mencapai US$ 5,3 milyar. Nilai transaksi ini diprediksi akan meraih US$ 130 milyar di tahun 2020 yang dinilai sangat ambisius dan optimistis. Tidak heran bila mulai banyak pemain-pemain e-commerce lokal maupun internasional yang berlomba untuk merebut kue pasar yang lebih besar.
Salah satu gerakan yang paling lincah di Tanah Air adalah platform perdagangan elektronik dari Singapura bernama Shopee. Marketplace ini berhasil menunjukkan performa yang mumpuni dengan meraih ranking pertama sebagai aplikasi mobile paling popular di Android dan iOS, berdasarkan Peta E-commerce Indonesia.
Meski pasar Indonesia begitu menggiurkan, namun ada beberapa tantangan mungkin masih menjadi momok yang menghantui setiap pemain e-commerce di negara ini.
Logistik yang Masih Semrawut
Tidak bisa dipungkiri, ukuran geografis Indonesia yang terdiri ribuan kepulauan dan luas sebesar 1,9 juta km persegi menjadi tantangan penting dalam logistik. Pengiriman barang dari Indonesia bagian Barat ke bagian Timur menjadi hal yang tidak mudah.
Padahal ongkos kirim adalah salah satu faktor penting yang menentukan keputusan pembelian konsumen. Promosi bebas ongkir menjadi salah satu strategi yang merogoh modal banyak bagi pemain e-commerce,terutama bagi UKM.
Kesemrawutan logistik ini juga dialami oleh e-commerce yang mengimpor barang-barang dari luar negeri. Beberapa problem klasik yang kerap disebut-sebut adalah karena sempitnya rantai distribusi, dwelling time yang lama di pelabuhan, serta antrian bea cukai yang melelahkan.
Menurut Bank Dunia, sektor logistik telah menelan dana hingga 25% dari total GDP, di mana hal ini tertinggi di Asia Tenggara. Negara tetangga seperti Vietnam, Malaysia, dan Singapura hanya menelan maksimal 20% dari GDP mereka. Tingginya harga logistik ini memiliki dampak semakin mahalnya barang yang dibeli oleh konsumen.
Sistem Pembayaran yang Belum Terintegrasi
Transfer bank masih menjadi metode pembayaran yang paling popular di Indonesia saat belanja daring. Metode ini padahal sudah mulai ditinggalkan di negara-negara maju, contohnya di Singapura dan Hong Kong.
Hal ini dikarenakan literasi keuangan di Tanah Air masih terbilang rendah. Hanya sekitar 36% penduduk yang memiliki rekening bank. Selain itu penetrasi kartu kredit pun masih terendah di Asia Tenggara yakni hanya 1,6% saja.
Literasi keuangan yang masih rendah menjadi tantangan tersendiri bagi para pelaku industri perdagangan el. Mulai dari pemberian edukasi kepada konsumen bagaimana bertransaksi daring yang praktis dan aman hingga melebarkan metode pembayaran untuk merengkuh konsumen yang belum memiliki kartu kredit maupun rekening bank. Contohnya dengan mengimplementasi fintech (financial technology).
Karakteristik Konsumen yang Unik
Ribuan UKM memulai bisnisnya melalui media sosial sebelum akhirnya membangun situs jual beli daring dengan domain sendiri. Meski begitu, banyak juga yang masih ragu untuk pindah ke situs karena sudah terlanjur nyaman dengan komunitas yang dibentuknya di Facebook maupun Instagram.
Salah satu alasannya adalah konsumen Indonesia masih lebih menyukai transaksi belanja daring yang lebih personal, yakni dengan menghubungi penjual secara langsung lewat aplikasi chat seperti Whatsapp atau LINE.
Padahal cara konvensional ini terbilang kurang jaminan keamanan dan sudah menelan banyak sekali korban penipuan. Berbeda dengan situs belanja daring yang umumnya sudah memiliki sistem keamanan yang menjamin pelanggan tidak mengalami kerugian saat bertransaksi.
Salah satu konsumen daring asal Jakarta bernama Rara mengaku meski sekarang banyak sekali toko daring, dia masih lebih nyaman mencari produk di media sosial dan menghubungi penjual lewat Whatsapp. Dia menilai transaksi ini lebih terasa personal, hangat, dan terpercaya dibanding transaksi daring di website langsung yang terkesan terlalu direct dan kaku.
Karakteristik yang unik ini merupakan salah satu hal yang bisa dikembangkan dari pemain e-commerce yang memiliki basis web yakni dengan cara personalisasi chat bot, fitur messenger dengan penjual, dan lain-lain.
Loyalitas Berdasarkan Harga
Banyak yang menilai konsumen Indonesia senang datang dan pergi ke toko daring mana pun yang memberikan promosi yang lebih banyak dan harga yang lebih murah. Ketika musim promosi sudah habis, maka mereka akan pindah mencari toko daring lain yang lebih banyak memberi keuntungan.
Di sisi lain, ukuran basket size rata-rata orang Indonesia juga terbilang sedikit. Menurut laporan State of eCommerce iPrice 2017, basket size konsumen Indonesia hanya sekitar US$ 36 atau Rp 500 ribu. Sedangkan Malaysia dan Singapura memiliki basket size yang lebih banyak yakni US$ 54 dan US$ 91.
Nilai basket size yang kecil juga menandakan mengapa persaingan harga menjadi salah satu hal yang mendorong loyalitas konsumen. Ketatnya persaingan harga ini akan menjadi PR tersendiri bagi pemain e-commerce untuk menjaga pelanggan tetap kembali.
Meski Indonesia mulai dipenuhi oleh pemain startup di bidang perdangan elektronik dan digempur oleh pemain luar, namun tidak sedikit juga yang mengalami kegagalan. Jatuh bangunnya pemain ini menandakan meski pasar Indonesia terlihat menjanjikan, namun hanya dengan strategi tepatlah yang bisa menguasainya.
Source: iPrice