Penghayat Kepercayaan Sulit Akses Pendidikan dan Kesehatan

Penghayat Kepercayaan Sulit Akses Pendidikan dan Kesehatan

Jumat, 9 November 2012 | 20:05 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Hak-hak konstitusional perempuan adat penganut agama leluhur atau penghayat kepercayaan, tidak terpenuhi.

Selama ini masyarakat adat penghayat kepercayaan sulit memperoleh kartu tanpa penduduk (KTP), dan mencantumkan kepercayaan yang diyakini dalam kolom agama. Hal ini kemudian berimplikasi pada sulitnya mendapatkan akses layanan pendidikan dan kesehatan dari pemerintah.

Bahkan perempuan dan anak dari kelompok ini, kerap dinomorduakan dan mengalami stigma hanya karena tidak menganut agama "resmi" yang diakui pemerintah.

Pengalaman ini dikemukakan para tokoh perempuan adat penganut agama leluhur atau penghayat kepercayaan dari berbagai daerah, dalam diskusi Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Jumat (9/11/2012), di Jakarta.

"Banyak yang sembunyi dari identitas diri aslinya, dengan terpaksa memilih salah satu agama yang diakui pemerintah. Mereka tidak berani dan takut kena masalah, kalau isian agama di KTP kosong atau diisi dengan kepercayaannya," kata Dian Jennie dari Sapta Dharma.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat aduan-aduan perempuan adat penganut agama leluhur/penghayat kepercayaan, yang menyebutkan karena tidak memiliki KTP, mereka tidak mendapat surat nikah, akta kelahiran anak, dan kesulitan mengakses layanan kesehatan dan bantuan ekonomi hingga pengurusan izin pemakaman.

Mereka juga tidak dapat menikmati hak menjalankan keyakinan sesuai kepercayaannya, mendirikan rumah ibadah, dan memastikan pendidikan agama leluhur atau penghayat kepercayaan bagi anak-anak di sekolah.

"Isian agama di KTP sebaiknya dihapus, karena bisa pengaruhi banyak hal seperti layanan pendidikan dan kesehatan. Padahal banyak yang kelas menengah ke bawah," kata salah seorang tokoh perempuan dari Sulawesi Utara.

Sekretaris Jenderal Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI), Nia Sjarifudin, menambahkan, ruang gerak agama-agama lokal dan masyarakat penghayat kepercayaan justru kian terbatas di era reformasi. Padahal di era orde baru justru sebaliknya.

Dari temuan di tahun 2006 agama-agama lokal di daerah Kalimantan, Sulawesi, dan Papua bahkan digiring mengikuti agama resmi. Padahal ritual keagamaannya jelas berbeda.

"Kita berharap pemerintah tidak hanya mengakui ritual budaya adat tertentu tetapi lebih pada bagian spiritualnya. Itu yang lebih penting. Harus ada kemauan politik dari pemerintah," kata Nia.

Legislasi

Tindak diskriminasi terjadi, karena negara memilah antara agama dan kepercayaan. Hal ini dikuatkan Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Sebelum ada UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, anggota kelompok penghayat kepercayaan bahkan dipaksa menyatakan diri menjadi bagian dari salah satu agama "resmi" hanya agar bisa memperoleh KTP.

Kehadiran UU 23 Tahun 2006 juga tidak serta-merta menyelesaikan masalah. Pasal 61 dari UU itu menyatakan, bagi penduduk yang agamanya belum diakui atau bagi penghayat kepercayaan maka keterangan pada kolom agama tidak diisi.

Untuk itu Komnas Perempuan mendorong negara mengkaji UU No 23 Tahun 2006 dan segala peraturan di bawahnya, agar mengakui menghormati dan memelihara agama leluhur/penghayat kepercayaan, setara dengan agama lain.

https://nasional.kompas.com/read/201....dan.Kesehatan

Related Posts

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel