Impian dalam Karantina ( Mimpi yang terbelenggu )
Wednesday, May 30, 2018
Quote:
"Mereka bilang impianku terlalu besar. Aku bilang mereka yang berfikir terlalu kecil"
Dulu, aku membuka telingaku untuk mereka. Tapi sekarang, Tidak ! Aku tak ingin mendengarnya lagi. Aku yakin, proses tidak akan pernah mengkhianati hasilnya.
Aku menutup buku terakhir yang menjadi targetku hari ini. Buku yang entah urutan keberapa yang kubaca. Aku selalu berkunjung setiap sore di perpustakaan daerah di pusat kotaku ini, sekadar menambah wawasan dan ilmu pengetahuan.
Di atas meja, handphoneku sudah kesekian kalinya bergetar. Aku berani bertaruh, si penelepon adalah pria pemabuk yang selalu datang setiap sore ke rumahku. Aku selalu mengabaikan teleponnya. Aku tidak ingin menghabiskan waktu emasku hanya untuk hal yang tidak berguna sama sekali. Jangan berpikir bahwa otakku bersistem tradisional, bukan itu. Aku normal, hanya saja generasi sekarang yang terlalu hanyut dalam modernisasi zaman.
Tenggelam dalam globalisasi yang hedois dan liberal.
Mengira akan hidup selamanya? Ayolah, tidak ada yang abadi di dunia ini. Hidup itu singkat, jika besok kita mati. Berarti hidup hanya sampai hari ini saja. Jangan buang waktumu!
Aku menyambar tasku, lalu mengambil jaket yang ada di sandaran kursi di sebelahku. Di perpustakaan ini, seperti biasa jika bukan Si gadis kuncir kuda, berarti 2 orang lelaki berkacamata yang selalu duduk di sudut ruangan. Bandingkan dengan bangunan di depan sana yang selalu padat dengan manusia. Tempat karaoke, tempat manusia berhura-hura.
Pukul 22:52.Memang tak sewajarnya anak usia 17 tahun lewat 2 hari pulang kerja di jam ini. Hidupku rumit, ini hanya untuk menyelesaikan sekolah yang belum kelar.
Makanya aku selalu marah pada mereka yang dengan mudahnya menjalani hidup. Tapi tak tahu bersyukur. Tak tahukah banyak orang di luar sana yang ingin tapi terhalau rintangan yang datang bertubi-tubi?
Ada lagi, sudah hidup kekurangan, bermalas-malasan pula. Seperti tidak ada takdir yang bagus untuk mereka. Tak ada niat berjuang.
"Na.." lamunanku buyar seketika. Kukira betul wanita ini sudah terlelap. Ternyata memang menunggu kedatanganku.
"Kenapa kepala batu sih? Kubilang kan berhenti kerja di pabrik roti. Lihat kukumu sudah seperti keripik. Kalau begini mana ada laki laki yang akan suka padamu?"
"Masih memikirkan hal tidak guna? Aku punya jodoh sendiri. Tidak usah pusingkan. Masalah kerja, asalkan niatku baik, dan kerjanya halal"
"Berhenti sekolah! Sudah berapa kali sih kakak bilang?, impianmu terlalu tinggi, kamu tidak punya sayap Nana"
"Aku tahu itu. Tapi apa salahnya berusaha?!"
"Pikiran bodoh. Kamu sekolah digaji berapa? Sudah. Hentikan!"
"Aku bilang tidak akan!" ucapku sedikit berteriak. Lalu pergi dari hadapannya. Tapi langkahku terhenti, mendengar pernyataan pahitnya. Kali ini dia akan menang.
"Kamu nikah minggu depan, hari senin. Bapak dan Ibunya Anto sudah datang bawakan 'Uang Panai'nya." (MAHAR)
Neraka apa lagi ini, tuhan. Rasanya sekujur tubuhku menjadi kaku. Aku kira ini tak akan terjadi padaku. Ternyata, adat ini tak lekang waktu. Kemarin sepupuku juga dijodohkan, padahal dia sedang menempuh kuliahnya di semester ke 4. Tahun lalu aku masih ingat, Diana tetanggaku, hanya karena rumah yang bocor yang ingin diperbaiki tega sekali ayahnya memberikannya kepada lelaki tua itu. Di umurnya yang baru menginjak 15 tahun, 2 bulan duduk di SMA kelas X. Keinginan keras orangtuanya, kecaman para keluarga besar. Dengan modal duit, mereka kalangan orang berada seenaknya membeli kami. Generasi dini Bugis-Makassar harus berhenti di tengah jalan. Adat kian menjadi monster. Merenggut cita-cita kami yang begitu mulia.
Hari ini empat hari terakhir aku bernaung di atap sekolah ini. Mengingat kembali setiap kenangan indah. Saat aku dinobatkan sebagai juara kelas, menyabet empat juara potensi bakat tahunan, lalu kembali teringat saat aku mengikuti 13 lomba skala provinsi, yang prestasinya beragam. Tuhan..aku tak sanggup tinggalkan duniaku.
Kini Olimpiade Nasional terbesar. Aku mendapatkan Undangan untuk ikut serta. Jika aku bisa berhasil di sini, hanya maut yang dapat menjadi penghalang untuk wujudkan impianku. Tapi naasnya, benar benar buruk nasibku.
Aku membuka pintu. Masuk ke dalam kelas privat.
Bruk! Buku yang ada di tangan Andra terjatuh. Aku terpaku menatap ke dua insan yang berbeda usia di sana. Aku tahu, mereka sudah mengetahuiku.
"Maaf aku tidak bermaksud!" ucapnya ragu. Aku mengambil buku yang tak berdaya itu di kakinya. Lalu pergi dari sana.
Tidak sopan. Tapi aku sungguh tak sanggup tinggal.
Sudah tiga kali pertemuan, dan aku baru hadir hari ini. Keadaan masih sangat canggung. Tak ada interaksi membuat kantukkan tak tertahankan lagi. Lambat laun, kepalaku sudah mendarat di lenganku. Aku terlalu lelah. Semalam aku lembur hingga jam 3 pagi.
Tak ada yang membangunkanku. Mereka malah menatapku sendu. Les privat hari ini gagal total, padahal olimpiade seminggu lagi. Walau aku tahu percuma menunggu hari itu tiba. Besok hari terakhirku sekolah. Masih adakah harapan?.
Sekian lama terhanyut dalam tidurku, kulihat lelaki itu berdiri dengan kokoh bersama buku kedokteran di tangannya. Aku mengerjapkan mataku berulang kali, mencoba menstabilkan cahaya yang tertangkap melalui pupilku.
Andra melindungiku dari sengatan sinar matahari yang mendesak menembus jendela kaca. Sangat romantis. Tapi dia tak pernah menyinggung perasaannya itu. Dia tahu wanita seperti apa aku ini. Jadi, jangan konyol. Zaman sekarang tak terhitung berapa banyak orang yang terpedaya cinta. Padahal, cinta tak butuh teori, tapi praktik. Praktik yang harus berada di koridor norma.
Aku mengetuk pintu kokoh ini.
Di sana Pak adzar menghembus napas berat.
"Ada apa?" tanyanya penuh dengan kehati-hatian. Aku yakin dia tahu maksudku.
"Saya tidak akan hadir di sekolah mulai besok. Rasanya juga berat meninggalkan olimpiade yang sudah saya persiapkan sejak 2 tahun lalu. Tapi, saya benar benar tidak tahu harus berbuat apa. Semuanya bukan kendali saya pak."
Pak adzar nampak frustasi. Aku tahu, dia salah satu guru yang paling berharap banyak padaku. Perhatiannya lebih. Aku merasa ayahku hadir di hadapanku saat dia berbicara.
"Apakah saya harus membawa lari pengantin, begitu?" ucapnya bercanda. Aku tersenyum tipis.
"Kalau bisa!" jawabku lemah sambil terkekeh.
Aku hanya bisa menatap nanar bayangan diriku yang terpantul di cermin. Aku memang batal menjadi wanita jalang, tapi tidak lebih baik dengan menjodohkan aku dengan pria yang hobinya bermabuk-mabukan itu.
Kemarin dulu, Pak adzar menemuiku di simpang jalan. Dia bilang sungguh tak berani membawaku pergi. Karena dia tidak punya hak apapun terhadapku. Memang benar. Tapi, apa dia bodoh aku anak yang masih dilindungi hukum. Setelah mendengar penuturannya, aku seakan tak punya harapan lagi.
Aku menutup buku terakhir yang menjadi targetku hari ini. Buku yang entah urutan keberapa yang kubaca. Aku selalu berkunjung setiap sore di perpustakaan daerah di pusat kotaku ini, sekadar menambah wawasan dan ilmu pengetahuan.
Di atas meja, handphoneku sudah kesekian kalinya bergetar. Aku berani bertaruh, si penelepon adalah pria pemabuk yang selalu datang setiap sore ke rumahku. Aku selalu mengabaikan teleponnya. Aku tidak ingin menghabiskan waktu emasku hanya untuk hal yang tidak berguna sama sekali. Jangan berpikir bahwa otakku bersistem tradisional, bukan itu. Aku normal, hanya saja generasi sekarang yang terlalu hanyut dalam modernisasi zaman. Tenggelam dalam globalisasi yang hedois dan liberal.
Mengira akan hidup selamanya? Ayolah, tidak ada yang abadi di dunia ini. Hidup itu singkat, jika besok kita mati. Berarti hidup hanya sampai hari ini saja. Jangan buang waktumu!
Aku menyambar tasku, lalu mengambil jaket yang ada di sandaran kursi di sebelahku. Di perpustakaan ini, seperti biasa jika bukan Si gadis kuncir kuda, berarti 2 orang lelaki berkacamata yang selalu duduk di sudut ruangan. Bandingkan dengan bangunan di depan sana yang selalu padat dengan manusia. Tempat karaoke, tempat manusia berhura-hura.
Pukul 22:52.
Memang tak sewajarnya anak usia 17 tahun lewat 2 hari pulang kerja di jam ini. Hidupku rumit, ini hanya untuk menyelesaikan sekolah yang belum kelar.
Makanya aku selalu marah pada mereka yang dengan mudahnya menjalani hidup. Tapi tak tahu bersyukur. Tak tahukah banyak orang di luar sana yang ingin tapi terhalau rintangan yang datang bertubi-tubi?
Ada lagi, sudah hidup kekurangan, bermalas-malasan pula. Seperti tidak ada takdir yang bagus untuk mereka. Tak ada niat berjuang.
"Na.." lamunanku buyar seketika. Kukira betul wanita ini sudah terlelap. Ternyata memang menunggu kedatanganku.
"Kenapa kepala batu sih? Kubilang kan berhenti kerja di pabrik roti. Lihat kukumu sudah seperti keripik. Kalau begini mana ada laki laki yang akan suka padamu?"
"Masih memikirkan hal tidak guna? Aku punya jodoh sendiri. Tidak usah pusingkan. Masalah kerja, asalkan niatku baik, dan kerjanya halal"
"Berhenti sekolah! Sudah berapa kali sih kakak bilang?, impianmu terlalu tinggi, kamu tidak punya sayap Nana"
"Aku tahu itu. Tapi apa salahnya berusaha?!"
"Pikiran bodoh. Kamu sekolah digaji berapa? Sudah. Hentikan!"
"Aku bilang tidak akan!" ucapku sedikit berteriak. Lalu pergi dari hadapannya. Tapi langkahku terhenti, mendengar pernyataan pahitnya. Kali ini dia akan menang.
"Kamu nikah minggu depan, hari senin. Bapak dan Ibunya Anto sudah datang bawakan 'Uang Panai'nya."
Neraka apa lagi ini, tuhan. Rasanya sekujur tubuhku menjadi kaku. Aku kira ini tak akan terjadi padaku. Ternyata, adat ini tak lekang waktu. Kemarin sepupuku juga dijodohkan, padahal dia sedang menempuh kuliahnya di semester ke 4. Tahun lalu aku masih ingat, Diana tetanggaku, hanya karena rumah yang bocor yang ingin diperbaiki tega sekali ayahnya memberikannya kepada lelaki tua itu. Di umurnya yang baru menginjak 15 tahun, 2 bulan duduk di SMA kelas X. Keinginan keras orangtuanya, kecaman para keluarga besar. Dengan modal duit, mereka kalangan orang berada seenaknya membeli kami. Generasi dini Bugis-Makassar harus berhenti di tengah jalan. Adat kian menjadi monster. Merenggut cita-cita kami yang begitu mulia.
Hari ini empat hari terakhir aku bernaung di atap sekolah ini. Mengingat kembali setiap kenangan indah. Saat aku dinobatkan sebagai juara kelas, menyabet empat juara potensi bakat tahunan, lalu kembali teringat saat aku mengikuti 13 lomba skala provinsi, yang prestasinya beragam. Tuhan..aku tak sanggup tinggalkan duniaku.
Kini Olimpiade Nasional terbesar. Aku mendapatkan Undangan untuk ikut serta. Jika aku bisa berhasil di sini, hanya maut yang dapat menjadi penghalang untuk wujudkan impianku. Tapi naasnya, benar benar buruk nasibku.
Aku membuka pintu. Masuk ke dalam kelas privat.
Bruk! Buku yang ada di tangan Andra terjatuh. Aku terpaku menatap ke dua insan yang berbeda usia di sana. Aku tahu, mereka sudah mengetahuiku.
"Maaf aku tidak bermaksud!" ucapnya ragu. Aku mengambil buku yang tak berdaya itu di kakinya. Lalu pergi dari sana.
Tidak sopan. Tapi aku sungguh tak sanggup tinggal.
Sudah tiga kali pertemuan, dan aku baru hadir hari ini. Keadaan masih sangat canggung. Tak ada interaksi membuat kantukkan tak tertahankan lagi. Lambat laun, kepalaku sudah mendarat di lenganku. Aku terlalu lelah. Semalam aku lembur hingga jam 3 pagi.
Tak ada yang membangunkanku. Mereka malah menatapku sendu. Les privat hari ini gagal total, padahal olimpiade seminggu lagi. Walau aku tahu percuma menunggu hari itu tiba. Besok hari terakhirku sekolah. Masih adakah harapan?.
Sekian lama terhanyut dalam tidurku, kulihat lelaki itu berdiri dengan kokoh bersama buku kedokteran di tangannya. Aku mengerjapkan mataku berulang kali, mencoba menstabilkan cahaya yang tertangkap melalui pupilku.
Andra melindungiku dari sengatan sinar matahari yang mendesak menembus jendela kaca. Sangat romantis. Tapi dia tak pernah menyinggung perasaannya itu. Dia tahu wanita seperti apa aku ini. Jadi, jangan konyol. Zaman sekarang tak terhitung berapa banyak orang yang terpedaya cinta. Padahal, cinta tak butuh teori, tapi praktik. Praktik yang harus berada di koridor norma.
Aku mengetuk pintu kokoh ini.
Di sana Pak adzar menghembus napas berat.
"Ada apa?" tanyanya penuh dengan kehati-hatian. Aku yakin dia tahu maksudku.
"Saya tidak akan hadir di sekolah mulai besok. Rasanya juga berat meninggalkan olimpiade yang sudah saya persiapkan sejak 2 tahun lalu. Tapi, saya benar benar tidak tahu harus berbuat apa. Semuanya bukan kendali saya pak."
Pak adzar nampak frustasi. Aku tahu, dia salah satu guru yang paling berharap banyak padaku. Perhatiannya lebih. Aku merasa ayahku hadir di hadapanku saat dia berbicara.
"Apakah saya harus membawa lari pengantin, begitu?" ucapnya bercanda. Aku tersenyum tipis.
"Kalau bisa!" jawabku lemah sambil terkekeh.
Aku hanya bisa menatap nanar bayangan diriku yang terpantul di cermin. Aku memang batal menjadi wanita jalang, tapi tidak lebih baik dengan menjodohkan aku dengan pria yang hobinya bermabuk-mabukan itu.
Kemarin dulu, Pak adzar menemuiku di simpang jalan. Dia bilang sungguh tak berani membawaku pergi. Karena dia tidak punya hak apapun terhadapku. Memang benar. Tapi, apa dia bodoh aku anak yang masih dilindungi hukum. Setelah mendengar penuturannya, aku seakan tak punya harapan lagi.
Handphoneku bergetar, pesan baru. Dari Andra dan Pak Adzar.
"Aku sudah di depan lorongmu!"
Andra.
"Pak guru sudah stay di depan lorong. Atur suasana se'natural' mungkin. Olimpiadenya dimulai 8:35"
Pak Adzar.
.. Harapanku seakan lahir kembali, seperti matahari yang terbit di tengah musim penghujan. Kutegaskan, tidak ada pernikahan hari ini!
Mereka anak anak berumur 13 tahun membantuku mengangkat baju pengantin yang beratnya sampai 5 Kg ini. Akadnya sudah kupinta dilaksanakan di masjid depan rumah. Tak jauh dari simpang lorong tempat mereka menungguku.
Mobil putih itu seperti mobil tamu undangan. Tak ada yang curiga, sehingga suasana terasa tepat sekali.
Jantungku sudah seperti ingin keluar dari rongganya. Waktu bergulir lebih cepat, seirama dengan detak jantungku yang seperti alat pemijat listrik yang naik level 'Dag.. Dig.. Dug'.
"Aakh!!" Aku meringis memegang kakiku.
"Sepatunya kenapa sempit begini, sih? dan bagaimana caramu memegang gaunnya? kemarikan! biar kupegang sendiri!. Bentakku pada mereka. Mereka bersikukuh, tetap tak mau melepaskan. 2 meter lagi.. Tuhan tolong aku!!
"Kalau tidak lepas, aku lari nih!" Ancamku dengan tatapan geram. Mereka melepasnya, aku tertatih tatih. Lalu melepas 'highheels' gold itu..
Skenario sudah kumulai. Mari berhitung mundur!
3..
2..
1..
GO!!!!
Tepat sekali. Para bapak sibuk dengan gendang besar yang ditalinya gantung di pundak mereka. Ibu-ibunya sibuk dengan 'Bosara' tempat kue dan piring kecil berisi beras untuk ditaburkan padaku. Katanya adat.
Aku mulai berlari, air mataku juga turut berderai. Para hadirin yang sudah ada di dalam masjid besar itu berhambur keluar. Aku lari seperti kuntilanak yang tidak menginjak tanah. Sebagian hanya menonton pelarianku ini, menatap dengan wajah 'dungu' mereka.
Mereka mengejarku! Sudah dekat. Tapi percuma, aku juga sudah berada di dalam mobil putih bersama 2 pria yang sama tegangnya denganku.
Aku mengkhianati Adatku.
"Kamu cantik juga mamakai baju pengantin ini!" ucap pak adzar memecahkan keheningan. Aku menghela napas. Bisa-bisanya mengatakan hal seperti itu di keadaan seperti ini. Andra berdehem, Pak adzar kembali fokus menyetir.
Mobil ini kemudian menepi di sebuah bangunan. Butik.
"Tak mungkin kan kamu hadir di olimpiade dengan baju itu?" Aku mengerti. Tapi.. kantong lainnya kembali mendarat di pangkuanku. Andra lebih cerdik.
"Lebih tak mungkin Nana memakai baju santai di olimpiade, kan?" ujarnya membuat pak adzar tak berhak berkata apapun lagi.
Tahun berganti.
Bunyi sirine menggema di penjuru rumah sakit. Tiga ambulans baru saja tiba. Terjadi kecelakaan beruntun di jalan Sabana. Kumpulan dokter magang dan perawat berlalu lalang dengan sibuknya.
Aku memandu mereka yang selalu lambat menangani. Ini nyawa manusia. Sejak aku menjadi dokter, aku merasa memegang jembatan hidup dan mati manusia. Tuhan punya takdir.
Dokter senior di seberang sana, keringatnya sudah sekian kali menetes. Ia tak kalah sibuk dariku. Tahu tidak, dia siapa? pangeran yang membawaku lari. Sekarang suamiku, Muh. Andranata putra.
Dan kenalkan.. aku Annisa Nana. Dokter legendaris, yang kabur di hari pernikahan untuk ikut Olimpiade.
Quote: