ANTI BENDERA HTI = ANTI KALIMAT TAUHID!


Mengapa kita jarang sekali temukan lambang-lambang bertorehkan kalimat tauhid di acara-acara lingkungan pesantren? Lihat saja saat ada pagelaran imtihan, haflah, haul, pawai ta'aruf, istighotsah, maulid akbar, atau sejenisnya. Jarang sekali kita lihat kalimat tauhid tercetak di bendera, spanduk, kaos, peci, koko, sorban, apalagi ikat kepala.


Mengapa? Bukankah kalimat tauhid itu luhur? Apakah kalangan pesantren kurang ghirah keislamannya? Apakah mereka tidak bangga dengan ketauhidannya? Atau jangan-jangan mereka tidak suka kalimat tauhid?
Sebelum Anda menerka yang tidak-tidak, ada satu hal yang musti dipahami. Justru para kiai dan santri itu mungkin lebih akrab dengan kalimat tauhid daripada kita yang setiap hari pakai ikat kepala bertoreh lafal tauhid. Selain dikumandangan lima kali sehari saat adzan, kalimat tauhid juga diwiridkan dan diendapkan di alam bawah sadar mereka secara berjamaah tiap usai sholat.

Afdhaludz-dzikri fa'lam annahu; laa ilaaha illallaah. Diwiridkan serempak oleh imam dan makmum, ada yang 40 kali, 70 kali, atau 100 kali, kemudian dipungkasi dengan; 'muhammadur-rasuulullaah'. Demikian lima kali sehari, belum lagi jika ada yang mengamalkan wirid tahlil tambahan.


Kalau demikian, mengapa jarang sekali terlihat simbol-simbol kalimat tauhid di gelaran-gelaran mereka?
Tradisi moral kalangan santri dalam berfikih adalah jawabnya, sama dengan membuat kobokan kaki di luar tempat wudhu sebelum masuk masjid, memilih pakai mukenah terusan daripada potongan, pelafalan niat sebelum takbirotul ihrom, koor niat puasa setelah taraweh, memakai sandal khusus dari toilet ke tempat salat di rumah.


Apalagi dalam kaitannya dengan kalimat tauhid. Ada kehati-hatian fikih bagi kalangan santri agar tidak sembrono meletakkan kalimat suci tersebut di sembarang tempat. Bagi santri, kalimat tauhid adalah jimat dunia akhirat yang sangat luhur. Ia tidak boleh tercecer, tergeletak, terbuang, atau bertempat di lokasi kotor apalagi najis.


Jika ia dicetak di sandangan semisal kaos, baju, topi, atau bandana, dikuatirkan bisa bercampur najis ketika dicuci. Jika dicetak di spanduk-spanduk atau bendera temporer, dikuatirkan akan tercampakkan sewaktu-waktu. Kalau dicantumkan di lambang pesantren, akan menyulitkan saat membuat undangan, kartu syahriyah, baju almamater, dan lainnya. Apalagi jika dicetak di stiker-stiker. Di tempat-tempat tersebut kalimat tauhid bisa sangat rawan terabaikan.


Bagi kalangan pesantren, kalimat tauhid hanya boleh dicantumkan di tempat-tempat spesial yang sekiranya bisa terjaga kehormatannya.


Wallahu a'lam bissawab.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel