Selamat Hari Jamban Sedunia



Tahukan kamu bahwa setiap tanggal 19 November diperingati sebagai World Toilet Day atau Hari Jamban Sedunia? Pasti sudah banyak yang tahu, tapi tentu tidak banyak yang tahu mengapa jamban begitu diistimewakan hingga memiliki hari peringatan sendiri?

Jika April Fool's, Hari Belanja, Bahkan Hari Tanpa Bra diperingati dengan meriah, mengapa Hari Jamban sepi dari perhatian? Padahal sama seperti kesehatan, pendidikan, kesetaraan gender, dlsb, yang termasuk dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang telah disepakati 193 negara, akses terhadap layanan sanitasi yang layak (SGDs 6) juga merupakan hak dasar setiap orang.

Berdasarkan data WHO 2017, Sebanyak 4,5 milyar orang di dunia masih hidup tanpa sistem pengelolaan sanitasi yang layak dan sekitar 892 juta orang masih belum mendapat akses sanitasi yang aman, dengan kata lain masih melakukan buang air di tempat terbuka seperti sungai atau tanah. Dampak paparan feses manusia dalam skala ini memberikan dampak buruk terhadap kesehatan masyarakat, kondisi kehidupan, gizi, pendidikan dan produktivitas ekonomi di seluruh dunia.

Atas dasar itu, pada 2001 World Toilet Organization (WTO) menetapkan World Toilet Day atau Hari Jamban Sedunia untuk menginspirasi tindakan mengatasi krisis sanitasi global. 12 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2013, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan Hari Jamban Sedunia yang jatuh pada 19 November sebagai hari resmi PBB.

Peringatan Hari Jamban Sedunia biasanya diisi dengan lomba lari, jalan santai, seminar, edukasi, pembuatan jamban, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan kampanye sanitasi dan air bersih.

Sejarah Jamban

Membicarakan jamban bukan hanya sekedar kloset, tapi juga tata kelola sanitasi dan air bersih. Menurut catatan sejarah, manusia mulai menggali sumur untuk mendapatkan air bersih sejak zaman neolitikum. Ini menunjukan bahwa peradaban masa itu manusia sudah mulai mengenal konsep air bersih.

Sebuah pemukiman Skara Brae, di Orkney, Skotlandia, yang berasal dari 3000 tahun sebelum Masehi telah memiliki semacam ruangan dalam rumah mereka yang disekat menggunakan kulit kayu, memiliki 2 buah saluran dan batu agak besar yang diduga sebagai jamban rumahan.

Spoiler for Skara Brae:


Sebuah sistem kelola sanitasi perkotaan tertua juga ditemukan di Harappa, Mohenjo-daro dan juga di Rakhigarhi dari peradaban Lembah Sungai Indus.

Peradaban Romawi juga sudah menerapkan jamban umum dan sistem sanitasi yang disebut latrine pada masanya. Sistem sanitasi ini menggunakan aliran air yang dialirkan secara berkala untuk menghanyutkan limbah.

Spoiler for Latrine:


Di Eropa abad pertengahan hingga abad 19 yang peradabannya tergolong maju pada saat itu, kepemilikan jamban masih merupakan sesuatu yang mewah. Pada masa ini di Eropa hanya golongan bangsawan atau orang-orang kaya yang memiliki jamban di rumah dengan septik tank atau ruangan khusus yang berbentuk seperti balkon yang disebut Garderobe dengan mekanisme pembuangan kotoran langsung ke selokan di bawahnya atau ke semacam penampungan sementara yang nantinya diambil oleh orang yang khusus mengumpulkan kotoran yang disebut Gongfermor.

Spoiler for Garderobe:


Meningkatnya jumlah populasi manusia pada masa itu, membuat kotoran manusia dan limbah menumpuk, sistem pembuangan pada selokan yang mengandalkan aliran air hujan tidak lagi mampu untuk menghanyutkan kotoran di selokan hingga menimbulkan wabah penyakit yang merenggut jutaan jiwa dan masalah sosial terutama di wilayah wilayah yang berdekatan dengan aliran sungai.
Menandai masa itu di Eropa, terjadilah yang dinamakan Great Stink yang berasal dari sungai Thames di Inggris.

Memasuki abad 19 di beberapa kota kota besar Eropa mulai menerapkan sistem sanitasi dengan pipa pipa bawah tanah untuk menyalurkan limbah dan kotoran manusia menggantikan septic tank yang sudah ada sebelumnya. Pemerintah Inggris, baru mewajibkan penggunaan jamban di dalam rumah pasca Perang Dunia Pertama.

Spoiler for Great Stink:


Sanitasi di Indonesia.

Di Indonesia sendiri, berdasarkan data dari WHO, Per tahun 2015 dengan populasi 257,5 juta jiwa, sebanyak 68% telah memiliki sistem sanitasi yang layak, 15% menggunakan sistem sanitasi milik bersama, 5% menggunakan jamban seadanya, dan 12% masih belum memiliki akses sanitasi. Masih dari sumber yang sama menunjukkan adanya peningkatan rata rata sebesar 1,5% per tahun pada kepemilikan sanitasi yang layak dan jumlah orang yang membuang air di tempat terbuka berkurang 1,3%. Masih jauh dibandingkan dengan negara tetangga, Malaysia, yang 100% warganya memiliki jamban sendiri.

Spoiler for Jamban:


Guna mencapai Tujuan ke 6 dari Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, yaitu Air bersih dan sanitasi layak, Pemerintah Indonesia telah membentuk program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM), yang merupakan merupakan pendekatan untuk merubah perilaku higiene dan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat dengan metode pemicuan. STBM menjadi acuan nasional untuk program sanitasi berbasis masyarakat sejak diterbitkannya Kepmenkes No 852/Menkes/SK/IX/2008 tentang Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis masyarakat.
STBM memiliki 6 (enam) strategi nasional dalam pelaksanaannya, yaitu:

  1. Penciptaan lingkungan yang kondusif
  2. Peningkatan kebutuhan sanitasi
  3. Peningkatan penyediaan sanitasi
  4. Pengelolaan pengetahuan
  5. Pembiayaan
  6. Pemantauan dan evaluasi

Kendala yang dihadapi

Persepsi yang sudah terlanjur melekat pada individu bahwa membuang air di tempat terbuka adalah hal yang biasa, hal ini didukung dengan pendidikan yang rendah hingga sangat sulit untuk mengubah persepsi dan menyadarkan bahwa permasalahan sanitasi merupakan kebutuhan dan prioritas.

Permasalahan ekonomi merupakan salah satu masalah dalam pencapaian akses sanitasi yang layak secara merata di Indonesia, selain karena faktor kemiskinan, teknologi sanitasi di Indonesia juga memiliki harga yang tidak murah. Namun persoalan ini perlahan mulai terbantu dengan adanya kredit kredit jamban dari lembaga lembaga keuangan atau koperasi.

Menurut data Urban Water, Sanitation and Hygiene (IUWASH) yang didanai oleh USAID, dengan bekerja sama dengan koperasi dan layanan keuangan di wilayah Banten, setidaknya 186,000 orang telah mendapat akses sanitasi dan air bersih.

Selain faktor individu juga dipengaruhi faktor eksternal seperti kurangnya perhatian pemerintah atas permasalahan sanitasi, menempatkan kebijakan sanitasi dengan prioritas rendah, kurang sikap tegas atas pelanggaran sanitasi terutama terhadap pabrik pabrik yang membuang limbahnya ke sungai hingga merusak ekosistem.

Dengan adanya kerja sama berbagai pihak, segala kendala-kendala itu dapat diatasi dan pada 2019 diharapkan Indonesia bisa mencapai 100% akses, yang artinya seluruh masyarakat Indonesia baik di perkotaan maupun pedesaan sudah mendapat akses terhadap sumber air minum aman dan fasilitas sanitasi layak. :iloveindonesia


* * *


Referensi:

  1. http://bit.ly/2QRCPHl
  2. http://bit.ly/2PBduEZ
  3. http://bit.ly/2QOffeC
  4. http://bit.ly/2PDaSq7
  5. http://bit.ly/2QQvxUg
  6. http://bit.ly/2PDaSGD
  7. Jurnal Analisis Sosial Vol. 14 No. 2 September 2009, Pelayanan Sanitasi Buruk: Akar dari Kemiskinan, Dr.sc.agr. Eri Trinurini Adhi.
  8. WHO and UNICEF (2017) Progress on Drinking Water, Sanitation and Hygiene: 2017 Update and SDG Baselines. Geneva: World Health Organization (WHO) and the United Nations Children's Fund (UNICEF), 2017.
  9. UNICEF, Ringkasan Kajian: Air Bersih, Sanitasi & Kebersihan.
  10. Pokja AMPL, Press Release : Menuju 100% Akses Air Minum dan Sanitasi pada 2019, Mari Bersama Capai Target Layanan Air Minum dan Sanitasi






Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel