Penghayat Kepercayaan (1) Keberadaannya Nyaris Tidak Diakui
Sunday, May 27, 2018
Penghayat Kepercayaan (1)
Oleh Elly Burhaini Faizal
"KETIKA kami mencoba untuk mengakui apa yang tidak pernah kami
yakini, sebetulnya kami sedang menipu diri sendiri," Tuti Ekawati
mengawali kisah pahit hidupnya sebagai seorang penghayat kepercayaan
kepada Pembaruan.
Walaupun pemerintah sudah mengakui keberadaan para penghayat
kepercayaan, segudang aturan menyangkut hal itu masih miskin
implementasi. Dalam UUD 1945 hasil amendemen keempat, khususnya Pasal
28E (2) tentang Hak Asasi Manusia disebutkan, "Setiap orang berhak
atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai hati nuraninya." Pada Pasal 29 (2) dinyatakan, "Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu."
Warisan budaya bangsa yang memuat nilai-nilai spiritual, termasuk
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha, diakui dalam Pasal 32 (1).
Disebutkan di situ, "Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia
di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya."
Sekilas eksistensi para penghayat kepercayaan diakui. Namun,
praktiknya diskriminasi tetap menyelimuti. Dalam kartu identitas
penduduk, contohnya, mereka tidak pernah bisa menorehkan penghayat
kepercayaan. Dari KTP merembet ke masalah perkimpoian, yang juga tidak
bisa dicatat di Kantor Catatan Sipil apabila tetap mengaku sebagai
seorang penghayat kepercayaan.
Kasus seperti itu menimpa Asep Setia Pujanegara (32), yang kemudian
terpaksa menggugat Badan Koordinasi Catatan Sipil Kabupaten Bandung,
Jawa Barat. Gugatan diajukan setelah lembaga itu menolak mencatat
perkimpoiannya dengan Rela Susanti. Padahal, mereka telah menikah
memakai adat Sunda, 23 Agustus 2001. Kantor Catatan Sipil itu
beralasan, Asep bersikeras menolak mengisi kolom agama di kartu tanda
penduduknya. Pengisian kolom itu termasuk syarat mencatatkan
perkimpoian.
Penolakan juga didasarkan pada Surat Gubernur Jawa Barat tertanggal
16 Februari 2000. Surat itu menyebutkan, kantor Badan Koordinasi
Catatan Sipil tidak dapat mencatat perkimpoian para penghayat aliran
kepercayaan. Selain itu, surat Mendagri tanggal 17 April 1989 juga
menyebutkan, perkimpoian harus disaksikan pemuka agama yang
bersangkutan.
Badan Koordinasi Catatan Sipil juga merujuk Pasal 2 (1) Undang-Undang
Perkimpoian Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi "Perkimpoian adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu." Istilah "kepercayaannya" dianggap tidak bisa
dimaknai sebagai penganut kepercayaan. Karena itu, para penghayat
harus menganut salah satu agama yang diakui negara. Meski akibatnya
hal itu hanya sebatas identitas saja.
Perlakuan itulah yang dianggap tidak adil. Sebagai seorang pituin
atau orang Sunda asli, Asep dan keluarganya memegang teguh adat
istiadat Sunda. Adat ini diwarisi secara turun-temurun dari para
leluhur. Ia juga lebih memilih menganut aliran kebatinan, yang
bersumber pada budaya spiritual masyarakat pasundan. Warisan budaya
rohaniah itu sudah berkembang sejak lama. "Buat apa kami mengaku
beragama, kalau cuma sebatas formalitas saja?" kata Tuti Ekawati,
istri Engkus Rusmana (mantan Ketua Aliran Kebatinan "Perjalanan"),
dengan nada tinggi.
Ia mengaku sebetulnya kecewa karena gugatan Asep Setia, adik
kandungnya, kalah di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung,
Maret 2002. Pengalaman buruk Asep bukan yang pertamakali dialami oleh
seorang penghayat kepercayaan. Sering mereka putus asa, dan akhirnya
terpaksa mengalah pada tekanan birokrasi. Namun demi merebut hak-
haknya sebagai warga negara, Tuti sepakat ketika Asep memutuskan naik
banding.
Cuma segelintir penghayat kepercayaan saja yang punya keberanian
seperti Asep. Sejumlah pengikut aliran kebatinan yang berdomisili di
Kampung Babakan, Bekasi, contohnya, tidak berani melawan pemaksaan
aparat setempat. Meski formulir sengaja dikosongkan, atau
diisi "penghayat kepercayaan", sering tiba-tiba muncul identitas
agama tertentu. Mereka hanya bisa diam saja. Akibat tekanan berat,
dan tidak mau susah payah berurusan dengan pengadilan, akhirnya
mereka terpaksa tunduk, meskipun sehari-harinya mereka tetap saja
penghayat.
Surat nikah dari catatan sipil sebetulnya untuk menghindari munculnya
dampak hukum negatif bagi perkimpoian para penghayat, yang selama ini
sudah mengalami tekanan. Contohnya, anak dan istri tidak bisa
memperoleh warisan dan perlindungan apabila terjadi perceraian,
termasuk tunjangan bagi pegawai negeri sipil.
Secara psikologis, hidup bersama tanpa surat nikah, menimbulkan
tekanan batin tersendiri. Tetapi, demi secarik kertas itu, mereka
harus rela kehilangan hak-hak sipilnya.
Eksistensi para penghayat kepercayaan sempat muncul di permukaan
ketika Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur, menjadi presiden. Proses
persidangan yang diwarnai perdebatan tentang Undang-Undang Perkimpoian
Nomor 1 Tahun 1974, sejumlah di antaranya bisa dimenangkan para
penghayat. Catatan sipil tidak bisa bersikukuh menolak perkimpoian
para penghayat, bila hakim sudah ketok palu menandai kemenangan
gugatan para penghayat.
Namun sekarang catatan sipil bisa menolak keputusan hakim. Catatan
sipil bisa mengatakan pihaknya tidak bertanggung jawab kepada
pengadilan dan hanya mengacu aturan gubernur, walikota, serta tetek
bengek birokrasi di departemennya. Ganti pejabat, ganti kebijakan,
tampaknya bukan retorika belaka dalam urusan itu. Era kebebasan bagi
penghayat kepercayaan semasa Gus Dur menjadi presiden, sekejap musnah
seiring datangnya rezim baru. Seolah sudah kodrat mereka diombang-
ambingkan kekuasaan rezim yang muncul silih-berganti. Seperti diakui
Koesumo Hartami, Ketua Himpunan Penghayat Kepercayaan. Awalnya aliran
kebatinan dan kepercayaan masuk struktur keagamaan. Tetapi, akibat
perbedaan persepsi, di awal zaman Orde Baru aliran kebatinan
disubordinasi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Setelah
lengsernya rezim pada Orde Baru tahun 1998, aliran kebatinan
dimasukkan ke Kementerian Negara Kebudayaan dan Pariwisata. "Bagi
kami bukan masalah, tetapi kalau juga diharuskan memeluk salah satu
agama, itu kan sama saja dipaksa. Wong keyakinan kok double
(rangkap)," Hartami melontarkan kekesalannya.
Sebagai orang Jawa asli, ia menganut aliran kebatinan kejawen sebagai
warisan budaya rohaniah leluhurnya. Tidak ada kultus yang amat rumit
apalagi yang aneh-aneh, selain hanya mempercayai Gusti Ingkang
Murbeng Dumadi, serta datangnya hari pembalasan.
Tekanan negara yang hanya mengakui lima agama, membuat Hartami
terpaksa ikut memeluk satu agama. "Supaya bisa kimpoi, kami harus
memilih agama yang ditentukan negara. Akibatnya kan melecehkan agama
itu sendiri, karena resminya beridentitas agama tertentu, tapi tidak
pernah betul-betul melaksanakannya," kata Hartami kepada Pembaruan.
Sebab memang kenyataannya mereka tidak pernah memeluk agama, tetapi
dipaksa birokrasi negara.
Aliran kebatinan bukan agama dan tidak ingin menjadi agama baru. "Itu
sudah jaminan," Hartami menegaskan. Yang diharapkan hanyalah
pengakuan negara terhadap hak-hak sipil mereka. Mampukah pemerintah
sekarang mewujudkannya?
https://groups.yahoo.com/neo/groups/...cs/17467?var=1