Dua Kementerian Sabotase Nawacita Jokowi?
Thursday, August 2, 2018

Karpet merah pembuka jalan menuju periode kedua bagi Presiden Jokowi terlihat begitu terhampar. Pekik dukungan dari seantero penjuru nusantara pun sangat ramai terdengar. Rakyat begitu menyukai sejumlah capaian dan prestasi pengukir sejarah baru Indonesia, baik yang mereka lihat sendiri atau hanya dengar. Belum lagi kedekatan emosional yang dibangun dengan rakyat terlihat begitu nyata, berduyun-duyun antrian untuk sekedar meminta sepeda atau selfie selalu ditanggapi sang presiden dengan senyum lebar.
Namun rupanya, diam-diam masyarakat memendam kegusaran yang mereka rasakan. Fakta-fakta terpendam yang untuk sementara waktu terbenam oleh angka yang tampak menggembirakan. Sang presiden kah yang menyebabkan ikhwal kebingungan? Jawabannya bukan! Kunci permasalahannya justru terletak pada para pembantu presiden yang senantiasa membisikkan angka statistik telah membaik, dan bahwa rakyat telah hidup tentram, aman dan sejahtera dalam kemandirian berswasembada pangan.
Padahal yang terjadi sebenarnya, fakta di lapangan sangat jauh berbeda. Dua masalah besar yang tengah di hadapi oleh bangsa ini, masalah pangan serta Badan Usaha Milik Negara (BUMN) justru menjadi tantangan terbesar Jokowi. Bukankah perwujudan swasembada pangan serta kemandirian dalam sektor ekonomi sudah jauh-jauh hari dikumandangkan dan menjadi isu utama dari Nawacita Kabinet Kerja?
Sektor pertanian. Mari kita amati lebih jauh apa yang dilakukan oleh Amran Sulaiman sebagai menteri saat menerapkan kebijakan swasembada pangan. Selebrasi panen raya yang ramai pemberitaan di media massa, pembukaan lahan baru pertanian dan kesejahteraan petani yang akan membawa Indonesia pada kejayaan agraris, nyatanya hanya retorika belaka. Karena faktanya, kita masih harus terus mengimpor kebutuhan bahan pangan pokok dari berbagai negara di kawasan Asia. Seolah angka-angka yang disodorkan oleh Kementerian Pertanian hanya menjadi ilusi statistik belaka.
Memiliki bekal akademisi dan pengusaha dalam sektor agraris, Menteri Amran sejatinya seringkali offside. Kegagalan mewujudkan swasembada pangan yang seharusnya menjadi bahan pembenahan di Kementerian Pertanian justru ditanggapinya dengan menaikkan mimpi untuk mengekspor pangan Indonesia. Bukankah itu hanya akan menjadi satu daftar panjang mimpi-mimpi Indonesia yang tidak pernah terbeli? Cukup menggelikan memang. Mimpi-mimpi besar Menteri Amran tersebut nyatanya tidak kunjung mengobati derita petani, tidak pula membuat kita mandiri di bidang pangan. Mimpi yang hanya untuk meyakinkan prestasi menteri dan bersifat ilusi. Mimpi yang justru menjadi pengganjal bagi sejumlah prestasi di Kabinet Kerja itu sendiri.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan turut memberikan perhatian khusus terhadap berbagai potensi di sektor pangan atau pertanian karena terkait dengan hajat hidup orang banyak. Proyek pengadaan benih pun seringkali diselewengkan oleh para oknum pejabat pertanian. Seperti contoh kasus yang terjadi di akhir 2017, dimana benih bawang putih yang dibeli pemerintah melalui salah satu BUMN yaitu PT. Pertani sebanyak 350 ton dengan nilai anggaran APBN-P sebesar Rp30 miliar, ternyata saat pendistribusiannya banyak petani yang mengeluh tidak mendapat jatah benih sesuai data, atau bahkan banyak juga yang sama sekali tidak mendapat jatah.

Kegelisahan yang sama juga pernah diungkapkan oleh Anggota Komisi IV DPR, Zainut Tauhid. Menurutnya, Kementerian Pertanian seringkali menyuguhkan data yang tidak sesuai dengan kondisi di lapangan. Seperti misalnya barang-barang kebutuhan yang selalu dibilang ada dan cukup, namun faktanya harga di masyarakat sangat tinggi. Zainut bahkan mengingatkan kepada Satuan Tugas (Satgas) Pangan agar dapat berkerja lebih efektif guna memastikan realitas kondisi lapangan dan cepat mengambil tindakan dalam mengatasi permasalahan yang timbul.
Impor haruslah menjadi pilihan terakhir jika Kementerian Pertanian tidak siap. Karena akan berimbas pada meruginya para peternak dan petani. Oleh karenanya, Wakil Ketua Komisi IV DPR, Viva Yoga Mauladi berencana memanggil Menteri Amran guna memberikan penjelasan sesuai data yang sebenarnya agar bisa memutuskan apakah kebutuhan-kebutuhan produk pertanian tersebut harus kita impor atau tidak. Seperti yang beberapa waktu terakhir sedang menjadi isu, yaitu terkait harga telur ayam yang mengalami kenaikan, dan sampai hari ini belum ada solusi konkret dari Kementerian Pertanian.
Berbicara soal ilusi kerja yang lain, mungkin hanya Menteri Negara BUMN Rini Soemarno yang mampu menyaingi ilusinya Menteri Amran. Bagaimana tidak, Rini begitu menyemburkan seluruh energi negatif untuk menggerakkan perusahaan-perusahaan pelat merah. Usaha untuk menjadikan perusahaan milik negara tersebut menjadi sokoguru perekonomian dengan sama sekali tidak memandang pihak swasta, justru membuahkan banyak kegagalan, terutama dalam proyek-proyek infrastruktur.
Mimpi Rini untuk membentuk super holding BUMN layaknya Temasek Singapura atau Khazanah Malaysia, kembali menjadi mimpi yang tak terbeli. Salah kelola masih terjadi dimana-mana. Perombakan direksi dan komisaris BUMN selalu memunculkan suara sumbang. Pembiayaan proyek BUMN tidak saja menghisap APBN tetapi membuat hutang luar negeri semakin menumpuk. Belum lagi ditambah dengan hubungan buruk Menteri Rini dengan DPR yang membuat para wakil rakyat mengharamkan Senayan untuknya.
Dan anehnya, tidak ada satupun yang mampu menggoyang posisi Rini Soemarno?
Pangan dan produktifitas ekonomi yang sebagian besar digerakkan oleh BUMN adalah isu utama pemerintahan presiden Jokowi. Suara-suara sumbang sudah mulai bermunculan. Segala pencitraan yang direproduksi tidak akan sanggup untuk memoles kesulitan yang dialami oleh masyarakat. Sementara di sisi lain banyak wirausahawan yang gelisah mempertanyakan BUMN yang menyedot begitu banyak kesempatan yang seharusnya bisa mereka dapatkan, namun justru jadi beban negara. Padahal jika berkaca pada sejarah, para pengusaha swasta lah yang mengembalikan kepercayaan investor asing ke Indonesia pasca 1998.
Di era Rini Soemarno, banyak pengusaha gigit jari. Sudah kehilangan kue ekonomi malah kemudian ikut menanggung pelemahan rupiah akibat salah kelola BUMN. Di bawah komando Rini Soemarno, BUMN berubah jadi lembaga nirlaba yang menggantungkan hidup dari APBN dan pinjaman luar negeri. Hal-hal seperti ini yang harus lebih di waspadai oleh Presiden Jokowi. Kita semua tahu, bahwa sang presiden tidak lagi butuh pencitraan. Bahwa kedekatannya dengan rakyat memang tulus terbangun semenjak beliau menjabat Walikota Solo.
Rakyat pun paham bahwa Jokowi adalah orang baik yang sudah bekerja keras selama empat tahun terakhir. Namun yang rakyat tidak paham, mengapa kinerja baik dari pemerintah tersebut justru terganjal oleh kebijakan swasembada pangan yang tidak kunjung terwujud oleh retorika-retorika Menteri Pertanian. Seolah di bawah Amran Sulaiman, Kementerian Pertanian telah berubah menjadi pabrik propaganda, bukan lagi perancang swasembada. Jangan sampai jalan mulus dua periode Jokowi tersandung oleh borok yang terjadi di tubuh BUMN dan Pangan.

Sekali lagi, rakyat tidak butuh pencitraan, sebab pada kenyataannya Presiden Jokowi memang sosok yang amat disukai. Namun jangan lupa, bahwa rakyat masih tetap membutuhkan jawaban terkait persoalan yang sedang dihadapi oleh dua sektor krusial tersebut, yang mampu menyedot semua potensi positif dari perekonomian kita.
:beer: