PARALELISME POLITIK DAN MEDIA, ASA KESEIMBANGAN INFORMASI DI TAHUN POLITIK

Dewasa ini, informasi yang ada di media menjadi kebutuhan pokok bagi individu, masyarakat, organisasi bahkan budaya suatu daerah, sehingga tidak bisa ditampikkan bahwa media menjadi kebutuhan penting bagi setiap orang. Eratnya kaitan kehidupan masyarakat dengan media tidak terlepas dari 4 fungsi dasar media massa bagi masyarakat, yaitu: Fungsi edukasi, fungsi informasi, fungsi hiburan, dan fungsi pengaruh. 


Terkhusus fungsi pengaruh, media massa berfungsi sebagai pemberi pengaruh kepada masyarakat luas lewat acara atau berita yang disajikannya, sehingga dengan adanya media massa diharapkan masyarakat dapat terpengaruhi oleh berita yang disajikan. Misalnya ajakan pemerintah untuk mengikuti pemilihan umum (Pemilu), maka diharapkan masyarakat akan terpengaruh dan semakin berpartisipasi bagi mengikuti pemilu.

Dalam penyelenggaraan demokrasi di Indonesia, media massa dituntut untuk lebih independen dan netral dalam menayangkan informasi pada saat penyelenggaraan demokrasi, terkhusus pada saat pesta demokrasi atau Pemilu. Media harus bisa menjadi kontrol sosial atau penengah dalam kehidupan sosial politik yang ada. Media massa harus mampu memberikan informasi yang aktual, faktual dan berimbang agar bisa menjadi referensi masyarakat dalam memilih pemimpin dan bisa mewujudkan Pemilu yang berkualitas.

Salah satu cara meningkatkan kualitas Pemilu adalah dengan mengoptimalkan fungsi pengawasan partisipatif Pemilu. Pengawasan partisipatif tentu berkaitan dengan peran media massa. Media massa memiliki peran melakukan agenda setting. Agenda setting mengacu pada kemampuan media mengarahkan pusat perhatian media ke isu tertentu, dalam hal ini yaitu partisipasi Pemilu.

Dalam implementasinya, agenda setting berkaitan dengan kemampuan media massa dalam mengagendakan isu-isu tertentu dan mengalihkan perhatian khalayak terhadap isu tersebut. Media massa dapat mempengaruhi khalayak tentang apa yang ada alam pikiran mereka, artinya media massa mempengaruhi persepsi khalayak mengenai apa yang dianggap penting. Media massa memiliki kekuatan untuk mempengaruhi agenda media kepada agenda publik. Sehingga, dapat menjadi senjata propaganda yang ampuh dan efektif.

Kedekatan antara media dengan masyarakat bisa dimanfaatkan pers untuk melakukan propaganda demi mendongkrak partisipasi pemilih di Indonesia pada Pemilu 2019 mendatang. Agenda setting  yang dilakukan media akan menjadi salah satu cara mewujudkan Pemilu yang berintegritas jika dimanfaatkan dan dikontrol dengan benar. Namun, agenda setting  juga bisa digunakan sebagai alat kampanye politik, hal tersebut sudah terjadi pada media di Indonesia, media televisi tertentu sudah berani memasang iklan partai secara masif dan tentu tidak berimbang dengan pendidikan terkait Pemilu yang diberikan.

Hal itu terjadi akibat adanya hubungan paralelisme partai politik dengan media bersangkutan. Kita tidak bisa menampikkan bahwa kepemilikan media di Indonesia banyak dikuasai oleh elite politik dan ini bisa memangkas peran pers sebagai pilar pengawas demokrasi.

Paralelisme Politik dan Media
Paralelisme politik mencerminkan kesamaan wacana oleh partai politik, dan media sebagai mesin agenda setting-nya.  Membahas terkait masuknya konteks media ke dalam penyelenggaraan politik seperti Pemilu bersangkutan dengan dua hal yakni yang pertama terkait posisi media terhadap ranah politik yang masih labil. Kedua, terkait dengan sumber informasi dan pendanaan serta posisi media yang terjebak kepada konflik kepentingan antara mempertahankan etika jurnalistik dengan kepentingan bisnis atau dalam hal ini kepentingan politik.

Hilangnya fungsi partai politik dalam memberikan pendidikan politik kemudian memunculkan media sebagai subjek atau aktor tunggal, sehingga mengakibatkan konten media lebih cenderung ke penonjolan figure yang akan bertarung dalam pentas politik dan pemilu maupun penonjolan institusi partai politik. Media juga sudah dimanfaatkan sebagai agen propaganda dalam menyampaikan pesan politis kepada masyarakat.

Perubahan orientasi media di era demokrasi elektoral sekarang juga berbanding lurus dengan berubahnya paradigma media dalam melakukan agitasi politik yang mementingkan kepentingan golongan tanpa memperhatikan khalayak atau penonton. Sehingga muncul komersialisasi yang dikemas dalam agenda setting media supaya orientasi media diarahkan untuk mendukung kekuatan politik tertentu.

Tentu paralelisme ini sangat berbahaya dan dapat menciderai demokrasi di Indonesia itu sendiri. Siaran pers yang tidak berimbang akan semakin memperpanas kondisi perpolitikan di Indonesia. Masyarakat justru tidak mendapatkan pencererahan atas isu perpolitikan, namun justru bisa semakin terprovokasi akibat tidak berimbangnya informasi yang diterima. Hal tersebut akan menjadi ancaman serius bagi Pemilu 2019 mendatang. Terutama untuk Pilpres yang hanya diikuti 2 pasangan calon.

Asa Terhadap Media di Pemilu 2019
            Kita tentu berharap banyak kepada pers untuk dapat memainkan peran sebagaimana mestinya pada Pemilu 2019 mendatang. Harapannya, media bisa lebih intens memberikan pendidikan politik kepada masyarakat dengan memanfaatkan ruang publik sebagai bagian dari acara televisi maupun konten berita di surat kabar.

            Hal tersebut berkaitan dengan panasnya iklim perpolitikan di Indonesia sehingga mengakibatkan banyak isu simpang siur yang meresahkan masyarakat. Untuk itu, di sinilah peran media ditunggu sebagai penyedia ruang publik untuk klarifikasi segala isu yang meresahkan publik.

           Lalu, sebagai langkah preventif, siapa yang berperan mengawasi kinerja pers? Pertama, kita punya Dewan Pers. Pasca reformasi Dewan Pers memiliki dasar hukum terbaru yaitu Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Dewan Pers menjadi sebuah lembaga independen tanpa intervensi pemerintah lagi. Hingga saat ini, Dewan Pers tidak memiliki perwakilan dari Pemerintah pada jajaran anggotanya. Tujuan dari pembentukan Dewan Pers yang independen dan merdeka dari Intervensi ialah untuk memenuhi Hak Asasi Manusia (HAM) dan penegakkan demokrasi di Indonesia.
Tentu Dewan Pers tidak bisa bekerja sendiri, Dewan Pers membutuhkan peran kita sebagai civil society untuk turut serta mengawasi pemberitaan media agar tetap netral dan berimbang. Harapannya, Dewan Pers juga mampu tegas menyikapi segala pelanggaran pers yang terjadi di tahun Pemilu 2019 nanti.

Oleh: Muhammad Iqbal Khatami
Mahasiswa Ilmu Komunikasi UMY
Pegiat Komunitas Independen Sadar Pemilu (KISP)
 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel