RUU Perlindungan Umat Beragama Berpeluang Kontraproduktif, ini Alasannya
RUU Perlindungan Umat Beragama Berpeluang Kontraproduktif, ini Alasannya
Sunday, 16 November 2014 | 02:06 WIB
www.cathnewsindonesia.com
Kerukunan antar Umat Beragama. (ilustrasi)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kalangan penghayat aliran kepercayaan menilai, penyusunan RUU Perlindungan Umat Beragama (PUB) berpeluang hanya menimbulkan perdebatan yang kontraproduktif. Menurut Engkus Ruswana, seorang tokoh penghayat kepercayaan asal Jawa Barat, hal itu akan timbul bila Pemerintah sendiri masih memandang aliran kepercayaan yang ada di Indonesia secara tidak adil.
"Pemerintah cenderung membuat hierarki. Ini merugikan terutama bagi kalangan penghayat kepercayaan dan agama lokal," kata Engkus Ruswana, Jumat (14/11) lalu di Jakarta.
Engkus melihat, aliran kepercayaan berposisi subordinan terhadap agama-agama yang diakui Undang-Undang. Ini karena Pemerintah masih tidak mengakui aliran kepercayaan sebagai sebuah agama. Padahal, kata Engkus, menurut sejarah kebahasaan istilah agama sendiri merupakan milik kebudayaan lokal Indonesia.
Ketika datang budaya dari luar, misalnya Arab dan Eropa yang membawa Islam dan Kristen, istilah agama kemudian dilekatkan kepada kepercayaan yang dibawa dari luar Nusantara. Sementara, kepercayaan (agama) masyarakat lokal sendiri masih bertahan tanpa dilekatkan dengan istilah apa pun.
"Tapi kemudian kami lantas terpinggirkan. Bahkan mendapat stigma negatif," kata Engkus. Karenanya, alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) ini berharap agar Pemerintah tidak lagi menilai satu agama sebagai agama yang resmi sedangkan yang lain tidak.
Sebab, menurut Engkus, tidak ada hak Negara untuk menjadi hakim terkait dengan hal itu. Alih-alih, agama atau aliran kepercayaan yang diberi label tidak resmi oleh Negara kerap menerima stereotip dari sebagian besar masyarakat.
"Kepercayaan kami sering disamakan dengan takhayul, ajaran dukun santet, atau aliran sesat. Bahkan, kami juga rentan dituduh sebagai ateis," ujar Engkus.
RUU PUB, bagi Engkus, hanya adil bila skema aturan itu juga melindungi semua agama lokal di Indonesia. Sebab, Pemerintah tidak bisa hanya melindungi umat agama-agama yang diakui oleh Undang-Undang.
Malahan, Undang-Undang demikian cenderung mendiskriminasi agama di luar enam yang diakui Negara. Maka diperlukan niat baik dari Pemerintah untuk mengajak para pemuka agama lokal berdiskusi bersama sebelum perumusan RUU PUB dibuat. "Yang namanya perlindungan, kan untuk semua warga," tegas Engkus.
Pada akhirnya, demikian Engkus, RUU PUB bisa jadi kontraproduktif di Indonesia. Itu bila Negara sendiri, baik pada sisi Pemerintah maupun Parlemen, tidak segera menyudahi diskriminasi dan menjalankan kewajibannya terlebih dahulu.
https://m.republika.co.id/berita/nas...-ini-alasannya