Kelembutan Dakwah Gus Miek Menembus Dunia Malam
Thursday, September 13, 2018

Kyai Haji Hamim Jazuli, yang lebih akrab disapa Gus Miek adalah seorang ulama dan pendakwah yang memimpin Pondok Pesantren, Majlis ta'lim dan Alqur'an, di Kediri, Jawa Timur.
Beliau lahir di Kediri, bertepatan dengan hari Proklamasi RI 17 Agustus 1940, dan wafat di Surabaya dalam usia 53 tahun, pada tanggal 5 Juni 1993 silam.
Meski telah tiada, beliau tetap dikenang banyak orang, sebagai ulama dan da'i yang lembut, ramah, dan penuh kasih sayang, baik sesama muslim, maupun terhadap non Muslim, baik yang taat maupun yang penuh maksiat. Dalam pandangan beliau, semua manusia mempunyai potensi yang sama untuk memperoleh kebaikan.
Karena itu, banyak orang yang menganggap Gus Miek sebagai seorang "wali". Salah satunya adalah pengakuan dari almarhum Gus Dur. Seminggu setelah Gus Miek wafat, Gus Dur menuliskan obituari khusus untuk Kompas.
Berikut adalah tulisan Gus Dur yang dimuat di Harian Kompas, 13 Juni 1993, yang telah Ane edit dan sadur, tanpa mengubah makna dan esensinya:
TIGA tahun lalu (1990), saya bertemu Gus Miek di sebuah surau di Tambak, Desa Ploso, Kediri. Dari beranda surau itu, ia menunjuk sebidang tanah yang baru saja disambungkan ke pekarangan surau. Ia berkata kepada saya:
"Di situ nanti Kiyai Ahmad akan dimakamkan. Demikian juga saya. Dan nantinya sampeyan, karena tanah ini sengaja saya beli sebagai makam para penghafal Alqur'an."
Saya katakan bahwa saya bukan penghafal Alqur'an. Dijawabnya bahwa bagaimanapun, saya harus dikuburkan di situ.
Setahun kemudian (1991), ketika KH. Ahmad Sidiq wafat, beliau pun dikuburkan di tempat itu atas permintaan Gus Miek. Baru saya sadar bahwa Kiyai Ahmad yang dimaksudkannya itu adalah KH. Ahmad Sidiq.
Hal-hal seperti inilah yang seringkali dijadikan bukti oleh orang banyak, bahwa Gus Miek adalah seorang dengan kemampuan Super Natural. Sesuai dengan "tradisi" penyempitan makna istilah, orang awam menyebutnya dengan istilah "Wali" (Saint).
Kemampuan Super Natural Gus Miek itu, dalam istilah estakologi orang pesantren disebut sifat Khariqul 'adah, alias keanehan-keanehan. Dengan bermacam-macam keanehan yang dimilikinya, Gus Miek lalu memperoleh status "Orang Keramat". Banyak "kesaktian" ditempelkan pada reputasinya. Mau banyak rezeki, harus memperoleh berkahnya. Ingin naik pangkat, harus didukung olehnya. Mau beribadah haji, harus dimakelarinya. Dan demikian seterusnya.
Reputasi sebagai Orang Keramat ini, dinilai sebagai pendorong mengapa banyak orang berbondong-bondong memadati acara keagamaan yang dilangsungkan Gus Miek. Setiap acara Sema'an (bersama-sama mendengarkan bacaan Alqur'an oleh para penghafalnya) yang diselenggarakannya, selalu dihadiri banyak orang. Dari pagi orang bersabar mendengarkan bacaan Alqur'an, untuk mengamini doa yang dibacakan Gus Miek seusai menamatkan bacaan Alqur'an, biasanya sekitar jam delapan malam. Mereka sabar menanti sepanjang hari, demi memperoleh siraman jiwa berupa Mau'izah Hasanah (petuah yang baik) dari tokoh kharismatik ini. Padahal, sepanjang pagi itu ia masih tidur, setelah begadang semalam suntuk.
Gus Miek menempuh dua pola kehidupan sekaligus. Kehidupan tradisional orang pesantren, yang tertuang dalam rutinitas pengajian Alqur'an yang diselenggarakannya, dan gebyarnya kehidupan dunia hiburan modern. Gebyar, karena dia selamanya berada di tengah diskotik, night club, coffee shop, dan "arena persinggahan perkampungan" orang-orang tuna susila.
Tidak tanggung-tanggung, ia akrab dengan seluruh penghuni dan aktor kehidupan tempat tersebut. Yang ditenggaknya adalah bir hitam, yang setiap malam ia nikmati berbotol-botol. Rokoknya Wismilak bungkus hitam, yang ramuannya diakui berat.
Kontradiktif? Ternyata tidak, karena di kedua tempat itu ia berperanan sama. Memberikan kesejukan kepada jiwa yang gersang, memberikan harapan kepada mereka yang putus asa, menghibur mereka yang bersedih, menyantuni mereka yang lemah, dan mengajak semua kepada kebaikan. Apakah itu petuah di pengajian seusai pengajian, sewaktu konsultasi pribadi dengan pejabat dan kaum elit lainnya, ataupun ketika meladeni bisikan kepedihan yang disampaikan dengan suara lirih ke telinganya oleh wanita-wanita penghibur, esensinya tetap sama. Manusia mempunyai potensi memperbaiki keadaannya sendiri.
***
Tetapi, Gus Miek juga hanyalah manusia biasa. Manusia yang memiliki kekuatan dan kelemahan, kelebihan dan kekurangan. Keseimbangan hidupnya tidak bertahan lama oleh ketimpangan pendekatan yang diambilnya. Ia menjadi terlalu memperhatikan kepentingan orang-orang besar dan para pemimpin tingkat nasional. Ia juga tidak menjadi imun terhadap kenikmatan hidup dunia gebyar. Untuk beberapa bulan, hubungan saya dengan Gus Miek secara batin menjadi sangat terganggu karena hal-hal itu. Saya menolak untuk mendukung jagonya untuk jabatan Wapres, dan ini membuat ia tidak enak perasaan kepada saya.
Mungkin, tidak dipahaminya keinginan saya agar agama tidak dimanipulasikan dengan politik negara. Tugas pemimpin agama adalah menjaga keutuhan bangsa dan negara dan berupaya agar kebenaran dapat ditegakkan. Sedangkan kebenaran itu akan terjelma melalui kedaulatan rakyat sesungguhnya, kedaulatan hukum, kebebasan dan persamaan perlakuan di muka undang-undang.
Tetapi, sejauh apa pun hubungan batin kami berdua, saya sendiri tetap rindu kepada Gus Miek. Bukan kepada gebyarnya dunia hiburan. Tetapi bahwa kalau malam, menjelang pagi, ia tidur beralaskan kertas koran di rumah Pak Syafi'i Ampel di kota Surabaya, atau Pak Hamid di Kediri. Yang dimiliki Pak Hamid hanyalah sebuah kursi plastik jebol dan dua buah gelas serta sebuah teko logam. Itulah dunia Gus Miek yang sebenarnya, yang ditinggalkannya untuk beberapa bulan mungkin hanya sebagai sebuah kelengkapan lakonnya yang panjang. Agar ia tetap masih menjadi manusia, bukan malaikat.
Yang selalu saya kenang adalah kerinduannya kepada upaya perbaikan dalam diri manusia. Karena itu, ulama idolanya pun adalah yang membunyikan lonceng harapan dan genta kebaikan, bukan hardikan dan kemarahan kepada hal-hal yang buruk. Ia gandrung kepada Mbah Mesir yang dimakamkan di Trenggalek, pembawa tarekat Sadziliyah, 200 tahun yang lalu ke Jawa Timur. Tarekat itu adalah tarekatnya orang kecil, dan membimbing rakyat awam yang penuh kehausan rasa kasih dan sapaan yang santun.
Gus Miek inilah yang melalui transendensi keimanannya, tidak lagi melihat "kesalahan" keyakinan orang beragama atau berkepercayaan lain. Ayu Wedayanti yang Hindu, diperlakukannya sama dengan Neno Warisman yang muslimah, karena ia yakin, kebaikan sama berada pada dua orang penyanyi tersebut. Banyak orang Katolik menjadi pendengar setia wejangan Gus Miek seusai pegajian.
Kerinduannya kepada realisasi potensi kebaikan pada diri manusia inilah yang menurut saya menjadikan Gus Miek sebagai Super Natural. Bukan karena ia menyalahi ketentuan hukum-hukum alam. "Super", karena dia mampu mengatasi segala macam jurang pemisah dan tembok penyekat antara sesama manusia. "Natural", karena yang ia harapkan hanyalah kebaikan bagi manusia. Kalau ia dianggap nyleneh, maka dalam artian inilah ia harus dipahami demikian. Bukankah nyleneh orang yang tidak peduli batasan agama, etnis dan profesi dan tidak hirau apa yang dinamakan baik dan buruk di mata kebanyakan manusia, sementara manusia saling menghancurkan dan membunuh?
***
Demikianlah seorang Gus Miek, menempuh jalan lembut dan santun dalam menyampaikan kebaikan kepada semua manusia, tanpa mencap apalagi menjustifikasi mereka sebagai "ahli neraka", meskipun secara syariat (kasat mata), orang itu termasuk ahli maksiat.
Referensi:
Harian Kompas, Minggu, 13-06-1993, page 1.
Wkipedia