Tentang Aborsi, Aturan Dan Budaya Yang Berlaku Di Indonesia
Thursday, August 2, 2018
Tentang aborsi yang menimbulkan pro dan kontra berbagai pihak

sumber: pixabay.com
Quote:
September 2017 silam, seorang remaja laki-laki berusia 17 tahun tega memperkosa adik perempuannya yang baru berusia 15 tahun. Ulah bejat sang kakak ternyata membuat si adik hamil dan harus menggugurkan kandungan yang berusia 5 bulan.
Kasus pemerkosaan terhadap anak atau adik di Indonesia memang bukan hal yang baru lagi. Beberapa kasus sempat diberitakan oleh media nasional baik cetak maupun online, parahnya kadang korban pemerkosaan mendapatkan perlakuan yang kurang baik dari keluarga ataupun lingkungannya.
Misalnya, saat penyanyi Via Vallen berbicara mengenai pelecehan seksual yang dialaminya lewat media sosial instagram. Ada yang mendukung, ada juga yang malah menyalahkan Via Vallen. Untuk seorang Via Vallen yang sudah terkenal dan memiliki banyak penggemar saja masih ada yang menyalahkan dia ketika mencoba berbicara tentang pelecehan seksual, lantas bagaimana dengan mereka yang bukan siapa-siapa?
Lewat akun twitternya, dr. Jiemy Ardian, seorang Instruktur Hypnotherapy Nasional, menceritakan bagaimana salah satu pasiennya yang diperkosa oleh 6 orang mendapatkan perlakuan tidak baik. Korban diusir dari rumah dan ditampung di rumah petinggi desa, malang bukannya mendapatkan perlindungan korban malah diperkosa kembali oleh "aki-aki bau tanah" dan parahnya warga malah menikahkan korban dengan si "aki-aki bau tanah" ini.
Logika yang aneh, karena membiarkan korban hidup bersama pemerkosa yang sudah menyebabkan rasa sakit dan trauma kepada korban.
Kembali ke kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh kakak kepada adik perempuannya, pada tanggal 19 Juli 2018 PN Muara Bulan menjatuhkan hukuman kepada kakak beradik ini. Si kakak dihukum 2 tahun penjara dan 3 bulan pelatihan kerja, sedangkan si adik dihukum 6 BULAN PENJARA dengan pelatihan kerja selama 3 bulan.
Begitu berita ini tersebar, berbagai pihak menyerukan pendapatnya tentang hukuman yang diberikan kepada si adik. Komnas Perempuan, KPAI, LSM sampai media luar negeri menyuarakan pendapatnya.
Kasus pemerkosaan terhadap anak atau adik di Indonesia memang bukan hal yang baru lagi. Beberapa kasus sempat diberitakan oleh media nasional baik cetak maupun online, parahnya kadang korban pemerkosaan mendapatkan perlakuan yang kurang baik dari keluarga ataupun lingkungannya.
Misalnya, saat penyanyi Via Vallen berbicara mengenai pelecehan seksual yang dialaminya lewat media sosial instagram. Ada yang mendukung, ada juga yang malah menyalahkan Via Vallen. Untuk seorang Via Vallen yang sudah terkenal dan memiliki banyak penggemar saja masih ada yang menyalahkan dia ketika mencoba berbicara tentang pelecehan seksual, lantas bagaimana dengan mereka yang bukan siapa-siapa?
Lewat akun twitternya, dr. Jiemy Ardian, seorang Instruktur Hypnotherapy Nasional, menceritakan bagaimana salah satu pasiennya yang diperkosa oleh 6 orang mendapatkan perlakuan tidak baik. Korban diusir dari rumah dan ditampung di rumah petinggi desa, malang bukannya mendapatkan perlindungan korban malah diperkosa kembali oleh "aki-aki bau tanah" dan parahnya warga malah menikahkan korban dengan si "aki-aki bau tanah" ini.
