MENGAPA VIDEO POLISI YANG LAKUKAN KESALAHAN SELALU VIRAL?



Beberapa hari terakhir beredar sebuah video viral anggota polisi yang menendang seorang ibu dan anaknya karena kedapatan mencuri di minimarket. AKBP M. Yusuf nama polisi itu, seorang perwira menengah yang bertugas di Polda Bangka Belitung.

Di video tersebut si ibu menangis meraung-raung meminta ampun. Tetapi sang polisi tampak tak bisa menahan emosinya lagi, sebuah tandangan melayang ke tubuh si ibu yang sudah duduk tak berdaya di lantai. Anak laki-laki ibu itu, usianya 12-an tahun, juga tak lepas dari dampratan sang polisi. Adegan yang membuat warganet geram dan menghujat habis-habisan sang AKBP.

Apa pangkal masalahnya? Mulanya simpang siur. Katanya HP-nya tersenggol si ibu dan pecah. Tetapi belakangan kabar itu terklarifikasi sebagai berita bohong. Yang benar adalah si ibu dan anak lelakinya, serta seorang rekannya, tertangkap basah mengutil di minimarket Apri Mart yang kebetulan miliki AKBP M. Yusuf.

Sampai di sini, warganet berdebat. Ada yang memaklumi tindakan M. Yusuf, sebab siapa tak geram mendapati barangnya dicuri? Namun, banyak juga yang mengutuk tindakan sewenang-wenangnya, tak pantas rasanya seorang berpangkat AKBP berbuat demikian—tak sanggup mengendalikan emosi dan main hakim sendiri. Apalagi disertai aneka cerita tentang kondisi si ibu dan anaknya yang konon tengah benar-benar kesulitan secara ekonomi. Inilah yang jadi musabab perdebatan, dengan video yang terus viral disebarkan di media sosial.

Kurang dari dua hari, AKBP M. Yusuf langsung mendapat hukuman instan. Ia dimutasi dari jabatannya yang cukup strategis, tak kurang Kapolri turut berkomentar keras atas kasusnya. Sementara sang ibu menjalani pemeriksaan hingga ke pengadilan.

Video viral polisi yang melakukan kesalahan ini bukanlah hal baru. Bisa dikatakan semua yang berhubungan dengan aparat yang melakukan kesalahan selalu viral di media sosial. Kesalahan itu bisa apa saja—mulai dari pelanggaran lalu lintas, penyalahgunaan wewenang, hingga perkelahian. Apa sebenarnya yang membuat video aparat yang lakukan kesalahan seperti M. Yusuf selalu viral dan jadi bulan-bulanan warganet di media sosial?

Saya kira ini berhubungan dengan sejarah panjang kita sebagai bangsa korban penjajahan yang penuh kebengisan dan kesewenang-wenangan (kolonialisme). Sebagai masyarakat pasca-kolonial, kita menyimpan dendam kesumat yang panjang pada segala hal yang berbau 'aparat'. Ditambah lagi, kita pernah hidup di orde di mana militerisme menjadi jangkar kekuasaan—tak kurang 32 tahun lamanya. Masayarakat kita pernah hidup di era di mana tentara, polisi, dan siapapun yang punya koneksi dengan semua itu seolah memiliki keistimewaan (privilege) sekaligus kuasa (power) yang luar biasa.

Secara kolektif kita tumbuh membawa semacam ketakutan terhadap aparat dengan simbol-simbol militeristik yang melekat pada mereka. Melihat polisi lalu lintas dari jauh saja, dada kita sudah berdebar—padahal kita tak punya salah apa-apa. Saat mental militeristik ini merangsek ke wilayah sipil, kita juga segan pada siapapun yang memakai emblem, lencana, atau apa saja. Bahkan hingga kini, dari kantor kelurahan hingga bandara kita masih diteror oleh militerisme semacam itu. Tanpa sadar, ada juga di antara kita yang ingin memanfaatkan tuah militerisme ini: Di kendaraan, masih ada yang menempel stiker polisi, lencana tentara, atau semacamnya untuk mendapatkan privilege tertentu—lepas dari tilang, misalnya.

Reformasi sebenarnya ingin mengoreksi semua itu. Dan dalam beberapa hal berhasil. Pemisahan Polri dari tubuh TNI juga dicabutnya dwifungsi ABRI membuat militerisme ini banyak kehilangan pamornya. Sekarang bisa dikatakan polisi tak semenyeramkan dulu, tentara tak lagi berkuasa atas apa saja, dan masyarakat sipil sudah mulai bisa bersikap biasa saja pada hal-hal yang berbau militer. Namun, bagaimanapun mengubah mentalitas bukanlah perkara mudah—terlebih kita punya trauma panjang tentang kesewenang-wenangan aparat polisi dan tentara di masa silam.

Inilah yang membuat hampir semua rekaman, berita, video atau apa saja yang mengekspose kelemahan dan kesalahan aparat selalu menjadi viral di media sosial. Seolah puas menyoraki kesalahan dan kelemahan itu, kita terus menyebarkan dan menghujatnya habis-habisan. Kita punya banyak dendam pada mereka dan ingin menuntaskannya—kalau bisa secara membabi buta.

Sebenarnya kita tahu aneka hujatan kepada AKBP M. Yusuf, misalnya, itu buruk dan terkategori cyberbullying (perisakan siber). Tetapi ada sesuatu yang lebih besar dalam diri masyarakat kita yang seolah mewajarkan semua itu: Dendam dari banyak hal. Akumulasi dari rasa tidak terima karena selama ini tak berdaya melawan aparat-aparat itu. Sementara media sosial meruntuhkan pangkat, lencana dan kuasa apapun.



Saya kira, itulah soalnya.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel