Robot kecoak, mata-mata buatan Indonesia
Para ilmuwan dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Jawa barat berinovasi. Mereka mengembangkan robot pengintai berbentuk kecoak.
Pada awal tahun 2018 sebuah penelitian di Tiongkok mengungkap kelebihan serangga rumahan berwarna cokelat ini. DNA yang berbeda dengan hewan lain membuat kecoak mampu bertahan hidup di lingkungan kotor dan susah mati.
Namun, bukan itu yang mendasari para ilmuwan berinovasi dengan robot berbentuk kecoak.
Salah satu ilmuwan yang terlibat dalam proyek pengembangan robot pengintai berbentuk kecoak ini adalah Muhammad Hablul Barri. Barri, begitu sapaannya, juga menjabat Kepala Penelitian Lembaga Pengembangan Inspirasi dan Kewirausahaan ITB.
Dilansir dari Tempo.co (19/9), Barri bekerja bersama tim gabungan mahasiswa S1 dan S2 dan diketuai oleh dosen dari Teknik Fisika ITB. Inovasi ini ia katakan dapat berguna dalam misi pengintaian dunia militer.
Alasan pemilihan bentuk kecoak adalah karena gerakannya yang unik. "Kecoak kan jalannya mengendap-endap, kami terinspirasi untuk meniru cara gerakannya itu," kata Barri.
Sebenarnya, sebelum Barri dan tim menentukan bentuk, terdapat sejumlah pilihan pengembangan bentuk robot. Pilihannya dua, hewan yang bisa terbang atau yang mengendap-endap di tanah. Karena satu dan lain hal, bentuk kecoak lah yang akhirnya dipilih.
Kamuflase serangga darat menjadi pilihan. Meski kecoak sebenarnya bisa terbang juga, tapi tim berujar, sulit untuk menciptakan robot yang mampu meniru gerakan kecoak terbang.
"Robot terbang banyak tantangannya karena harus bisa mengangkat benda dengan daya minimal," kata Barri.
Robot ini diklaim mumpuni sebagai mata-mata. Ia dilengkapi fitur yang mampu merekam dan menyadap. Fitur ini dapat terwujud berkat adanya kamera kecil di bagian muka robot.
Sekilas soal latar belakang pembuatan robot, Barri menyebut maraknya kasus korupsi di Indonesia turut berpengaruh. Peneliti berharap robot ciptaan mereka bisa digunakan lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Intelijen Negara (BIN).
Dengan adanya bukti suara dan gambar dari target operasi, maka lembaga-lembaga tersebut punya bukti kuat untuk meringkus pelaku.
Menurut peneliti, rekaman suara saja masih bisa membuat pelaku mengelak saat diadili di meja hijau. Namun, tambahan bukti berupa video, bisa menjadi penguat di persidangan.
Agar bisa bergerak, robot kecoak dipasangkan mesin penggerak dan roda di bagian bawah. Sebagai energi penggerak, dimanfaatkan baterai yang sejauh ini mampu menyokong tenaga hingga durasi dua jam.
Pengendaliannya dilakukan secara nirkabel dengan memanfaatkan jaringan lokal seperti Wi-Fi dan aplikasi khusus yang bisa dipasang di ponsel pintar.
Saat ini robot masih berada di tahap purwarupa (prototype), dan telah diuji dalam hal perekaman dan kesempurnaan gerak. Penciptaan robot ini tidak mudah, karena memiliki struktur yang kompleks terutama di sisi komponen yang digunakan. Saat ini Barri masih menggunakan komponen luar negeri.
Selain itu masih dibutuhkan perbaikan dari sisi ukuran. Sebab, saat ini ukuran robot kecoak ITB ini masih tiga kali lebih besar dari ukuran kecoak pada umumnya.
Pekerjaan rumah lainnya adalah tampilan pengintaian di beberapa platform seperti komputer, sabak, gawai Android dan lainnya, sesuai dengan tujuan awal. Karena saat ini tampilan hasil pengintaian baru bisa dilihat dari situs di komputer.
Tidak hanya bertugas secara tunggal, tapi tim peneliti merancang robot kecoak untuk bekerja dalam tim dengan total lima robot.
Biaya untuk pengembangan proyek ini tidak bisa dibilang terjangkau. Karena, satu pengembangan robot membutuhkan dana hingga Rp250 juta. Dana yang digunakan datang dari Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan (LPIK) ITB.
Sebenarnya ide pemanfaatan robot berukuran mini bukanlah hal yang sepenuhnya baru. Seperti yang dilakukan oleh perusahaan otomotif Rolls Royce belum lama ini.
Mereka mengembangkan robot mungil yang bisa merangkak masuk ke dalam mesin pesawat. Tidak hanya menyelinap, tapi robot tersebut bisa menemukan dan memperbaiki masalah yang ditemukan.
Bekerja sama dengan pakar robotik di Harvard University, Amerika Serikat, dan University of Nottingham, Inggris, robot ini bisa menghemat waktu perbaikan. "Dengan cara biasa, kami bisa menghabiskan waktu lima jam. Dengan robot-robot kecil ini, siapa tahu waktunya bisa menjadi lima menit," kata pakar teknologi Rolls Royce, James Kell, dikutip dari CNBC (17/7).
http://bit.ly/2zG1iJw