Keelokan Dunia Buddhis di Kawasan Muslim Jambi
Keelokan Dunia Buddhis di Kawasan Muslim Jambi
Deny Hermawan | Jumat, 5 Oktober 2018 11.11 AM News
Deny Hermawan
Penulis dan sastrawan asal Perancis, Elizabeth Inandiak, memaparkan keelokan dunia Buddhis di kawasan Muslim Jambi. Hal itu dilakukannya dalam presentasi bukunya yang berjudul "Dreams From The Golden Island" dalam acara Wednesday Forum CRCS and ICRS UGM, yang diadakan Rabu (3/10) siang.
Dreams From The Golden Island (Mimpi-mimpi Pulau Emas) adalah karya terbaru Elizabeth bersama beberapa pemuda Desa Muarojambi. Ia menjelaskan, lewat bukunya, ia mengungkap bahwa keelokan dunia Buddhis di Jambi bisa dilacak dari catatan biksu peziarah asal Tiongkok, I-Tsing, yang sempat mengunjungi Sumatera pada abad ke-8. I-Tsing adalah salah satu yang pertama kali mencatat perjalanan maritimnya menggunakan kapal.
Elizabeth selanjutnya bertutur bahwa keelokan Pulau Emas (Swarnadwipa) atau Sumatera juga bisa dilacak lewat kisah perjalanan Atisha Dipankara dari India yang ingin lebih banyak memahami batin pencerahan bodhicitta, jantung praktik seorang Bodhisattva, pada guru yang paling tersohor di Sriwijaya, yakni Dharmakirti, yang biasa disebut di Tibet sebagai Lama Serlingpa. Atisha berhasil menemui gurunya itu di abad ke-11 setelah menempuh perjalanan laut selama 15 bulan.
"Kisah hidup Atisha termasuk kunjungannya ke Sumatera digambarkan dalam mural di Biara Drepung di Tibet," ujarnya.
Ia menerangkan, dari catatan yang ada, baik di Tiongkok maupun Tibet, Sriwijaya, khususnya Jambi adalah kawasan yang elok dan megah dengan tingkat budaya yang tinggi. Namun ia juga tidak mengerti, mengapa peradaban yang mulia dan masyhur itu lantas hilang bagai ditelan bumi. Dirinya menduga itu bukan karena serangan atau perang, namun karena bencana alam.
"Kemungkinan karena tsunami. Tapi ini masih misterius," ujarnya.
Elizabeth yang pertama kali datang ke Desa Muarojambi pada 2010, mengaku bahwa warga masyarakat Desa Muarojambi yang mayoritas beragama Islam ikut berjasa merawat situs terbesar di Asia Tenggara dan dulunya adalah sebuah universitas Buddhis sejak abad ke-7 hingga abad 13 itu.
Faktanya di Muarojambi memang berdiri sebuah desa yang semua warganya penganut agama Islam. Namun sisa-sisa budaya berbasis bahasa Sanskerta masih bisa ditemukan di sana. Ia mencontohkan bahwa di sana pantun disebut sebagai seloko, mirip seperti seloka dalam bahasa Sanskerta. Selain itu, ia mencontohkan adanya alat musik gong yang dipakai untuk kelompok dzikir tradisional di sana, sebagai pelengkap rebana.
"Bahkan ada seorang Muslim memberi nama anaknya nama Buddhis seperti Prajna Paramita," terangnya.
Keunikan lain, ia menjelaskan terdapat beberapa spesies endemis pohon-pohon dari anak benua India yang tidak tumbuh di tempat lain di Sumatera, kecuali di hutan Muarojambi. Contohnya, pohon kapung atau kembang parang (meto dzambaka dalam bahasa Tibet) yang memiliki kelopak setipis ari berwarna putih.
"Ini digunakan di India dan Tibet sebagai bunga untuk ritual tantra Buddhis," jelasnya.
Elizabeth meneruskan, dalam rentang waktu yang panjang, antara Buddha (termasuk situs peninggalannya) dan Islam di kawasan tersebut terbangun dalam relasi penuh cinta dan kasih. Hal itu didasarinya dari fakta bahwa puluhan ribu datang tiap tahun merayakan Waisak di Muarojambi, dan mampu harmonis dengan warga sekitar.
"Kalau tidak ada dialog, pasti terjadi ketidakharmonisan," tutupnya.
http://buddhazine.com/keelokan-dunia...-muslim-jambi/