Arogansi Keagamaan dalam Kemasan Statistik

Arogansi Keagamaan dalam Kemasan Statistik
Kolom: HD. Haryo Sasongko


 

 

 

     Sejak kapan seseorang merasa memiliki hak veto untuk menyalahkan bahkan menghukum orang lain yang tidak seagama, tidak seiman atau tidak sama kepercayaannya? Sejak kapan pula komunitas pemeluk suatu agama yang menurut statistik paling banyak pengikutnya berhak mengklaim sebagai "golongan mayoritas" dan memperlakukan komunitas pemeluk agama lainnya sebagai "golongan minoritas" dan karena itu yang pertama merasa lebih unggul dari yang kedua?

 

     Agama, atau kepercayaan, atau spiritualisme atau apa pun namanya, adalah suatu keyakinan yang bersifat personal. Karena itu, keberadaan seorang pemeluk agama atau penghayat kepercayaan yang bukan agama di tengah masyarakat tak bisa diukur secara statistik. Celakanya, sudah lama kita justru membuat pengelompokan keberagamaan masyarakat berdasarkan statistik. Munculnya teminologi, simbol-simbol dan istilah "mayoritas" dan "minoritas" dalam keberagamaan itu pun akibat hasil sensus penduduk yang kemudian dijadikan acuan laporan statistik. Padahal, hasil sensus, khususnya yang berkaitan dengan agama atau kepercayaan, dasarnya adalah pengakuan. Agama apa yang diaku dipeluknya, itulah yang kemudiana dicatat petugas sensus.

 

     Karena orang sudah "digiring" untuk "harus beragama", maka orang cenderung memilih jalan pintas yang aman dengan menyebut agama tertentu sebagai "pilihan"nya bukan karena dia memang mengikuti ajaran agama itu melainkan karena takut disebut "tidak beragama". Di negeri kita, tampaknya memang ada semacam pemahaman, bahwa setiap orang "harus beragama" sebagai penjabaran dari pengertian bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, yang percaya pada Tuhan Yang Maha Esa. Posisi "tidak beragama" sudah merupakan hal yang tabu dan bahkan "terlarang" di negeri yang berlandaskan Pancasila ini. Lebih-lebih, karena "tidak beragama" bisa diidentikkan  sebagai "atheis" atau malah dicap "komunis" yang masih menjadi momok.

 

     Padahal, percaya pada Tuhan tidak berarti harus percaya pada suatu agama atau harus beragama. Banyaknya aliran kepercayaan kepada Tuhan yang dianut atau dihayati oleh banyak orang di negeri kita menunjukkan banyak orang yang mempercayai bahkan menyembah Tuhan tetapi apa yang dilakukannya tidak termasuk laku agama apa pun bahkan mereka tidak merasa memeluk agama apa pun. Tetapi jelas mereka bukan orang atheis. Kalau di masyarakat tradisional banyak ditemukan aliran kepercayaan bukan agama, di kalangan masyarakat modern (di seluruh dunia) banyak dikenali apa yang biasa disebut sebagai kalangan The New Age. Banyak pula gerakan "agama baru" atau new religious movements yang tidak termasuk dalam agama-agama yang kita kenali selama ini. Agama mereka adalah tanpa  agama. Religion mereka adalah a religion. Salahkah mereka yang memilih untuk tidak memilih agama, seperti halnya salahkah mereka yang memilih untuk tidak memilih tanda gambar dalam pemilihan umum? Kita boleh tidak setuju, tetapi tidak berhak untuk mengklaim mereka yang salah dan kita yang benar. Lebih-lebih, lalu mengadilinya.

 

     Yang kemudian menjadi masalah, akibat banyak orang yang mencantumkan status keagamaannya di KTP secara asal-asalan demi agar tidak mendapat cap "tidak beragama" dan karena memang tidak ada kolom lain yang bisa diisi, misalnya "Kepercayaan", maka  muncullah  suatu agama yang berdasarkan hasil sensus dipeluk banyak orang, mungkin sampai 90% dari seluruh jumlah rakyat Indonesia ini, dan lalu para "pemeluk"nya mendapat predikat "golongan mayoritas".

 

     Ketika pada tahun  1978 dikeluarkan TAP MPR No. IV tentang GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara), pernah timbul polemik dan perdebatan cukup sengit karena dicantumkannya  "Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa".  Dalam GBHN tesebut jelas ada pemisahan antara "pemeluk agama" dan "pemeluk aliran kepercayaan" yang harus sama-sama dihargai keberadaannya.  Dan inilah yang tidak dapat diterima oleh pemeluk agama, khususnya Islam. Kenapa? Sudah jelas andaikata para penghayat kepercayaan itu konsisten untuk tidak mencantumkan Islam sebagai "agama"nya, maka angka statistik pemeluk agama Islam di negeri kita akan turun drastis bahkan mungkin  posisi "golongan mayoritas"   pun tak ada lagi. Selama ini yang ada sebenarnya adalah gambaran semu di mana  sebutan  Indonesia sebagai "negara dengan umat Islam terbesar di dunia" karena adanya "dukungan"  dari jutaan para pemeluk "Islam KTP" atau "Islam Statistik".

 

     Andaikata umat Islam memang mencapai  "mayoritas", bahkan disebut-sebut menduduki posisi 90 atau 95% dari total jumlah penduduk Indonesia, maka partai Islam yang mengikuti pemilu logikanya pasti menang. Tetapi bagaimana kenyataannya? Sejak pemilu pertama tahun 1955 dan pemilu 1999 (pemilu selama Orde Baru tak usah diperhitungkan karena penuh rekayasa), partai Islam tak pernah menang. Pemilu 1955 pemenangnya PNI (nasionalis). Demikian juga dalam pemilu 1999, kembali pemenangnya adalah PDI-P (nasionalis). Bila jumlah pemilih partai-partai Islam dalam pemilu 1999 digabung, tetap masih kalah banyak bila dibandingkan dengan jumlah pemilih PDI Perjuangan yang jelas bukan partai Islam. Usulan memasukkan kembali Syariat Islam dalam UUD 1945 pun selalu kandas bukan karena ditolak oleh mereka yang tidak beragama Islam (yang jumlahnya  hanya 5-10%), melainkan justru ditolak oleh "umat Islam" sendiri. Di sini pengertian "umat Islam" bisa berarti benar-benar orang beragama Islam yang menghargai pluralisme dan karena itu menolak Islam struktural, tetapi bisa juga penolakan ini terutama datang dari "Islam KTP" dan "Islam Statistik" itu tadi yang selama ini mungkin menduduki posisi mayoritas dalam "golongan mayoritas".

 

     Jelas, klaim Indonesia sebagai "negara dengan pemeluk Islam terbesar di dunia" dan juga klaim bahwa "90% rakyat Indonesia beragama Islam"  bukan saja tidak rasional tapi juga tidak proporsional. Semua ini merupakan data keagamaan yang dikemas oleh "fakta" statistik yang tidak faktual dan karena itu dapat menyesatkan. Tetapi selama ini pula "ketersesatan" tersebut  justru telah menjadi komoditas kepentingan politik tertentu dengan mengatasnamakan "golongan mayoritas".   Berbagai tindakan kekerasan, berbagai bentuk konflik keagamaan, pemaksaan kehendak, sweeping terhadap segala sesuatu yang dianggap salah dan bentuk-bentuk arogansi lainnya yang bermunculan yang selama ini  terjadi, semua itu tidak terlepas karena adanya superioritas sebagai "golongan mayoritas".

 

     Karena itu, demi tegaknya pluralisme demokrasi sebagai kenyataan konkit dalam kehidupan masyarakat Indonesia,  "ketersesatan statistik" ini harus segera diakhiri. Terminologi dan simbol-simbol "mayoritas-minoraitas" harus didevaluasi. Keberagamaan dan ketidakberagamaan serta kepercayaan harus dikembalikan pada fungsinya sebagai suatu keyakinan pribadi yang harus dihormati dan tak dapat dicampuri, juga ditunggangi, oleh kepentingan politik mana pun.  Tirani jiwa dan pemasungan hak asasi harus diakhiri dengan saling hormat-menghormati berasaskan setuju dalam perbedaan. Agree in disagreement. Dalam masalah kepercayaan, tak ada yang boleh ditundukkan dan bisa menundukkan. Pluralisme keagamaan tidak boleh mengarah pada political arrangement di mana kekuasaan mengambil peranan intervensi dan  melakukan marjinalisasi dengan "mengakui" atau "tidak mengakui" suatu agama atau kepercayaan tertentu, meskipun hanya dianut oleh segelintir orang.

https://groups.yahoo.com/neo/groups/...ns/topics/2389

Related Posts

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel