Kemesraan Antarumat Beragama di Phnom Penh

Kemesraan Antarumat Beragama di Phnom Penh

Senin, 10 Juli 2017 12:24

 

?

OLEH BASRI A BAKAR, Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh, melaporkan dari Phnom Penh, Kamboja

SEMBILAN belas orang Pengurus Forum Silaturahmi Kemakmuran Masjid Serantau (Forsimas) dari Aceh, Malaysia, Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Palembang bulan ini mendapat kesempatan melakukan kunjungan muhibah empat hari ke Kamboja.

Selain berkunjung ke kampung muslim Chuuk Kanhah Chnang Province, beberapa sekolah Tahfiz Quran, dan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kamboja, kami juga menghadiri undangan Perdana Menteri (PM) Kamboja, Hun Sen untuk dinner di Diamond Island Centre.

Tak tanggung-tanggung, acara itu dihadiri hampir 5.000 orang. Inilah cara Hun Sen menarik simpati umat Islam minoritas (sekitar 5% dari 17 juta jiwa penduduk) Kamboja dengan memberikan ruang yang sama kepada mereka dengan pemeluk Budha, agamamayoritas, selain Kristen. Boleh jadi, ini hadiah khusus Hun Sen kepada umat Islam karena pada pemilu lalu dia mendapat dukungan cukup signifikan dari pemeluk Islam.

Yang lebih mengagumkan lagi adalah pada acara dinner tersebut, PM Kamboja Hun Sen ikut hadir bersama istri dan beberapa menteri kabinetnya. Keakraban dan kemesraan Hun Sen dengan warga kelihatan seperti tiada sekat. Tak ada penjagaan ketat pasukan pengawal terhadap para undangan yang ingin berfoto selfie dengan orang nomor satu di Kambojaitu. Bahkan ia rela berlama-lama dalam kerumunan massa.

Dalam kesempatan itu, Hun Sen menyampaikan pidatonya selama 20 menit. Intinya ia menginginkan keharmonisan dan kedamaian antarumat beragama tetap terjaga di Kamboja selama pemerintahannya.

Menurut pemandu rombongan Forsimas, Umie Kalsum Husein, saking dekatnya Hun Sen dengan umat Islam, dua tahun lalu dia resmikan Masjid Negara Al-Serkal di tengah Kota Phnom Penh.

Bagi saya, dinner bersama yang digagas pejabat agama Islam dan mendapat sambutan dari Hun Sen itu tergolong unik dan menarik. Dua jam sebelum waktu santap malam tiba, para undangan, termasuk rombongan Forsimas, masuk ke ruangan yang cukup besar dengan penataan ratusan meja bundar. Di atasnya berisi aneka makanan. Saya melihat beragam wajah tamu menanti saat dipersilakan makan. Ada yang merupakan etnis Cina, Melayu, Eropa, Arab, Indonesia, dan tentu saja dari Kamboja. Semua berbaur jadi satu tanpa kesan terkotak-kotak.

Kita mudah menandai mereka muslim atau tidak dari pakaian yang mereka kenakan, terutama kaum wanitanya. Iringan musik sayup-sayup suara Maher Zein menyapa ruangan tersebut, sehingga terkesan syahdu dan religius.

Sedikit pun tidak terkesan bahwa saya sedang berada di negara Budhis yang populer dengan kekejaman Pol Pot pada tahun 1975-1979 itu.

Sejarah kelam 
Di sela-sela kunjungan sosial ke Kamboja, kami juga berkunjung ke beberapa tempat penting, seperti Sungai Mekong dan museum kekejaman Pol Pot.

Periode 1975-1979 merupakan tahun-tahun kelam bagi Kamboja, karena selama empat tahun masa pengambilalihan kekuasaan oleh rezim Khmer Merah di bawah kendali Pol Pot, sekitar 2 juta penduduk meregang nyawa. Mereka dibunuh dan disiksa tanpa perikemanusiaan. Bukti kekejaman itu kini bisa disaksikan di Museum Toul Sleng, hanya sekitar 5 km dari pusat Kota Phnom Penh.

Sekitar 20.000 orang langsung dieksekusi di lokasi Killing Field. Umumnya orang-orang yang berpendidikan tinggi, dosen, pengacara, dokter, guru, diplomat tinggi, dan kalangan profesional lainnya dieksekusi di ladang pembantaian yang berjarak sekitar 8 km dari Phnom Penh itu.

Kamp interogasi dan penyiksaan terhadap para korban Pol Pot (nama aslinya Saloth Sar) itu awalnya merupakan sekolah menengah. Bangunannya bertingkat. Terdiri atas gedung A, B, C, dan D. Ruang-ruang kelas semasa kekuasaan Raja Norodom Sihanouk itulah yang dijadikan tempat ekseskusi yang luar biasa sadis, sehingga tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Masih ada ranjang besi, alat penyiksaan, rantai, dan foto-foto korban dipajang sebagai bukti sejarah. Tak hanya itu, di sebuah ruang sebelah kanan kompleks museum masih tersimpan puluhan tengkorak korban genosida, tulang belulang, dan baju bekas darah yang disimpan rapi dalam boks kaca. Sihanouk sendiri saat itu terpaksa menyelamatkan diri ke Cina pascakudeta oleh Marsekal Lon Nol.

Apa yang ada di museum itu menjadi bukti sejarah yang sulit dilupakan oleh setiap warga Kamboja yang masih hidup. Mereka tentu saja tak mau lagi melihat pengulangan sejarah kelam terjadi pada anak cucu mereka. Kedamaian sangat mereka dambakan sampai kapan pun, sebagaimana halnya kita di Aceh. Dalam suasana damai pula kerukunan antarumat beragama semakin solid.

http://aceh.tribunnews.com/2017/07/1...om-penh?page=2

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel