Social Media Addict Menjurus pada Kehidupan Konsumtif

JAKARTA – Sekitar 65% dari 93 juta pengguna internet di Indonesia menggunakan media sosial. Besarnya pengguna media sosial di Tanah Air ini memunculkan fenomena social media addict.

Sayang fenomena social media addict tak diimbangi dengan kualitas dalam penggunaannya. Masyarakat Indonesia cenderung terlalu konsumtif dalam menggunakan media sosial. Bahkan banyak etiket yang dilanggar atau bahkan kehidupan nyata di masyarakat dan keluarga ditinggalkan. Saat ini banyak individu di Indonesia lebih banyak waktu berinteraksi dengan dunia digital atau gadget daripada dengan masyarakat atau bahkan keluarga.

Sosiolog dari Universitas Padjadjaran Bandung Ganjar Kurnia mengatakan, fenomena social media addict bisa dilihat dari banyaknya pengguna hand phone yang tidak bisa lepas dari media sosial yang dimilikinya. "Kecenderungannya memang seperti itu," kata mantan Rektor Unpad ini. Keberadaan media sosial sebenarnya juga diperlukan, salah satunya sebagai wahana komunikasi dengan jaringan yang ada.

Semua pengguna media sosial di berbagai negara juga menggunakan media sosial untuk kepentingan memperkuat jaringan sosial. Bahasan yang dibagikan lebih banyak yang terkait dengan hal-hal penting. "Kondisinya berbeda dengan Indonesia. Sebagian besar pembahasan yang di-share lebih banyak masuk dalam kategori tidak penting," kata Ganjar. Ada juga informasi yang sangat panjang sehingga membuat pengguna media sosial malas membaca.

Hal itu menjadikan kepesertaan masyarakat dalam sebuah media sosial lebih banyak bersifat konsumtif. Belum lagi adanya oknum-oknum tertentu yang menyebarkan informasi hoax. Informasi hoax kerap menjadi pembahasan yang ditanggapi dengan serius. Tidak mengherankan jika beberapa kejadian sosial kemasyarakatan berlangsung akibat beredarnya informasi menyesatkan melalui media sosial.

Pengamat sosial masyarakat dari Universitas Indonesia (UI) Devie Rahmawati menyebutkan, kecanduan terhadap media sosial telah lama mengundang perhatian banyak peneliti, pengambil kebijakan, dan para pengusaha karena sudah terjadi pada masyarakat milenium. Dia menuturkan, berdasarkan statistik, terdapat sekitar 2 miliar lebih pengguna media sosial di seluruh dunia.

Mereka rata-rata remaja berusia 15-19 tahun. Sehari pengguna media sosial minimal menghabiskan waktu tiga jam untuk mengakses media sosial seperti FB, Twitter, dan Instagram. "Sebanyak 18% pengguna media sosial tidak dapat beranjak dari Facebook walau hanya dalam beberapa jam saja," ucap dia. Mengapa ini terjadi? Dia menjelaskan, dalam konteks mediasosial, teknologi mediasosial memang memenuhi kriteria "alami" yang disenangi manusia.

Media sosial mampu mengatasi ketakutan terbesar manusia, yaitu takut berbicara di depanumum. Dalamkajianpersuasi dijelaskan bahwa manusia di seluruh dunia takut berkomunikasi di hadapan publik daripada kematian sekalipun. Sementara dengan medium teknologi layar, para pengguna media sosial dapat berbicara di depan publik di antero dunia dengan percaya diri. Mereka merasa dapat bersembunyi di balik layardihadapanmereka. Mediasosial juga menyediakan sebuah panggung "drama" bagi manusia untuk tampil "sempurna".

Secara alamiah, manusia selalu ingin dipuja karena kehebatan, kebaikan, dan keunggulan-keunggulan yang dimilikinya. Sebagaimana yang disampaikan filsuf Yunani Aristoteles ratusan tahun lalu, manusia sangat egois. Media sosial dengan perangkat teknologi terdepannya menyediakan "perkakas" yang berfungsi untuk menyembunyikan kekurangan seseorang.

"Sehingga seseorang yang dalam kehidupan nyata bukanlah siapa-siapa dapat berubah menjadi idola jagat media sosial akibat rekayasa presentasi diri yang dilakukannya melalui media sosial," kata Devie. Dia menambahkan, algoritma teknis yang diciptakan di media sosial memang didesain untuk membuat orang tergantung. Semisal kolom komentar dan simbol like.

Ketika seseorang ingin diberi simbol like oleh orang lain, sebaliknya dia pun harus disiplin memberikan like pada komentar atau postingan orang lain. Balas budi digital ini akan membuato rang terus terperangkap dalam media sosial. Itulah sebabnya, media sosial telah menjadi arena kesadaran palsu yang sempurna. Para penggunanya banyak yang larut dalam "fantasi" yang mereka ciptakan sendiri maupun fantasi yang diciptakan orang lain.

Di sisi lain, pemikir sosial yang juga pakar semiotika dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Yasraf Amir Piliang menilai era keterbukaan informasi, khususnya dalam penggunaan media sosial saat ini, belum diiringi dengan kesiapan etika dan budaya hukum. Karenanya tak mengherankan media sosial kerap disalahgunakan sejumlah pihak yang tak bertanggung jawab.

"Sekarang keterbukaan informasi sudah terbuka begitu luas, tetapi sayangnya regulasi kita terlambat. Kalau di luar, ada persiapan aturan terlebih dahulu sehingga penggunaan medsos jauh lebih baik," ujar Yasraf saat ditemui KORANSINDO diKampus ITB beberapa waktu lalu. Tak hanya dalam kesiapan regulasi dan penegakan hukum, Yasraf menilai pengguna media sosial saat ini juga belum dibekali dengan kesiapan dalam aspek etika.

Etika penggunaan media sosial, menurut Yasraf, tak hanya mengacu pada persoalan baik dan tidak baik, tetapi terlebih juga pada kesadaran untuk tidak mencelakakan diri sendiri. "Di kita masih banyak ditemukan pengendara yang masih asyik menggunakan medsos (media sosial) saat menyetir kendaraan, baik menggunakan radio online maupun yang lainnya. Padahal kegiatan seperti di negara luar sudah dilarang, bahkan dikenai sanksi," tuturnya.

Begitu juga dalam tindak kriminal, fasilitas media social dinegara- Negara berkembang seakan menjadi surga bagi para pelaku kejahatan. Hal itu menurutnya, tak lepas dari minimnya penegakan hukum dalam dunia maya. Begitu juga dalam kecenderungan penggunaan media sosial saat ini, menurutnya, penggunaan media social sekarang ini masih tertuju pada kegiatan konsumtif atau hiburan seperti chatting, anime, me-bully orang, dan sebagainya.

Padahal sebagai alat bantu, media sosial memberi banyak kemudahan dan manfaat bagi penggunanya. "Dalam keseharian, penggunaan medsos kebanyakan untuk konsumtif, kecanduan menggunakan medsos tentu tak lepas dari kesenangan atau hiburan yang didapat dalam penggunaan medsos," tuturnya.

Dalam interaksi sosial, medsos juga memberikan pengaruh pada perilaku masyarakat dalam dunia nyata. Baik dalam tata krama maupun hingga perubahan interaksi langsung dalam kehidupan nyata. Yasraf kurang sependapat jika fenomena ini disebut sebagai kecanduan, tetapi mestinya keterjebakan media sosial. "Karena medsos memaksa penggunanya untuk tercabut dari dunia nyata," katanya.

Untuk itu agar mampu meminimalisasi dampak negatif media sosial, pengguna juga disarankan untuk proporsional dalam menggunakannya. Kepala Humas dan Pusat Informasi Kementerian Kominfo Ismail Cawidu mengakui fenomena social media addict sudah dalam kategori cukup mengkhawatirkan baik dilihat dari dampak psikologis yang ditimbulkan maupun dilihat dari segi efisiensi penggunaan ruang publik.

"Dari aspek psikologis boleh jadi itu akan berpengaruh pada penurunan minat belajar bagi siswa dan mahasiswa atau mengganggu kinerja bagi para pegawai, bahkan boleh jadi mengganggu polahubungan keluarga. Tentu hal ini menarik untuk diteliti seberapa besar pengaruhnya," papar dia saat dihubungi.

Sementara dari aspek efisiensi, menurut dia, fenomena ini dinilai sangat konsumtif dalam penggunaan sumber daya telekomunikasi atau bandwidth. Dana untuk membeli pulsa yang dipergunakan untuk kepentingan pola komunikasi melalui media sosial tentu sangat besar.

"Keluarga saya sendiri dengan tiga anak. Semua mempergunakan media sosial. Berlangganan Rp150.000/orang atau Rp450.000 sebulan untuk bertiga. Dana tersebut untuk keperluan media sosial dan sebagian untuk komunikasi keluarga. Kita bisa simpulkan pola social mediaaddict ini belum signifikan berkontribusi positif terhadap peningkatan produktivitas hidup masyarakat," papar dia.

hermansah/ heru muthahari

#gayahidupproduktif #investasi #investasicerdas #ubahcarapandang

Sumber

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel