Mendeteksi Prilaku Terorisme!
Thursday, July 12, 2018
Kawan saya ini kemudian mengajak saya makan siang dan memperkenalkan dengan pakar deteksiperilaku terkait terorisme, ia orang Arab Suriah kewarganegaraan Australia.
Pria berkulit putih ini sekarang bekerja sebagai konsultan keamanan di Indonesia yang jasanya digunakan hingga ke Malaysia untuk pelatihan anti teror. Kawan yang mempertemukan kami mengatakan beliau ini "the real terrorist hunter".
Pada tahun 2018, paling tidak sudah ada penangkapan di tiga lokasi. Tanggal 1 Januari 2018 di Makassar ada terduga teroris yang ditangkap namun usai diinterogasi tewas dan langsung dimakamkan.
Tanggal 2 Januari 2018 Densus 88 menangkap terduga teroris di Buton, Sulawesi Tenggara (sebelumnya ada terduga teroris yang menyamar sebagai buruh ditangkap di Kendari).
Yang terbaru tanggal 9 Februari 2018, terduga teroris dan istrinya ditangkap di Indramayu, Jawa Barat. Di Makassar pun ada terduga teroris yang ditangkap namun belakangan tewas.
Berdasarkan rekaman kejadian, kenalan saya menjelaskan ciri teror Jemaah Islamiyah (JI) selalu mencari hari baik, misal Bom Natal 2000 dan Bom Bali 2002 dan 2003. Bom Bali 2002 contohnya dilakukan satu hari, satu bulan dan satu tahun setelah 11 September di New York.
Ciri aksi terorisme JI adalah masif.
Sedangkan bagi ISIS yang penting adalah ada pelaku yang berani turun, bukan bom bunuh diri, bom paket, bom mobil tapi pelaku yang bisa menembak, menusuk dan aksi kekerasan berdasarkan kemampuan individu.
Sasaran umumnya terbagi dua yaitu hard target yang dilakukan secara terencana dan matang dengan target institusi, simbol pemerintah, sedangkan soft target dilakukan secara maraton karena aksi dadakan, perencanaan seadanya, bersifat reaktif dengan target warga masyarakat.
Pelaku di lapangan yang digerakkan oleh JI cenderung birokratis sementara pelaku yang digerakkan oleh ISIS lebih fleksibel memilih target, waktu kejadian dan alat yang digunakan. Kenalan saya memetakan motif menjadi dua yakni JI digerakkan oleh konsensus (harus ada perintah amir untuk bikin amaliyah) dan ISIS oleh narasi kebencian.
Kenalan saya ini menyakini umumnya yang didasari kebencian akan berteriak dulu sebelum melakukan aksinya.
Memahami pola pikir teroris berguna untuk memetakan perilaku teroris. Jika tidak mengerti pola pikir teroris, tidak akan bisa mengetahui indikator profil seorang teroris. Body language atau bahasa tubuh tidak bisa menipu, kata kenalan saya: "You can act but you can't fake your reaction."
Namun pengetahuan deteksi perilaku terorisme bukan solusi mencegah terorisme dan radikalisme, yang dibutuhkan adalah membangun kesadaran untuk hidup damai bersama-sama. Narasi kebencian seharusnya tidak laku dijual di Indonesia karena semua warga negara Indonesia mengakui dan menghargai keberagaman. Pancasila sudah final menjadi dasar negara kita sehingga ide untuk mengubah Indonesia yang majemuk ini dan upaya menantang pemerintah dengan aksi teror tidak dapat ditolerir.
Penulis:

Monique Rijkers adalah wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator #IAMBRAVEINDONESIA
Sumber Berita : DW Indonesia
Quote:
Kalimat ini bener - bener Mengejutkan. Terjawab sudah... :hammers :matabelo::nosara:jrb::nosara
No SARA - Untuk Pengetahuan Bersama :shakehand
No SARA - Untuk Pengetahuan Bersama :shakehand