Penguatan Legislasi Penghayat Kepercayaan
Penguatan Legislasi Penghayat Kepercayaan
24 November 2017
Setelah acara selesai, Ketua Umum NSI-Mpu Suhadi Senjdjaja berfoto bersama dengan para peserta aktif FGD "Penguatan Legislasi Penghayat Kepercayaan Indonesia"
Ketua umum NSI, MPU Suhadi Sendjaja, diundang dalam FGD "Penguatan Legislasi Penghayat Kepercayaan yang di gelar di Ruang Rapat Besar Metro TV, Jakarta Barat, Jumat 24 November 2017. Kegiatan ini mendiskusikan mengenai Keputusan Mahkamah Konstitusi(MK) memutuskan penghayat kepercayaan bisa mencantumkan kepercayaan pada kolom agama di KTP dan KK dan kekuatan hukum yang sama dengan enam agama lain. Keputusan MK ini dinilai banyak pihak tak perlu lagi diperdebatkan. Masalah itu selesai ketika keputusan tertinggi sudah dicapai. Dalam FGD bertajuk Penguatan Legislasi Penghayat Kepercayaan itu dihadiri oleh Ketua Komisi II DPR Zainudin Amali, Politikus, A.Riza Partia, Direktur Pembinaan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi Kemendikbud, Sri Hatini, Anggota DPD RI, AM Fatwa dan Kepala Divisi Advokasi Ikatan Antropolog Indonesia, Aji Semiarto, Antropolog dan Budayawan, Abdul Latif Bustami, Akademisi, Junaedi, Victor Santoso, Haryanto, Humaidi, Tokoh Lintas Agama, MPU Suhadi Sendjaja (Parisadha Buddha Dharma Niciren Syosyu Indonesia), Romo Benny (KWI), Jefri, dan Perwakilan Para Penghayat Kepercayaan, Indraardana, Retno Latani, Engkus Ruswana.
Sri Hatini mengatakan "sebelum ada keputusan MK, direktoratnya sudah 39 tahun berjuang. Berdasarkan data Kemendikbud 2013, terdapat setidaknya 11.888.957 penghayat kepercayaan di seluruh Indonesia. Mereka terbagi atas 187 komunitas atau organisasi tingkat pusat yang ada di 13 provinsi serta 1.047 kelompok cabang yang tersebar di 27 provinsi". Dikatakan Sri, sosialisasi dilakukan terus menerus terkait tak ada perbedaan antara pemilik agama yang sudah diakui negara maupun penghayat kepercayaan. Hal utama yang harus diperhatikan dalam implementasi keputusan MK tersebut ialah agar pemerintah dapat menjamin hak sipil penghayat kepercayaan, dari hak melakukan pernikahan, hak melakukan peribadatan, pendidikan, hingga terkait dengan penerimaan sebagai anggota TNI dan Polri. Untuk mencapai itu, ia mengatakan akan terus melakukan pertemuan dan memberi masukan kepada Kementerian Dalam Negeri yang memiliki otoritas dalam mengatur hal tersebut. "Diskriminasi selama ini masih dialami penghayat kepercayaan. Dengan keputusan ini, hal utama yang harus ditegaskan dan disosialisasikan bahwa mereka telah diakui dan tidak lagi boleh menerima diskriminasi atau sikap intoleransi," ujar Sri.
Disisi lain Ketua Komisi II DPR Zainudin Amali mengatakan, "Implementasinya bisa melalui perubahan undang-undang administrasi kependudukan atau langsung menjalankan tanpa melalui perubahan aturan yang telah ada. Bila diperlukan revisi undang-undang untuk memastikan adanya payung hukum pada implementasi pengakuan penghayat kepercayaan, DPR siap untuk membahasnya bersama semua pihak terkait. Namun, bila pemerintah tidak merasa perlu melakukan revisi UU, teknis implementasi untuk diterapkan di seluruh daerah diharapkan agar juga dapat disampaikan untuk didiskusikan". Wakil Ketua Komisi II DPR Riza Patria juga menyebut, pada tingkat elite, semua sudah satu suara soal penghayat kepercayaan. Apalagi itu diatur dalam undang-undang. Untuk itu kata dia perlu ada sosialisasi lebih pada pejabat di daerah".
Kepala Divisi Advokasi Ikatan Antropolog Indonesia, Aji Semiarto, mengatakan penyelarasan antarinstansi dan pihak terkait dibutuhkan untuk segera mengimplementasi keputusan MK itu dengan lancar tanpa adanya kesalahan dan kegaduhan. "Yang harus diperhatikan sekarang ialah bagaimana bisa dicapai orkestrasi dan penyelarasan dalam implementasi keputusan MK tersebut," katanya. Aji mengatakan, terkait dengan hal pengakuan penghayat kepercayaan, terdapat banyak pihak yang selama ini terlibat dan memiliki peran, dari Kemendagri, Kemendikbud, TNI, Polri, hingga pemerintah daerah. Penyelarasan pemahaman dan peta implementasi di lapangan harus dilakukan dengan tepat dan bijaksana.
Tak dapat dipungkiri kolom agama memiliki peranan besar. Sudah menjadi rahasia umum, bagi penghayat kepercayaan, mereka kesulitan mendapat hak sebagai warga negara. Sebab, kepercayaan mereka tak dicantumkan dalam KTP.Urusan lancar ketika ada pencantuman agama. Bila tidak ada, itu berarti sejak mereka lahir hingga meninggal bakal kesulitan mengurus administrasi. Urusan bank, kesehatan, bahkan sekolah juga jadi masalah. Engkus Ruswana (salah satu penghayat kepercayaan) misalnya, saat akan menikah tak diterima catatan sipil lantaran tak menikah di KUA. Tak cuma Engkus, adiknya yang juga seorang penghayat kepercayaan dari Jawa Barat, tak bisa mengurus akta kelahiran anaknya karena tak punya surat nikah. Pada akhirnya akta kelahiran keluar tapi tak ada nama ayah, hanya nama ibu. Tak sampai di situ, Engkus nyaris tak bisa memakamkan ibunya lantaran dianggap tak beragama. "Padahal di situ pemakaman milik desa, tapi kepala desanya bilang enggak boleh, jenazah harus disalatkan baru boleh," kenang Engkus. Engkus menyebut, pencantuman agama dalam KTP tak hanya berpengaruh dari kelahiran, pernikahan hingga kematian. Pencari kerja utamanya di TNI-Polri kesulitan lolos. Untuk menjadi prajurit TNI-Polri, ada proses verifikasi antara form pengisian dan KTP. Lantaran penghayat kepercayaan tak diisi kolom agamanya, maka akan dianggap tak beragama. "Padahal salah satu syaratnya harus bertakwa dan beragama. Mereka dianggap tak beragama karena tidak ada pencantuman di KTP," kata Engkus. Lantaran itu, kata dia, banyak yang akhirnya mencantumkan salah satu agama baik di form maupun KTP untuk bisa masuk TNI-Porli.
Tokoh-tokoh lintas agama dalam diskusi tersebut juga berbagi pandangan mengenai keputusan MK terhadap Legislasi Penghayat Kepercayaan di Indonesia. Maha Pandita Utama Suhadi Sendjaja memberikan perspektif bahwa "Jika kita berbicara agama, tentu kita akan bicara tentang konsep ketuhanan. Konsep ketuhanan samawi adalah Tuhan yang mencipta. Tuhan adalah sifat yang mengandung kemutlakkan yang diluar jangkauan pemikiran kita sebagai manusia. Saya kira ini adalah hal yang juga harus kita jadikan sebagai landasan moral. Oleh karena itu, berkaitan dengan masalah ketuhanan tentu ini berkaitan dengan sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa Yang Maha Esa dari yang Konteks pancasila disini bukanlah berarti Tuhan Yang Hanya Satu, bukan mengacu pada suatu individual yang kita sebut Tuhan yang jumlahnya satu. Tetapi sesungguhnya Ketuhanan Yang Maha Esa Yang Maha Esa berarti sifat-sifat Luhur atau Mulia Tuhan yang mutlak harus ada. Dengan kata lain Ketuhanan Yang Maha Esa berarti sifat-sifat tuhan atau sifat-sifat yang berhubungan dengan tuhan. Jadi yang ditekankan pada sila pertama dari Pancasila ini adalah sifat-sifat luhur atau mulia dari Tuhannya. Ketuhanan disini tidak mempersonifikasikan tetapi itu lebih kepada sifat-sifat. Sifat-sifat keesaan, kemutlakkan dan kemahaaan (Mahakuasa, Mahaperkasa, MahaEsa). Dan semua agama maupun kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa ada landasan seperti itu.".
"Oleh karena itu dalam kaitannya dengan ini, kita berbicara tentang warga negara atau penduduk yang menurut undang-undang itu adalah yang lahir disini (Indonesia). Siapa yang lahir disini adalah warga negara, kecuali dia menolak. Sehingga jika ia adalah warga negara, berarti ia memiliki kewajiban dan hak yang sama. Oleh karena itu saya bisa menghayati yang dirasakan oleh Pak Engkus. Perasaan-perasaan seperti itu pernah saya alami sebagai orang keturunan Tionghoa, masalah-masalah serpti itu bukan hanya agama tetapi juga persoalan kewarganegaraan. Tentu semua warga negara kita ini mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara. Tetapi ia juga memiliki kewajiban untuk cinta kepada tanah air. Ini adalah satu sisi, pada sisi lain yang paling pokok adalah harus mengakui mereka sebagai warga negara. Putusan MK adalah putusan final, oleh karena itu putusan itu harus kita laksanakan secara baik. Sehingga kaitannya dengan ini, semua yang berkaitan dengan hak-hak sipil. Agama apapun itu kepercayaan apapun itu tidak dibeda-bedakan dan punya hak-hak sipil yang sama, maupun HAM, hak demokrasi, hak keadilan dan hak kemanusiaan yang sama sebagai warga Negara yang sama yaitu warga negara Indonesia. Sehingga dengan demikian negara yang sudah semakin dewasa, atas adanya putusan MK ini maka implementasinya harus di tata sedemikian baiknya dan pemerintah dapat melaksanakan Keputusan MK secara bijaksana agar tidak lagi terjadi diskriminasi kepada hak2 penghayat kepercayaan sebagai warga negara Indonesia", pungkasnya".
Suasana diskusi dalam acara FGD "Penguatan Legislasi Penghayat Kepercayaan Indonesia" di Ruang Rapat Besar Metro TV, Jakarta Barat, Jumat 24 November 2017
https://nsi.or.id/id/berita-kegiatan...at-kepercayaan