Logika yang aneh, karena membiarkan korban hidup bersama pemerkosa yang sudah menyebabkan rasa sakit dan trauma kepada korban.
Kembali ke kasus pemerkosaan yang dilakukan oleh kakak kepada adik perempuannya, pada tanggal 19 Juli 2018 PN Muara Bulan menjatuhkan hukuman kepada kakak beradik ini. Si kakak dihukum 2 tahun penjara dan 3 bulan pelatihan kerja, sedangkan si adik dihukum 6 BULAN PENJARA dengan pelatihan kerja selama 3 bulan.
Begitu berita ini tersebar, berbagai pihak menyerukan pendapatnya tentang hukuman yang diberikan kepada si adik. Komnas Perempuan, KPAI, LSM sampai media luar negeri menyuarakan pendapatnya.
Quote:
Penjelasan Polri tentang kasus ini
Dilansir dari detik, Brigjen Mohammad Iqbal yang menjabat Karo Penmas Divisi Humas Polri mengatakan bahwa korban dihukum karena dianggap menghilangkan nyawa melalui aborsi yang dilakukannya.
"Yang jadi masalah kenapa korban pemerkosaan dihukum?Nah ada suatu pandangan dari penyidik bahwa fakta hukmnya tu korban melakukan aborsi. Itu kan menghilangkan nyawa juga. Hukum harus tegak. Tetapi ada lex specialis karena masih di bawah umur."
Mengenai undang-undang yang mengatur tindakan aborsi adalah suatu tindakan yang ilegal, Iqbal mengatakan "itu darurat apabila tidak diaborsi, dapat menghilangkan nyawa ibunya, atas dasar kesehatan. Misal si A diperkosa dan tidak di bawah umur, dia tidak bisa lakukan aborsi."
Melihat penjelasan dari pihak kepolisian tentang kasus ini, sudah jelas bahwa kondisi psikologi dan faktor lain yang membuat korban melakukan aborsi tidak dipertimbangkan oleh pihak kepolisian. Karena kasus ini terjadi di dalam ruang lingkup keluarga, bukan tidak mungkin korban mendapatkan paksaan dari pihak lain untuk mengugurkan kandungannya.
Dilansir dari detik, Brigjen Mohammad Iqbal yang menjabat Karo Penmas Divisi Humas Polri mengatakan bahwa korban dihukum karena dianggap menghilangkan nyawa melalui aborsi yang dilakukannya.
"Yang jadi masalah kenapa korban pemerkosaan dihukum?Nah ada suatu pandangan dari penyidik bahwa fakta hukmnya tu korban melakukan aborsi. Itu kan menghilangkan nyawa juga. Hukum harus tegak. Tetapi ada lex specialis karena masih di bawah umur."
Mengenai undang-undang yang mengatur tindakan aborsi adalah suatu tindakan yang ilegal, Iqbal mengatakan "itu darurat apabila tidak diaborsi, dapat menghilangkan nyawa ibunya, atas dasar kesehatan. Misal si A diperkosa dan tidak di bawah umur, dia tidak bisa lakukan aborsi."
Melihat penjelasan dari pihak kepolisian tentang kasus ini, sudah jelas bahwa kondisi psikologi dan faktor lain yang membuat korban melakukan aborsi tidak dipertimbangkan oleh pihak kepolisian. Karena kasus ini terjadi di dalam ruang lingkup keluarga, bukan tidak mungkin korban mendapatkan paksaan dari pihak lain untuk mengugurkan kandungannya.
Quote:
Undang-undang yang melegalkan aborsi
Brigjen Mohammad Iqbal mengatakan aborsi bisa menjadi tindakan yang legal jika keselamatan si ibu dan janin yang dikandungnya terancam.
Ada undang-undang yang melegalkan aborsi dalam keadaan tertentu, peraturan ini diatur dalam undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan Pasal 75 ayat (2) yang menyatakan bahwa aborsi dapat dilakukan jika terjadi indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.
Kemudian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dalam pasal 31 ayat 1 menyebutkan tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan indikasi kedaruratan medis atau kehamilan akibat pemerkosaan.
Kehamilan akibat pemerkosaan yang disebutkan oleh PP nomor 61 Tahun 2014 ini harus dinyatakan oleh surat keterangan dokter, keterangan penyidik, psikolog dan/atau ahli lain mengenai adanya pemerkosaan.
Kemudian dalam Pasal 31 ayat 2 PP Nomor 61 Tahun 2014 menyebutkan
Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
Mencermati dari undang-undang yang mengatur pelegalan aborsi, ada beberapa hal yang tidak terpenuhi oleh korban pemerkosaan yang harus dihukum tadi. Pertama, korban melakukan aborsi ketika usia kandungannya sudah 5 bulan atau 150 hari. Kemudian, tidak ada surat keterangan dari dokter, penyidik ataupun psikolog yang menyatakan bahwa korban hamil karena adanya pemerkosaan.
Pasal 31 ayat 1 dan 2 PP Nomor 61 Tahun 2014 inilah yang menjadi dasar hukum hakim menjatuhkan hukuman.
Brigjen Mohammad Iqbal mengatakan aborsi bisa menjadi tindakan yang legal jika keselamatan si ibu dan janin yang dikandungnya terancam.
Ada undang-undang yang melegalkan aborsi dalam keadaan tertentu, peraturan ini diatur dalam undang-undang No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan Pasal 75 ayat (2) yang menyatakan bahwa aborsi dapat dilakukan jika terjadi indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetik berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan.

sumber: pixbay.com
Kemudian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi dalam pasal 31 ayat 1 menyebutkan tindakan aborsi hanya dapat dilakukan berdasarkan indikasi kedaruratan medis atau kehamilan akibat pemerkosaan.
Kehamilan akibat pemerkosaan yang disebutkan oleh PP nomor 61 Tahun 2014 ini harus dinyatakan oleh surat keterangan dokter, keterangan penyidik, psikolog dan/atau ahli lain mengenai adanya pemerkosaan.
Kemudian dalam Pasal 31 ayat 2 PP Nomor 61 Tahun 2014 menyebutkan
Tindakan aborsi akibat perkosaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling lama berusia 40 hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
Mencermati dari undang-undang yang mengatur pelegalan aborsi, ada beberapa hal yang tidak terpenuhi oleh korban pemerkosaan yang harus dihukum tadi. Pertama, korban melakukan aborsi ketika usia kandungannya sudah 5 bulan atau 150 hari. Kemudian, tidak ada surat keterangan dari dokter, penyidik ataupun psikolog yang menyatakan bahwa korban hamil karena adanya pemerkosaan.
Pasal 31 ayat 1 dan 2 PP Nomor 61 Tahun 2014 inilah yang menjadi dasar hukum hakim menjatuhkan hukuman.
Quote:
Pembicaraan mengenai aborsi selalu menarik perhatian dari berbagai pihak, karena ini melibatkan kesehatan, hak hidup, kondisi psikologi, pendidikan dan aspek lain yang harus dipertimbangkan dengan baik dan matang sebelum melakukan aborsi.
Akhirnya, terdapat kubu Pro-Live yang menolak aborsi dengan pertimbangan hak hidup janin yang dikandung juga kubu Pro-Choice yang mendukung aborsi dengan pertimbangan masa depan si ibu yang mengandung.
Baik janin maupun ibunya sama-sama memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari negara dan hak untuk hidup yang sama. Maka selain aturan yang memberikan perlindungan kepada janin dan ibunya, harus ada langkah lain yang dilakukan oleh pemerintah.
Seperti yang saya sebut sebelumnya, masih ada orang-orang yang berpikiran kasus pemerkosaan terjadi karena kesalahan dari pihak perempuan sehingga berujung pada bullying dan menyalahkan korban, padahal hal seperti ini tak seharusnya terjadi. Korban pemerkosaan pasti mengalami trauma, dan tekanan psikologi yang membuat dirinya jatuh dalam keterpurukan.
Kita selaku saudara sebangsa setanah air, seharusnya memberikan dukungan agar korban bisa bangkit dan kembali menjalani kehidupan untuk masa depan yang lebih baik lagi. Pemerintah juga bisa mulai melakukan sosialisasi aturan-aturan yang berkaitan dengan aborsi kepada masyarakat secara menyeluruh dan menyentuh daerah-daerah yang jauh dari pusat kota, karena sebagian besar masyarakat yang jauh dari pusat kota masih memegang budaya yang cenderung memojokan korban pemerkosaan.
Selain itu, pendidikan seks juga harus diberikan sedini mungkin pada anak-anak agar kelak masyarakat Indonesia bisa menghilangkan budaya menyalahkan korban pemerkosaan. Merubah suatu budaya bukanlah hal yang tidak mungkin, hanya saja diperlukan usaha dan ketekunan. Dengan bantuan dari internet dan media sosial, Pemerintah bisa dengan mudah mengedukasi para netizen. Agar nantinya tidak lagi ada korban pemerkosaan dalam keluarga yang selalu menutup-nutupi perkosaan, untuk mencegah ada lagi orang yang memilih untuk melakukan aborsi demi menyelamatkan nama baik keluarganya.
Terakhir, berkaca dari kasus ini pemerintah diharapkan untuk membuat perubahan pada regulasi agar tidak terjadi lagi korban pemerkosaan dihukum karena melakukan aborsi.
Akhirnya, terdapat kubu Pro-Live yang menolak aborsi dengan pertimbangan hak hidup janin yang dikandung juga kubu Pro-Choice yang mendukung aborsi dengan pertimbangan masa depan si ibu yang mengandung.

sumber: pixabay.com
Baik janin maupun ibunya sama-sama memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dari negara dan hak untuk hidup yang sama. Maka selain aturan yang memberikan perlindungan kepada janin dan ibunya, harus ada langkah lain yang dilakukan oleh pemerintah.
Seperti yang saya sebut sebelumnya, masih ada orang-orang yang berpikiran kasus pemerkosaan terjadi karena kesalahan dari pihak perempuan sehingga berujung pada bullying dan menyalahkan korban, padahal hal seperti ini tak seharusnya terjadi. Korban pemerkosaan pasti mengalami trauma, dan tekanan psikologi yang membuat dirinya jatuh dalam keterpurukan.
Kita selaku saudara sebangsa setanah air, seharusnya memberikan dukungan agar korban bisa bangkit dan kembali menjalani kehidupan untuk masa depan yang lebih baik lagi. Pemerintah juga bisa mulai melakukan sosialisasi aturan-aturan yang berkaitan dengan aborsi kepada masyarakat secara menyeluruh dan menyentuh daerah-daerah yang jauh dari pusat kota, karena sebagian besar masyarakat yang jauh dari pusat kota masih memegang budaya yang cenderung memojokan korban pemerkosaan.
Selain itu, pendidikan seks juga harus diberikan sedini mungkin pada anak-anak agar kelak masyarakat Indonesia bisa menghilangkan budaya menyalahkan korban pemerkosaan. Merubah suatu budaya bukanlah hal yang tidak mungkin, hanya saja diperlukan usaha dan ketekunan. Dengan bantuan dari internet dan media sosial, Pemerintah bisa dengan mudah mengedukasi para netizen. Agar nantinya tidak lagi ada korban pemerkosaan dalam keluarga yang selalu menutup-nutupi perkosaan, untuk mencegah ada lagi orang yang memilih untuk melakukan aborsi demi menyelamatkan nama baik keluarganya.
Terakhir, berkaca dari kasus ini pemerintah diharapkan untuk membuat perubahan pada regulasi agar tidak terjadi lagi korban pemerkosaan dihukum karena melakukan aborsi.
Quote: