Saya diejek dan dipukuli hanya karena menjadi gay

Halo nama gw Bobby, Sejak SMA gw sudah meng-identify sebagai seorang gay, tapi pengenalan gw tentang diskriminasi terhadap gay baru kejadian ketika gw kuliah di Malaysia — oleh kakak gw sendiri.

April 2017 adalah ketika gw pertama kali menginjakkan kaki ke Malaysia untuk melanjutkan sekolah mengambil jurusan internasional bisnis di salah satu universitas di Negeri Jiran. Sebagai anak baru, gw mencoba mencari teman, tapi gw tidak sepopuler dan semacho kakak gw yang lebih mudah bergaul dan barangnya gede. Ia pun langsung klik mendapatkan teman-teman dari klub sepak bolanya.

Di kampus gw ada sekelompok mahasiswa Indonesia, tapi gw tidak pernah berurusan dengan mereka, dan gw juga tidak mau mengenalnya, karena memang bukan "dunia" gw ya. Kaum lelaki menyebut mereka sebagai perempuan-perempuan paling cantik dan populer. Kakak gw, bersama teman-teman sepak bolanya, sering hangout bareng mereka.

Suatu hari ketika gw sedang berjalan dengan dua orang teman perempuan, gwmenyapa kakak gw yang sedang berkumpul bersama teman-teman se-gang-nya itu. Di situlah mereka mulai mengeluarkan kata-kata kasar di depan publik. Mungkin kalau zaman SMA, perlakuan tersebut bisa dikenal dengan nama "digencet".

"Eh, adek lo banci banget sih. Enggak kayak lo," kata salah seorang perempuan di perkumpulan itu kepada kakak gw. Yang lain ikut-ikutan memberi pandangan menghina dari atas sampai bawah.

Kakak gw, entah karena peer pressure, ikut tertawa dan mengangguk-angguk. Itulah pengenalan gw pertama kali dengan diskriminasi. Yang lebih menyakitkan, itu dilakukan oleh kembaran gw sendiri. Ya, kakak gw hanya lahir beberapa menit lebih awal dari gw

Ia memang sebelumnya secara diam-diam mengetahui kalau gw itu gay. Tapi gw enggak pernah kepikiran dia akan melakukan itu, mengejek gw di muka umum. Itu yang membuat gw ketika itu berpikir, "Kok lo gitu ya?"

Sedangkan teman-teman kakak gw itu adalah tipikal anak-anak kaya di SMA di Jakarta yang baru ke luar negeri dan menjadi paling populer di lingkungan baru. Dan mereka menjadi oppresive dan abusive. Setelah kejadian itu ketika berpapasan dengan gw, mereka akan mengetawai cara berjalan gw, mengejek-ejek, dan mengadu kepada kakak gw.

Lalu kakak gw akan bilang apa yang ia dengar dari teman-temannya ke ibu gw. Di situlah, akhirnya gw dibentak-bentak oleh ibu di Jakarta melalui sambungan telepon.

Kembaran gw itu bisa dibilang anak kesayangan orangtua. Whatever bad things he does, itu semua pasti salah gw. Waktu dia ngeganja dan minum-minum bareng teman-temannya, itu semua gw yang menanggung akibatnya, padahal gw enggak minum alkohol, apalagi ngeganja.

Penganiayaan fisik pertama dan terakhir

Lulus dari Malaysia pada 2012, gw sempat bekerja di sana selama 2 tahun sebelum melanjutkan kuliah S2 jurusan manajemen di Shenzhen. gw kembali ke Indonesia pada 2015 dan mendapat kerja sebagai public relations consultant di salah satu firma komunikasi internasional di Jakarta Selatan.

Itu adalah salah satu masa kelam dalam hidup gw.

Ketika itu gw merasa terasingkan secara emosional dari setiap anggota keluarga, karena gw tidak bisa menjadi diri sendiri. gw baru pulang dari Cina di mana gw bebas menjadi diri gwsendiri sesuai kemauan. Tapi di rumah, gw harus kembali menutupi jati diri agar keluarga bahagia. gw merasa terkungkung.

Di China, tipikal mahasiswa, gw sering ke luar malam pada akhir pekan. Kalau kamu tinggal di tempat gw tinggal di China, kamu juga pasti akan merasa bosan. Tempat tinggal dan kampus gw jauh dari pusat kota.

Tapi ayah gw menyebut gw sebagai anak liar. Padahal gw tidak minum, tidak mabuk-mabukan. Oke, gw berdansa di klub dan mungkin kelihatan botol-botol minuman di foto di media sosial, tapi gw tidak pernah menyentuhnya.

Ayah gw pernah bilang, dia mendingan membunuh gw pakai pisau daripada mengetahui kalah gw gay.

Orangtua gw tidak bisa berbuat apa-apa ketika itu, karena gw di luar negeri, jauh dari jangkauan mereka. Tapi ketika gw kembali ke rumah, mereka mengadakan semacam intervention.

Mereka bertanya, kenapa gw tidak mau berubah? gw terdiam. gw tetap diam. Ibu gw bertanya, "Kenapa kamu jadi gay?" Intinya, mereka menanyakan, kenapa gw menutup diri dari keluarga dan enggak mau ngobrol bareng mereka, dan kenapa gw jahat sama kakak dan orangtua sendiri.

Menurut mereka, kakak gw —kembaran gw — itu sayang sama gw tapi sayanya yang terlalu egois dan menang sendiri.

Padahal gw telah melakukan apa yang keluarga inginkan. gw menuruti yang mereka maui, gw melewati masa-masa susah demi mereka. Ibu gw tipikal orangtua Asia yang sulit dimengerti. Kita sebagai anak harus menuruti kemauannya atau tidak sama sekali. Tapi gw enggak mau. Jadi gw menyalahkan mereka atas depresi yang gw alami, atas tertutupnya diri gw ini.

Akhirnya gw broke down.

Kakak gw enggak terima perkataan itu. Ia pun langsung menonjok ke bagian atas mata kiri gw . Di sini dulu ada 20 jahitan. Hanya karena gw gay. Ibu gw mencakar dan menendang gw .

Ayah gw teriak, "Stop!" Nenek gw memegang tangan gw sembari menangis. Ibu gw bilang —dan gw masih ingat hingga sekarang, "Rasain. Biarin aja".

Sedangkan kakak gw mengumpat, "Anj*ng!"

gw menangis. Waktu itu gw berpikir, lebih baik mati saja.

Ayah dan kakak baru membawa gw ke rumah sakit sekitar sejam kemudian. Selama itu, darah dibiarkan mengalir dari atas mata kiri, membasahi wajah gw . gw langsung dioperasi ketika tiba di rumah sakit.

Butuh 2-3 hari untuk kakak gw meminta maaf, yang menurut gw itu unacceptable.

gw kembali bekerja di kantor keesokan harinya. Semua orang menatap gw. Bahkan mantan atasan gw bertanya, "Siapa yang mukulin kamu? Apakah kamu perlu mengungsi untuk sementara waktu?"

Itu adalah penganiayaan fisik pertama dan terakhir yang bisa gw toleransi.

'Menjadi gay adalah pilihan, bukan penyakit'

Orangtua gw kemudian meminta —tepatnya, menyuruh— gw untuk bertemu seorang psikiatris.

Mereka cuma bilang, "Kami sudah buat janji dengan seorang psikiatris hari Jumat jam 3. Kamu harus datang". Mau enggak mau gw datang, dengan kedua orangtua ikut menghadiri setiap sesi pertemuan.

gw mengikuti janji pertemuan dengan psikiatris selama 3 jam setiap Jumat sepanjang 4 bulan. Basically my psychiatrist said, I'm not sick and he didn't see the reason why I had to be there. Of course, my parents weren't happy about it.

Moral dari cerita gw adalah, seperti yang psikiater gw bilang, kita harus bisa menerima diri kita sendiri karena ini bukan penyakit. Menjadi gay adalah sebuah pilihan.

Justru, jika kita mencoba untuk menyangkalnya dan pada akhirnya malah menyakiti orang lain, maka kita itu sakit secara mental.

Ada kalanya gw berpikir, mendingan mati aja. I'd rather not living than not being who I am.

Sekarang hubungan gw dan orangtua beserta kakak gw baik-baik gw . I've learned the steps not to reveal myself too much, and I don't flaunt it in front of their faces.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel