Pengamen Menghibur? Ngeganggu Iya
Tuesday, September 18, 2018
Selamat pagi, siang, sore, petang, dan malam kawan - kawan kaskuser semua yang baik hati. Bertemu kembali di thread sederhana ane.
:nyepi
Mengamen merupakan salah satu profesi non formal yang secara disadari ataupun tidak, sangat banyak sekali pelakunya di Indonesia ini. Ketika kita memesan makanan di warung lesehan pinggir jalan misalnya, sembari menunggu pesanan datang saja, bisa jadi sudah lebih dari 3 rombongan pengamen yang mendatangi kita. Belum lagi saat naik kendaraan umum, yang satu turun, satunya sudah naik lagi.
Kenapa profesi ini begitu banyak dilakukan dan diminati oleh banyak orang? Karena profesi ini tidak membutuhkan keahlian khusus. Di sisi lain, hasil yang didapatkan pun juga besar dan tak bisa dianggap remeh. Bahkan jika sedang beruntung, hasil dari mengamen bisa melebihi dari gaji seorang PNS sekalipun.
Selain motif mendapatkan uang, ada pula pengamen yang hanya sekedar melatih skill saja, atau ada pula alasan lain yang mendasarinya. Namun dari beberapa alasan tersebut, ada satu hal yang menyatukan tujuan mereka, yaitu mereka sama - sama ingin menghibur orang yang diameninya. Meski tujuannya seperti itu, benarkah orang yang di ameni tersebut merasa terhibur? Ataukah justru merasa terganggu?
Jawabannya tergantung sikon dan kualitas dari pengamen itu sendiri. Kalau kasusnya seperti yang sudah saya jelaskan diawal, tentu yang seperti ini bisa dikatakan sangat mengganggu. Makanan yang di pesan saja belum datang, tapi gelas bekas air mineral berisi uang receh sudah tiga kali nangkring di depan kita. Belum lagi kalau makanan sudah datang, baru juga sesuap, sudah ada pengamen yang antri lagi. Seolah mereka sedang tampil di depan juri audisi Indonesian Id*l. Siapa yang nggak gondok dengan situasi seperti ini? Bukan masalah uang recehnya, tapi ngganggunya itu loh...
Belum lagi berbicara soal kualitas. Kualitas disini sangat erat kaitannya dengan alat yang digunakan. Sayangnya, masih banyak pengamen di Indonesia yang tak pakai modal. Hanya dengan kecrekan bekas tutup botol saja sudah bisa dipakai untuk mengamen. Seolah ada peraturan tak tertulis yang menyatakan "siapapun yang butuh uang dengan instan tanpa modal dan skill, maka mengamen lah."
Meski tak sedikit pula pengamen bermodal dan bersuara emas, tapi keberadaan pengamen abal - abal tanpa modal tetap lebih mendominasi. Pengamen "tanpa modal" ini bahkan bisa dikatakan tidak lebih seperti seorang pengemis saja. Hanya ia sedikit memodifikasi cara mengemisnya sehingga orang akan menyebutnya sebagai pengamen, bukan pengemis.
Coba kita tengok bagaimana pengamen di negara yang maju, misalnya saja di London, Inggris. Pengamen yang biasanya stand by di stasiun kereta bawah tanah Victoria, London di wajibkan mendapat izin resmi dari pemerintah jika ingin mengamen di sana. Izin ini bisa di dapatkan melalui seleksi dalam suatu pemilihan (idol). Dan untuk menjaga performa dari pengamen, pemerintah juga mewajibkan mereka untuk memperpanjang lisensi mengamennya setiap satu tahun sekali.
Alat musik yang di gunakannya pun sangat "bermodal". Bukan hanya gitar, apalagi kecrekan, biasanya mereka menggunakan alat musik " berkelas" seperti harmonika, accordion, atau saxophone. Hal ini tentu berbanding lurus dengan tanggapan penontonnya. Kalau di Indonesia, saat ada pengamen datang kita sudah mengernyitkan dahi, di sana penonton bahkan ikut bernyanyi atau juga menari. Penonton benar - benar dibuat terhibur dan tidak merasa seperti "terpalak", beda halnya dengan di Indonesia.
Di Indonesia, pengamen sudah seperti momok bagi sebagian orang. Ada banyak cara yang di lakukan orang untuk menghindari pengamen, misalnya saat di kendaran umum, orang akan berpura - pura tidur, di perumahan dengan menutup pintu (agar terkesan rumahnya kosong), dan di tempat usaha di beri tulisan "ngamen gratis".
Disclaimer : Asli tulisan TS
Referensi : Ini dan Opini Pribadi TS
Sumur Gambar : Om Google