Ketika Kemarahan Moral, Menjadi Perubahan Sosial


Setiap orang terbiasa untuk marah, siapa yang tak pernah marah, Presiden pun bisa marah, tergambar dari gesturnya, apalagi masyarakat dengan strata sosial yang berbeda, pastinya akan mengalami hal yang sama. Marah adalah bagian kehidupan, sebuah emosi yang meluap-luap, seperti sebuah lagu "ada yang lagi marah-marah, marah tak jelas padaku....."

Marah inilah yang merubah karakter seseorang menjadi lebih berwibawa, dan lebih disegani setaip reaksinya. Apakah marah itu buruk, apakah harus meluapkan segala kemarahan untuk sebuah pelampiasan setiap masalah kehidupan, atau kita berbalik arah karena merasa frustasi berbuat baik? Saatnya kedua pasang mata dibuka lebar lebar, karena marah adalah bagian dari kehidupan yang harus ada pada diri manusia.

Manusiawi kalo orang mengalami gejala ini dimana orang berada dititik nyamannya terganggu, sebagai contoh seorang anak kecil melakukan perlakuan buruk terhadap orang dewasa, apa yang akan dilakukan? Tentu marah bukan? Jika seorang nenek dipukuli sekelompok remaja, jika kita melihatnya pasti marah. Jika melihat realitas saat ini bahkan, orang dengan penuh tato badan sangar, memperlihatkan ototnya tapi baperan dan hanya berani melawan wanita, apakah kita juga perlu marah? Nah disini letak empati kita dipermainkan oleh emosi, ketika keluarnya nada kritik masih wajar, jika deskriminasi apa yang terjadi adalah reaksi sosial yang berlebihan.

Saya yakin seluruh orang Indonesia pasti pernah marah, baik dulu dimarahi Bapak/Ibu, atau Guru waktu disekolah, dimarahi Kakak karena bandel, atau ditengah jalan dimarahi orang karena kita lalai.

Sebenarnya saya juga sama, terkadang emosi keluar tanpa sebab dan muncul begitu saja, alasannya pun tidak bisa dijelaskan, karena tiba tiba saja ingin marah, walopun saya sadar marah tak ada gunannya jika reaksinya yang tak berprodutif. Hal inilah yang mendasari Nubi, meluangkan sejenak membuat thread ini, baca dengan seksama semoga kita sama sama menjadi yang lebih bijak dalam mengatur kemarahan kita masing masing.

Dalam psikologi moral, kemarahan umumnya dianggap sebagai emosi negatif yang mengarah ke suatu hal buruk, memunculkan eskalasi konflik, atau, paling tidak, bentuk protes yang kurang beretika, sering disebut sebagai sinyal kebajikan dan slacktivisme, menurut Victoria L. Spring, seorang kandidat doktor dalam bidang psikologi di Penn State. 

Efek langsung dari kemarahan, dalam psikologi antarkelompok, menunjukkan bahwa kemarahan dapat menyebabkan efek positif jangka panjang melalui tindakan yang kolektif.

Perubahan Sosial Masyarakat

Ketika membuka sebuah internet, saya sempatkan membaca berita, karena memang kebutuhan akan informasi diluar untuk mengukur nalar saya berpikir dan belajar dari prilaku sosial masyarakat.

Seperti akhir ini, menemukan 2 hal yang akan membuat kemarahan kita memuncak, pertama ada kasus seorang perempuan sudah dilecehkan, tetapi malah dipenjara bahkan harus membayar denda Rp. 500 juta, belum sampai disitu, ada pelecehan seksual seorang mahasiswa UGM, satu almamater sama Nubi, tapi tak mendapatkan penanganan serius dari pihak kampus dan belum ada kejelasan, status nya. Jadi semua itu hanya ingin meminta sebuah keadilan, yang saya pikir itu terlalu mahal untuk strata sosial kelas bawah.

Mungkin sebagian orang paham, hukum adalah sebuah permainan, siapa yang bisa menguasai medannya, dialah yang menang, siapa yang memiliki amunisi lengkap dia akan melancarkan setiap selongsong peluru untuk kebenaran sepihak, tak ayal orang akan mempertanyakan sebuah kredibilitas hukum, dan berulang kali kita tegaskan semua itu berakhir disebuah lobi kepentingan tak lain adalah persoalan upeti/uang.

Saya rasa mereka tau itu, dan wajib memahami akan perilaku para penegak hukum mempermainkan hukum, seenak mereka, walopun mereka tak mau dikritik dan keputusan mereka adalah bulat. Saya juga merasakan itu, karena sebagian kaum sosial kelas bawah mendapatkan deskriminasi hukum dibandingkan orang yang berduit.

Menyikapi kasus dan perkara hukum yang tak adil, mari kita belajar dari perilaku sosial masyarakat atau netizen melakukan sebuah menggunakan medsos sebagai cara mengungkapkan ketidak adialan, ketika sebuah hukum dipertanyakan, reaksi sosial inilah yang akan memunculkan satu perubahan sosial, bahwa setiap orang harus dibela, dengan catatan apa yang terjadi sebenarnya dilihat dari sudut pandangan yang jernih.

Menjadi Komoditas yang Menguntungkan

Bagi saya ketika ada sebuah ketidakadikan perkara hukum, kita memulai dengan berpikir lebih jernih, seperti misalnya 2 kasus pelecehan seksual, satunya seorang korban ditarik untuk dipenjarakan dan mendapatkan denda yang teramat besar, sebagai seorang honorer, puluhan tahun mengabdi jumlah gaji honorer tak akan bisa menebus uang segitu banyaknya, di kasus lain perkara amoral (pelecehan seksual) yang tidak ditindaklanjuti dengan cermat dan cepat oleh institusi terkait, ketika kasus masuk pers mereka yang menjadi kambing hitam dan akan buru buru mencari pembelaan terhadap institusinya, wajar ini terjadi sebagai respon untuk mengurangi degradasi emosi kepada institusi tersebut.

Sementara ini kemarahan sosial pada umumnya dianggap sebagai cara mengekspresikan menuju sebuah wacana yang akan diperhatikan publik, sebuah penelitian menunjukkan kemarahan (khususnya, kemarahan moral) mungkin memiliki hasil yang menguntungkan, seperti menginspirasi orang untuk mengambil bagian dalam aksi kolektif jangka panjang.

Dalam bidang psikologi moral dan psikologi antarkelompok sebuah penyelidikan dinamika kemarahan, definisikan sebagai kemarahan terhadap pelanggaran standar moral seseorang, artinya orang akan mudah untuk marah ketika standar moral masyarakat melihat kasus ini. Dan responya pun bermacam macam, beberapa artikel memperlihatkan seseorang membakar ijasah, sebagai sebuah bentuk dukungan atau beberapa mendukung membuat petisi dan membuat sebuah donasi untuk membantu perkara hukumnya.

Dan ketika kemarahan dapat dikomunikasikan secara efektif, dapat dimanfaatkan menjadi aksi sosial yang kolektif. Hal inilah yang kita lihat beberapa waktu yang lalu ketika terjadi demo menuntut sebuah keadilan mutlak dari keinginan sekelompok masyarakat, sehingga memunculkan terobosan hukum terhadap perkara hukum yang disangkakan.

Quote:

Kasus Ahok mengingatkan kepada kita, bahwa kemarahan sosial merubah masyarakat kita menjadi lebih aktif menyuarakan keadilan dari sudut pandang ketidakadilan hukum bagi mereka.

Quote:

Quote:

Bentuk respon lain dari kemarahan sosial, ketika seorang oknum banser membakar bendera tauhid, dan terjadi respon sosial melakukan pola kolektif untuk berdemo dengan tujuan keadilan bagi mereka.

Sehingga tak ayal bagi saya kemarahan adalah sebuah bisnis besar karena akan melibatkan banyak pihak yang berkepentingan memainkan emosi mereka untuk tujuan tertentu, politik sangat dekat dengan hal ini, tak ayal masa meruapakan representasi cara berpikir politik baru untuk menentang sebuah kebijakan.

Sebuah Tuntutan dan Bertemunya Kesamaan Nasib

Dari sebuah kemarahan sebenarnya Nubi berpikir ada sebuah kepedulian, maksudnya orang menjadi lebih membela dan responsif terhadap sebuah hal yang ingin dibela, reaksi kepedulian ini nantinya akan menjadi tren baru, dan tentunya adanya petisi adalah respon nyata sebuah dukungan, walopun perjuangan tidak akan berhenti disini hingga sebuah tuntutan menjadi agenda mereka.

Kesamaan nasib dari narasi yang ingin disampaikan tetap sama, apa mendapatkan apa, langkah apa yang akan diambil dan cara menyampaikan bagaiaman agar dapat didengar, sebuah demokrasi adalah alat bagi mereka menyampaikan tuntutan mereka, dari semisal meminta kenaikan gaji UMP dari kelas pekerja atau buruh, tuntutan untuk mengangkat guru honorer yang telah mengabdi betahun tahun kepada negara, tuntutan menurunkan pressing grade untuk ujian CPNS, bahkan tuntutan ibu-ibu ketika bahan baku untuk dapur melambung tinggi, padahal kita paham adanya sebuah relasi antara tuntutan dan realitas keadilan sehingga menjadi bumbu saja di dalam sebuah proses negara berdemokrasi, apakah kita gak capek?


Pembentukan simbol dikalangan masyarakat Indonesia

Pada masyarakat Indonesia ada berbagai macam pendidikan yang mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan dan pernyataan simbolis merupakan bagian integral sistem budaya. Makna dari nilai-nilai ini ditentukan dari pengetahuan dari subkultur sosial, sehingga dapat dikelompokkan, dari masing-masing kelompok memiliki bentuk komunikasi yang berbeda. Sebagai contoh dalam tipologi masyarakat jawa, simbol seperti istana, pesantren dan perguruan.

Simbol ini sebagai cara mengenali subkultur budaya jawa, memiliki nilai historis sebuah budaya dapat terbentuk. Saya ambilkan sebuah contoh :

Dalam budaya jawa hal lumrah melakukan kegiatan seperti mauludan merupakan peringatan kelahiran Nabi, didunia pesantren banyak sekali amalan seperti manakiban, Berzanji, tahlilan, dsb. Tapi sebagian nya tak sepahaman dengan ini, sehingga memunculkan larangan bagi sebagian penentang untuk melabeli perilaku tersebut dengan bidah, artinya sesuatu yang bagi mereka tabu dan tak sesuai ajaran islam menurut pemahaman golongan, ketika tak ada sebuah pemahaman agama yang waras mungkin saja konflik horizontal memunculkan kemarahan akan memunculkan sebuah tindakan yang lebih kolektif, apakah itu perlu dilakukan?

Sebuah hal baru baru ini, membuat kita memperhatikan sebuah golongan baru memperlihatkan eksistensinya, seperti munculnya sebuah kerangak ideologi Khilafah, dengan tujuan Ukhuwah antar umat, yang ada memang terjadi homogenitas sebuah persepsi, dan pada akhirnya budaya tak dianggap penting dan mengganti budaya timur kearaban sebagai cara merubah kultural budaya Indonesia. Jika negara terlalu lunak dengan sebuah pola berpikir demikian, akan memunculkan eskalasi tuntutan mengakui sebuah khalifah dengan agenda tujuan politik ataupun mempromite sebuah ideologi baru didalam sebuah negara bedaulat, inilah perang saudara dalam sudut pandang mana ideologi yang paling benar dan paling dapat diterima. Sehingga perlu sekali sebuah setabilitas nasional itu terwujud, saya yakin gagasan mereka itu tujuannya baik tapi border sebuah bangsa ini sudah dibuat, sehingga tak ada ruang untuk sebuah ideologi masuk, walopun tantangan terberatnya adalah eskalasi massa karena mudah terpengaruh emosinya.

Ketika masyarakat kelas bawah, memiliki emosi yang labil dan mudah dikendalikan akan memunculkan sebuah tuntutan dan kita tidak tutup mata, ketika kejadian ini akan terjadi lagi. Perlu sebuah studi sebenernya untuk mengamati sebuah pola kemarahan masyarakat "beragama" dalam kaitannya kepedulian dari kemarahan moral memunculkan respon sosial, semoga saja masyarakat beragama lebih memeiliki kontrol emosi ketika mereka marah.


Quote:









Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel