Penghayat Kepercayaan (1)  Keberadaannya Nyaris Tidak Diakui


Penghayat Kepercayaan (1) 

Keberadaannya Nyaris Tidak Diakui
Oleh Elly Burhaini Faizal


"KETIKA kami mencoba untuk mengakui apa yang tidak pernah kami 
yakini, sebetulnya kami sedang menipu diri sendiri," Tuti Ekawati 
mengawali kisah pahit hidupnya sebagai seorang penghayat kepercayaan 
kepada Pembaruan. 

Walaupun pemerintah sudah mengakui keberadaan para penghayat 
kepercayaan, segudang aturan menyangkut hal itu masih miskin 
implementasi. Dalam UUD 1945 hasil amendemen keempat, khususnya Pasal 
28E (2) tentang Hak Asasi Manusia disebutkan, "Setiap orang berhak 
atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, 
sesuai hati nuraninya." Pada Pasal 29 (2) dinyatakan, "Negara 
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-
masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu." 

Warisan budaya bangsa yang memuat nilai-nilai spiritual, termasuk 
kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha, diakui dalam Pasal 32 (1). 
Disebutkan di situ, "Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia 
di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam 
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya."

Sekilas eksistensi para penghayat kepercayaan diakui. Namun, 
praktiknya diskriminasi tetap menyelimuti. Dalam kartu identitas 
penduduk, contohnya, mereka tidak pernah bisa menorehkan penghayat 
kepercayaan. Dari KTP merembet ke masalah perkimpoian, yang juga tidak 
bisa dicatat di Kantor Catatan Sipil apabila tetap mengaku sebagai 
seorang penghayat kepercayaan. 

Kasus seperti itu menimpa Asep Setia Pujanegara (32), yang kemudian 
terpaksa menggugat Badan Koordinasi Catatan Sipil Kabupaten Bandung, 
Jawa Barat. Gugatan diajukan setelah lembaga itu menolak mencatat 
perkimpoiannya dengan Rela Susanti. Padahal, mereka telah menikah 
memakai adat Sunda, 23 Agustus 2001. Kantor Catatan Sipil itu 
beralasan, Asep bersikeras menolak mengisi kolom agama di kartu tanda 
penduduknya. Pengisian kolom itu termasuk syarat mencatatkan 
perkimpoian. 

Penolakan juga didasarkan pada Surat Gubernur Jawa Barat tertanggal 
16 Februari 2000. Surat itu menyebutkan, kantor Badan Koordinasi 
Catatan Sipil tidak dapat mencatat perkimpoian para penghayat aliran 
kepercayaan. Selain itu, surat Mendagri tanggal 17 April 1989 juga 
menyebutkan, perkimpoian harus disaksikan pemuka agama yang 
bersangkutan. 

Badan Koordinasi Catatan Sipil juga merujuk Pasal 2 (1) Undang-Undang 
Perkimpoian Nomor 1 Tahun 1974 yang berbunyi "Perkimpoian adalah sah, 
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan 
kepercayaannya itu." Istilah "kepercayaannya" dianggap tidak bisa 
dimaknai sebagai penganut kepercayaan. Karena itu, para penghayat 
harus menganut salah satu agama yang diakui negara. Meski akibatnya 
hal itu hanya sebatas identitas saja. 

Perlakuan itulah yang dianggap tidak adil. Sebagai seorang pituin 
atau orang Sunda asli, Asep dan keluarganya memegang teguh adat 
istiadat Sunda. Adat ini diwarisi secara turun-temurun dari para 
leluhur. Ia juga lebih memilih menganut aliran kebatinan, yang 
bersumber pada budaya spiritual masyarakat pasundan. Warisan budaya 
rohaniah itu sudah berkembang sejak lama. "Buat apa kami mengaku 
beragama, kalau cuma sebatas formalitas saja?" kata Tuti Ekawati, 
istri Engkus Rusmana (mantan Ketua Aliran Kebatinan "Perjalanan"), 
dengan nada tinggi. 

Ia mengaku sebetulnya kecewa karena gugatan Asep Setia, adik 
kandungnya, kalah di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung, 
Maret 2002. Pengalaman buruk Asep bukan yang pertamakali dialami oleh 
seorang penghayat kepercayaan. Sering mereka putus asa, dan akhirnya 
terpaksa mengalah pada tekanan birokrasi. Namun demi merebut hak-
haknya sebagai warga negara, Tuti sepakat ketika Asep memutuskan naik 
banding. 

Cuma segelintir penghayat kepercayaan saja yang punya keberanian 
seperti Asep. Sejumlah pengikut aliran kebatinan yang berdomisili di 
Kampung Babakan, Bekasi, contohnya, tidak berani melawan pemaksaan 
aparat setempat. Meski formulir sengaja dikosongkan, atau 
diisi "penghayat kepercayaan", sering tiba-tiba muncul identitas 
agama tertentu. Mereka hanya bisa diam saja. Akibat tekanan berat, 
dan tidak mau susah payah berurusan dengan pengadilan, akhirnya 
mereka terpaksa tunduk, meskipun sehari-harinya mereka tetap saja 
penghayat. 

Surat nikah dari catatan sipil sebetulnya untuk menghindari munculnya 
dampak hukum negatif bagi perkimpoian para penghayat, yang selama ini 
sudah mengalami tekanan. Contohnya, anak dan istri tidak bisa 
memperoleh warisan dan perlindungan apabila terjadi perceraian, 
termasuk tunjangan bagi pegawai negeri sipil. 



Secara psikologis, hidup bersama tanpa surat nikah, menimbulkan 
tekanan batin tersendiri. Tetapi, demi secarik kertas itu, mereka 
harus rela kehilangan hak-hak sipilnya.

Eksistensi para penghayat kepercayaan sempat muncul di permukaan 
ketika Abdurrahman Wahid, alias Gus Dur, menjadi presiden. Proses 
persidangan yang diwarnai perdebatan tentang Undang-Undang Perkimpoian 
Nomor 1 Tahun 1974, sejumlah di antaranya bisa dimenangkan para 
penghayat. Catatan sipil tidak bisa bersikukuh menolak perkimpoian 
para penghayat, bila hakim sudah ketok palu menandai kemenangan 
gugatan para penghayat. 

Namun sekarang catatan sipil bisa menolak keputusan hakim. Catatan 
sipil bisa mengatakan pihaknya tidak bertanggung jawab kepada 
pengadilan dan hanya mengacu aturan gubernur, walikota, serta tetek 
bengek birokrasi di departemennya. Ganti pejabat, ganti kebijakan, 
tampaknya bukan retorika belaka dalam urusan itu. Era kebebasan bagi 
penghayat kepercayaan semasa Gus Dur menjadi presiden, sekejap musnah 
seiring datangnya rezim baru. Seolah sudah kodrat mereka diombang-
ambingkan kekuasaan rezim yang muncul silih-berganti. Seperti diakui 
Koesumo Hartami, Ketua Himpunan Penghayat Kepercayaan. Awalnya aliran 
kebatinan dan kepercayaan masuk struktur keagamaan. Tetapi, akibat 
perbedaan persepsi, di awal zaman Orde Baru aliran kebatinan 
disubordinasi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Setelah 
lengsernya rezim pada Orde Baru tahun 1998, aliran kebatinan 
dimasukkan ke Kementerian Negara Kebudayaan dan Pariwisata. "Bagi 
kami bukan masalah, tetapi kalau juga diharuskan memeluk salah satu 
agama, itu kan sama saja dipaksa. Wong keyakinan kok double 
(rangkap)," Hartami melontarkan kekesalannya. 

Sebagai orang Jawa asli, ia menganut aliran kebatinan kejawen sebagai 
warisan budaya rohaniah leluhurnya. Tidak ada kultus yang amat rumit 
apalagi yang aneh-aneh, selain hanya mempercayai Gusti Ingkang 
Murbeng Dumadi, serta datangnya hari pembalasan. 

Tekanan negara yang hanya mengakui lima agama, membuat Hartami 
terpaksa ikut memeluk satu agama. "Supaya bisa kimpoi, kami harus 
memilih agama yang ditentukan negara. Akibatnya kan melecehkan agama 
itu sendiri, karena resminya beridentitas agama tertentu, tapi tidak 
pernah betul-betul melaksanakannya," kata Hartami kepada Pembaruan. 
Sebab memang kenyataannya mereka tidak pernah memeluk agama, tetapi 
dipaksa birokrasi negara.

Aliran kebatinan bukan agama dan tidak ingin menjadi agama baru. "Itu 
sudah jaminan," Hartami menegaskan. Yang diharapkan hanyalah 
pengakuan negara terhadap hak-hak sipil mereka. Mampukah pemerintah 
sekarang mewujudkannya? 

https://groups.yahoo.com/neo/groups/...cs/17467?var=1

Related Posts

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel