Tokoh lintas agama serukan perdamaian

Tokoh lintas agama serukan perdamaian

Para tokoh agama juga meminta publik untuk tidak tinggal diam ketika sikap intoleran diajarkan kepada anak di sekolah.

Anang Zakaria

Published 8:32 AM, May 29, 2017

Updated 8:32 AM, May 29, 2017




PERDAMAIAN. Tokoh lintas agama menyerukan perdamaian dikembalikan ke bumi Indonesia usai terganggu pasca kontestasi Pilkada DKI. Foto oleh Anang Zakaria/Rappler

YOGYAKARTA, Indonesia - Tokoh lintas agama dan kepercayaan mendeklarasikan seruan perdamaian bangsa di University Club Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Jumat 26 Mei. Seruan itu respon situasi kebangsaan dan ancaman perpecahan bangsa Indonesia. Para tokoh itu adalah Buya Ahmad Syafii Maarif, Kardinal Julius Darmaatmadja, Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, Ida Bagus Agung, Engkus Ruswana, Pendeta Gomar Gulton, Bhikkhu Nyana Suryanadi, dan Budi Suniarto.

Selain tokoh agama, seruan itu juga ditandatangani oleh akademisi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Abdul Munir Mulkhan dan budayawan Mohamad Sobary. Dua tokoh Islam, KH.Muhammad Quraish Shihab dan KH.Ahmad Mustofa Bisri, menyampaikan dukungan pentingnya perdamaian bangsa. Sebuah pesan disampaikan melalui video.

Alissa Wahid, salah satu inisiator acara, menyebut para tokoh itu sebagai sesepuh bangsa. Mereka tokoh bangsa yang tak diragukan integritasnya dan saksi perjalanan bangsa Indonesia dari masa ke masa.

"Apakah yang kita alami sekarang ini ujung kehancuran atau proses perjalanan bangsa?" ujar Allisa.

Menurut dia, merebaknya aksi intoleran membuat bangsa ini kian tak aman. Konflik meluas ke seluruh negeri. Dalam Pilkada Jakarta misalnya, ia memberi contoh, getarannya bahkan terasa sampai ke ujung Indonesia.

"Kalau dibiarkan bangsa Indonesia akan sulit bangun ke depannya," kata dia.

Dalam seruannya, para sesepuh bangsa itu menyatakan tak ada satu pun agama yang mengajarkan kekerasan pada sesama manusia. Sehingga, seluruh elemen bangsa harus melakukan penyadaran tentang pentingnya persatuan dalam keberagamaan dan pendidikan kebangsaan. Menurut mereka, pemerintah harus tegas dan bijaksana menanggapi situasi saat ini yang menjurus pada keretakan bangsa dan negara.

Buya Syafii mengatakan kondisi bangsa saat ini memprihatinkan dan kritis. Tapi, ia menyerukan agar tak mudah putus asa dan pesimis. Sebaliknya, seluruh elemen bangsa harus bergerak menyelamatkannya.

Sinta Nuriyah menyerukan agar masyarakat tetap merawat Indonesia dari berbagai rongrongan isu agama, suku, dan golongan.

"Itu adalah kewajiban kita semua," kata Sinta.

Radikalisme susupi sekolah

Sementara, Budi Suniarto, tokoh Konghucu, mengatakan situasi di Indonesia sudah cukup mengkhawatirkan. Dia prihatin melihat kelompok yang berteriak di jalanan dengan menggunakan baju agama dan membawa ayat suci, tetapi justru kerap melempat pernyataan provokatif. Jumalh mereka kecil, tetapi jika dibiarkan dapat berbahaya.

"Sedikit tapi berisik," kata Budi.

Menurut dia, ada kondisi yang lebih berbahaya lagi yakni gerakan anti keberagaman. Gerakan tersebut kini menyusup sendi-sendi masyarakat, termasuk lembaga pendidikan. Banyak sekolah mengajarkan radikalisme pada siswanya, menyalahkan orang lain bahkan membunuh orang lain yang berbeda.

Ia mengatakan ajaran intoleran itu harus dilawan karena perbedaan adalah keindahan.

Advertisement

"Kita tak boleh diam ketika anak kita diajarkan intoleran," tutur dia.

Engkus Ruswana, tokoh penghayat kepercayaan Sunda, mengatakan selain menyusupi sektor strategis, suburnya radikalisme juga dipicu oleh kesenjangan ekonomi.

"Yang jelas (radikalisme) itu tumbuh subur karena pembiaran," ujar Engkus.

Ia menawarkan adanya pendidikan kebangsaan sebagai solusi. Ratusan tahun lalu, lanjut dia, bangsa ini pernah mengalami masalah keberagaman. Tapi masalah itu teratasi karena bangsa ini memiliki kunci penyelesaiannya.

"Kuncinya Pancasila," katanya. - Rappler.com

https://www.rappler.com/indonesia/be...kan-perdamaian

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel