Inilah penjelasan kenapa orang sering pertaruhkan nyawa hanya demi sebuah foto selfie
Monday, July 16, 2018
Semakin canggihnya teknologi gak tau kenapa bikin nyawa orang jadi gampang melayang ya gan. Ada yang nyetir kendaraan sambil maenan hape eh tau-tau kecelakaan, ada yang rela manjat-manjat gedung tinggi demi hasil foto instagramable eh tau-tau jatoh, dan ada juga yang maen karambol sambil berenang Eh bisa gak si maen karambol sambil renang?:bingung
Tapi terlepas dari bisa atau enggak nya maen karambol sambil renang, ente termasuk yang mana nih? Jujur, kalo ane tipe orang yang kadang maenan hape kalo nyetir:hammer(jangan ditiru yak gan) :ngakak Tapi gak sedikit orang yang rela mertaruhin nyawanya buat hasil foto bagus, ada yang manjat tebing, manjat gedung pencakar langit, sampe foto di dalem sangkar yang di luarnya penuh dengan hiu putih. Pokoknya ngeri semua dah gan :takut Tapi ente penasaran gak sih kenapa orang sering mertaruhin nyawa buat hasil foto bagus? Gini nih penjelasannya
Quote:
Spoiler for Gambar:
Ilustrasi swafoto | leungchopan /Shutterstock
Wu Yongning, , selebgram asal Tiongkok, yang gemar memanjat gedung pencakar langit untuk swafoto, harus berhadapan dengan maut setelah jatuh dari lantai 62 sebuah gedung tertinggi di Changsa pada Desember 2017. Berita kematiannya viral menghiasi media-media internasional, termasuk Indonesia.
Hal nekat serupa juga terjadi di dalam negeri, pelajar asal Jakarta dikabarkan meninggal di Bali pada awal Juli ini karena terjatuh ketika berniat memotret sunset dari tepi Tebing Balangan, Jimbaran.
Lalu, kabar terbaru menginformasikan bahwa seorang mahasiswa peserta Kuliah Kerja Nyata meninggal tenggelam demi menyelamatkan kawannya yang tercebur saat mereka berfoto mengabadikan momen di pinggir sungai Desa Bambangan, Sulawesi Barat.
Tim peneliti dari Carnegie Mellon University telah mencatat sekitar 127 kasus foto berakhir tragis di seluruh dunia antara Maret 2014 hingga September 2016. Bahkan, korban tewas jumlahnya sangat banyak.
Mereka menyebutkan bahwa para korban meninggal adalah orang-orang yang memperlihatkan perilaku normal dalam keseharian tetapi kehilangan keburuntungannya. Benarkah sebatas itu? Kenapa untuk mendapatkan foto-foto terbaik seseorang seolah rela bertaruh nyawa?
Sebagai spesies sosial, manusia adalah makhluk yang menyukai segala bentuk perhatian, baik itu diperhatikan atau sebaliknya. Kita pun memiliki kebutuhan sekaligus keinginan untuk dipuji, diakui,dan diterima.
Ada bukti yang menunjukkan bahwa manusia memiliki sisa-sisa evolusi untuk tertarik memperhatikan foto orang lain, khusunya di bagian wajah.
Sejumlah penelitian pun telah mengungkap bahwa foto yang di dalamnya terdapat gambar orang akan lebih banyak mendapat perhatian.
Memang, cukup masuk akal bahwa hasil foto terbaik, khususnya yang berbeda dari yang lain akan lebih menarik perhatian. Nah, untuk mendapatkan perhatian, seseorang bisa saja melakukan berbagai cara.
Laporan di Inggris tahun 2016 pernah mengungkapkan bahwa perempuan muda merupakan partisipan aktif menghasilkan foto terbaik. Mereka bisa menghabiskan sampai lima jam seminggu untuk sekadar berswafoto. Alasannya, menurut laporan itu, ingin agar terlihat bagus untuk membuat orang lain iri, merasa kagum, dan membuat pasangan yang selingkuh menyesali ketidaksetiannya.
Terlebih dalam budaya digital seperti sekarang, kata Eric Li dari University of British Columbia, foto terbaik terkait dengan membangun kepercayaan diri dan menjadi bagian penting dari identitas sosial masyarakat sekarang, terutama di kalangan dewasa muda.
Orang bisa merasa lebih diperhatikan jika foto-fotonya di media sosial diberi tanda suka atau dikomentari. Hal ini semakin parah jika mereka memang berkecenderungan selfitis, yaitu terobsesi mencari perhatian dengan berfoto karena kurang percaya diri.
Sebagai bukti, para peneliti dari Free University of Berlin pada 2013 telah menemukan bahwa memiliki umpan balik positif seperti mendapat teman dan tanda suka di Facebook bisa mengaktifkan daerah di otak bernama nucleus accumbens. Daerah ini berfungsi melepas dopamin--neurokimia penting yang memicu perasaan bahagia—dengan cara sama seperti mendapat pujian dan pengakuan setelah melakukan pekerjaan dengan baik.
Peneliti juga mendapati bahwa orang-orang yang lebih sering merasa senang ketika diberi umpan balik positif lebih mungkin mengalami kecanduan media sosial. Hasilnya, mereka juga memperbanyak perilaku-perilaku mencari perhatian seperti mengunggah swafoto.
Kepada The Conversation, Michael Weigold, psikolog sekaligus professor periklanan di University of Florida mengatakan fenomena rela bertaruh nyawa terkait konsep psikologis ini disebut perbandingan sosial.
Sang penemu konsep bernama Leon Festinger, jelas Weigold, berpendapat bahwa tiap orang punya dorongan bawaan untuk mengevaluasi dirinya sendiri melalui membandingkan dengan orang lain. Evaluasi diri ini diperlukan untuk meningkatkan cara berpikir dan perilaku menjadi lebih positif.
Sayang, orang sering lupa bahwa membandingkan berarti membuka jalan untuk persaingan. Menurut Zlatan Krizan, seorang profesor psikolog di Iowa State University, akibatnya tidak ada yang mau kalah, seperti diuraikan oleh Live Science.
Dia berujar bahwa orang akan terus berkompetisi menghasilkan sesuatu yang berkesan lebih baru dan menarik dibanding orang lain. Lalu, sebagai hasil, tak jarang orang malah terlibat suatu hal berisiko ekstrem.
Faktanya, manusia memang makhluk yang gemar mengambil risiko.
Menukil Salon.com, Catherine Franssen, profesor psikologi dan direktur studi saraf di Longwood University, mengatakan bahwa perilaku pengambilan risiko bisa menyuntikan adrenalin dan dopamin yang membuat otak manusa menyala. Proses ini menghasilkan perasaan yang menyenangkan.
Secara evolusioner, jelas Franssen, orang mengambil risiko untuk meredam perasaan takut dan bertahan hidup. Perilaku itu membantu manusia merambah wilayah baru dan mencari sumber penghidupan yang lebih banyak atau lebih layak.
Orang masa kini, kata dia, cenderung melakukan hal ekstrem demi mendapatkan kesenangan yang lebih besar. Kondisi ini bisa didapatkan dengan meningkatkan faktor risiko. Jadi, jangan heran jika orang lebih tertantang berfoto bertaruh nyawa di pinggir jurang tanpa pengaman, ketimbang di atas roller coaster dengan sistem perlindungan lengkap.
Tak hanya itu, faktor emosi dan influencer di media sosial juga berpengaruh. Orang yang labil atau menyampingkan risiko demi merasakan kesenangan, cenderung mengabaikan keselamatan. Sementara influencer, kerap kali mengunggah foto suasana tempat berbahaya dengan sangat menarik, tetapi mereka tidak membicarakan perencanaan dan persiapan yang diperlukan agar tetap aman.
Tuh gan, kalo pendapat ane sih ya, jangan macem-macem dah wkwk, yang aman-aman aja. Misalnya, foto badut Taman Ria, foto selfie sama Ustadz Sholeh Pati, foto bareng Agung Hercules pas nge-gym di daerah Petamburan, kan aman tuh. Tapi hati-hati, gak goyang barbel melayang.:ngakak
Nyawa anda lebih penting dari hanya sekedar like belaka
Sayangi nyawa anda sebagaimana anda menyayangi mantan Anda
Salam Olahraga dari Bung Binder
Btw Kroasia kalah huft
Quote:
:hn Buat liat informasi menarik lainnya seperti artikel di atas bisa liat di sini :cystg Jangan lupa rate bintang 5, tinggalin komentar dan bersedekah sedikit cendol buat ane dan ane doain agan makin ganteng dan cantik deh :cendolgan SUMUR : Beritagar.id
Jangan lupa kunjungi thread ane yang lain gan:thumbup:thumbup:excited