PENYEBARAN KRISTEN DIJAWA OLEH MISIONARIS PRIBUMI LOKAL
Wednesday, August 22, 2018
Penyebaran Kekristenan di tanah Jawa memang unik. Dengan seabrek kebudayaan dan kepercayaan lokal berbalut mistisisme pra-Islam, menuntut para penginjil untuk mampu memahami kondisi sosial budaya masyarakat Jawa tersebut.
Sejak awal milenium kedua, orang-orang Nusantara banyak berlayar ke berbagai tempat seperti Tiongkok, bahkan sampai Afrika. Mereka berdagang dalam skala global dan bertemu banyak orang dari berbagai latar belakang lintas-budaya.
Dari aktivitas tersebut, selain bertukar barang dalam transaksi perdagangan, juga terjadi penyebaran agama, baik langsung maupun tidak langsung. Agama atau kepercayaan lokal bertemu dengan agama dan kebudayaan lain. Termasuk di Jawa. Akulturasi dan asimilasi terjadi ketika pengaruh agama-agama dari subbenua India seperti Hindu dan Buddha mulai masuk dan menyebar.
Hal ini juga berlanjut saat bergantinya periode persebaran agama Islam yang terjadi lewat pendekatan budaya dan tradisi lokal, layaknya yang dilakukan Walisongo untuk Islam di Jawa. Juga penyebaran agama Kristiani.
Asimilasi, akulturasi, sinkretisme, memang kata-kata kunci dalam penyebaran agama-agama di Jawa, terutama agama abrahamik yang datang dari Timur Tengah dan Eropa. Islam, misalnya, melanjutkan tradisi yang dibawa Walisongo dalam hal akulturasi sampai hari ini. .
Awal abad ke-19 ditandai dengan gejolak dan gerakan rakyat Jawa membangkang kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda maupun para penguasa pribumi yang tunduk pada Belanda. Gerakan ini juga menyeret basis religius Islam-Jawa, yakni di kalangan penganut Islam dan Kejawen.
Dalam situasi seperti ini, selain banyaknya tokoh-tokoh pejuang dari kalangan Islam, ada juga figur gerakan keagamaan Kristen lokal.
Pun begitu, pihak Belanda memang tak begitu berminat mengkristenkan tanah Jawa. Intensitas ajeg Belanda dalam mengirim para penginjil baru terlihat sejak 1848, ketika tiga misionaris masuk ke Jawa. Dari tiga orang tersebut, hanya Jellesma yang tampaknya benar-benar menjalankan tugas keagamaan di sebuah desa Kristen Mojowarno yang sudah eksis sebelumnya.
Kedatangan para misionaris meningkat antara 1860-1870. Bersamaan dengan itu, muncul pula tokoh-tokoh Kristen dari kalangan bumiputera yang mendapuk pemuka agama Kristen.
Rata-rata adalah para tokoh masyarakat dengan wawasan ngelmu yang mumpuni. Pengajarannya soal Kekristenan bercampur dengan narasi mistisisme Jawa. Para penginjil dari Barat mengkritik mereka, bahkan tak jarang melabeli para tokoh Kristen Jawa ini sebagai orang yang dangkal ilmunya.
Tetapi dari merekalah justru agama Kristen mendapat tempat di tengah-tengah masyarakat Jawa yang beragam. Para pendakwah Kristen Jawa jelas boleh balik menyerang bahwa para penginjil Barat ini tak paham apa-apa soal mistisisme Jawa dan segenap struktur sosial budaya masyarakat Jawa.
Dan Pada saat Masuknya Agama Kristen diJawa terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur Missionaris Lokal Pribumi ini Memiliki Sebutan Kiai. Seperti Kiai Sadrach, Kiai Tunggul Wulung, Kiai Abisai Singotruno, Kiai Dasimah dan Masih banyak lagi yang lain.
Kata, Kyai atau Kiyai, disinyalir sudah lama digunakan, jauh sebelum Islam masuk ke Indonesia. Sejak kebudayaan china menyebar di Indonesia. Istilah ini dibentuk dari dua kata, yaitu "Ki" dan "Yai". "Ki" adalah sebutan untuk laki-laki yang dituakan, dihormati atau memang sudah tua. Sedang "Yai" adalah kata yang asalnya dari dialek daerah-daerah asia tenggara Indochina, yang terpengaruh bahasa sanskrit dan Pali. "Yai" artinya besar, luas, atau agung. Kata ini masih digunakan di thailand, burma, kamboja. Dan jawa kuno. Maka, jika digabung, Kiyai berarti seorang laki-laki yang dihormati. Dalam segala kapasitas. Bukan hanya bidang "agama" saja.
Source:
detbookcase.wordpress.com/2017/09/28/kekristenan-di-jawa-iv/
id.wikipedia.org/wiki/Sadrach
id.wikipedia.org/wiki/Kiai_Ibrahim_Tunggul_Wulung
:nosara
Sejak awal milenium kedua, orang-orang Nusantara banyak berlayar ke berbagai tempat seperti Tiongkok, bahkan sampai Afrika. Mereka berdagang dalam skala global dan bertemu banyak orang dari berbagai latar belakang lintas-budaya.
Asimilasi, akulturasi, sinkretisme, memang kata-kata kunci dalam penyebaran agama-agama di Jawa, terutama agama abrahamik yang datang dari Timur Tengah dan Eropa. Islam, misalnya, melanjutkan tradisi yang dibawa Walisongo dalam hal akulturasi sampai hari ini. .
Awal abad ke-19 ditandai dengan gejolak dan gerakan rakyat Jawa membangkang kepada pemerintah kolonial Hindia Belanda maupun para penguasa pribumi yang tunduk pada Belanda. Gerakan ini juga menyeret basis religius Islam-Jawa, yakni di kalangan penganut Islam dan Kejawen.
Dalam situasi seperti ini, selain banyaknya tokoh-tokoh pejuang dari kalangan Islam, ada juga figur gerakan keagamaan Kristen lokal.
Pun begitu, pihak Belanda memang tak begitu berminat mengkristenkan tanah Jawa. Intensitas ajeg Belanda dalam mengirim para penginjil baru terlihat sejak 1848, ketika tiga misionaris masuk ke Jawa. Dari tiga orang tersebut, hanya Jellesma yang tampaknya benar-benar menjalankan tugas keagamaan di sebuah desa Kristen Mojowarno yang sudah eksis sebelumnya.
Kedatangan para misionaris meningkat antara 1860-1870. Bersamaan dengan itu, muncul pula tokoh-tokoh Kristen dari kalangan bumiputera yang mendapuk pemuka agama Kristen.
Tetapi dari merekalah justru agama Kristen mendapat tempat di tengah-tengah masyarakat Jawa yang beragam. Para pendakwah Kristen Jawa jelas boleh balik menyerang bahwa para penginjil Barat ini tak paham apa-apa soal mistisisme Jawa dan segenap struktur sosial budaya masyarakat Jawa.
Dan Pada saat Masuknya Agama Kristen diJawa terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur Missionaris Lokal Pribumi ini Memiliki Sebutan Kiai. Seperti Kiai Sadrach, Kiai Tunggul Wulung, Kiai Abisai Singotruno, Kiai Dasimah dan Masih banyak lagi yang lain.
Kata, Kyai atau Kiyai, disinyalir sudah lama digunakan, jauh sebelum Islam masuk ke Indonesia. Sejak kebudayaan china menyebar di Indonesia. Istilah ini dibentuk dari dua kata, yaitu "Ki" dan "Yai". "Ki" adalah sebutan untuk laki-laki yang dituakan, dihormati atau memang sudah tua. Sedang "Yai" adalah kata yang asalnya dari dialek daerah-daerah asia tenggara Indochina, yang terpengaruh bahasa sanskrit dan Pali. "Yai" artinya besar, luas, atau agung. Kata ini masih digunakan di thailand, burma, kamboja. Dan jawa kuno. Maka, jika digabung, Kiyai berarti seorang laki-laki yang dihormati. Dalam segala kapasitas. Bukan hanya bidang "agama" saja.
Quote:
Quote:
Quote:
Source:
detbookcase.wordpress.com/2017/09/28/kekristenan-di-jawa-iv/
id.wikipedia.org/wiki/Sadrach
id.wikipedia.org/wiki/Kiai_Ibrahim_Tunggul_Wulung
:nosara