Penghayat Kepercayaan (2-habis) Terganjal Catatan Sipil
Sunday, May 27, 2018
Penghayat Kepercayaan (2-habis)
ALIRAN kebatinan dan kepercayaan merupakan realitas yang sudah tumbuh
sejak zaman nenek moyang orang Indonesia ada. Warisan budaya rohaniah
itu tetap bertahan di tengah derasnya syiar agama-agama yang masuk ke
kebatinan dan kepercayaan menuntut eksistensi mereka diakui.
"Sebelum datangnya agama, bangsa kita sudah berbudaya. Sesuai alam
kita yang subur makmur, ada ungkapan rasa terima kasih kita kepada
Tuhan. Keyakinan hubungan dengan Tuhan itu sudah lama ada," ungkap
Engkus Rusmana, seorang penghayat, mantan Ketua Aliran Kebatinan
Perjalanan yang memiliki sedikitnya 60.000 pengikut.
Namun, era reformasi tidak membuat situasi semakin baik. Klaim-klaim
tentang keberagamaan, kata Engkus, sekarang cuma menjadi milik
agama "pendatang". Antagonisme kultural dan ideologis semacam itu,
menurut Muhammad Kamal Hassan (1982), sejak lama mengakar secara
historis. Misalnya saja antara pandangan dunia budaya Jawa-Hindu
sinkretis, yang dihormati oleh para penguasa kolonial Indonesia,
dengan pandangan dunia ortodoksi Islam puritan sebagai musuh penguasa
Belanda, sebelum masuknya nasionalisme Indonesia modern.
Awalnya, aliran kebatinan masuk ke dalam struktur keagamaan. Namun,
sejak awal zaman Orde Baru, bertolak dari pemikiran aliran kebatinan
bukanlah agama, pembinaannya dimasukkan ke dalam departemen
pendidikan dan kebudayaan.
Alamsjah Ratu Prawiranegara, dalam suratnya 3 Juli 1976 selaku
Menteri Agama, pernah mengatakan, kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa bukan merupakan agama. Pembinaan terhadap kepercayaan itu tidak
mengarah kepada pembentukan agama baru. Karena aliran kepercayaan
bukan agama melainkan kebudayaan, maka orang yang mengikuti aliran
kepercayaan tidak kehilangan agamanya yang dipahami dan dipeluknya.
Tidak ada tatacara sumpah, perkimpoian, dan sebagainya menurut aliran
kepercayaan.
Bertolak dari sikap tersebut, legislasi yang bersinggungan dengan
masalah agama mengalami perdebatan besar ketika dibahas. Misalnya
yang menyangkut UU Perkimpoian Nomor 1 Tahun 1974.
Pasal-pasal awal yang tidak disetujui menyangkut perkimpoian antara
pemeluk agama yang berbeda, pertunangan, dan konsekuensinya, adopsi,
prosedur perkimpoian dan prosedur perceraian, akhirnya dibuang. Pasal
2 (1) undang-undang itu menjadi berbunyi, "Perkimpoian adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu."
Kendala dalam masalah perkimpoian warga negara tidak otomatis sirna.
Sebab istilah "kepercayaannya" dalam UU Perkimpoian itu ternyata
kemudian ditafsirkan berbeda-beda.
Seorang staf Litbang Kehidupan Beragama, Departemen Agama,
berpendapat, istilah "kepercayaannya" dalam UU Perkimpoian tidak bisa
dimaknai sebagai aliran kepercayaan. "Istilah 'kepercayaan' itu tetap
merujuk kepada agama sebagai sebuah bentuk kepercayaan," kata staf
tersebut menjawab Pembaruan. Konsekuensinya, negara hanya mencatat
perkimpoian apabila dilakukan menurut hukum agama Islam, Kristen
Protestan dan Katolik, Hindu, serta Budha.
Sementara sebagian kalangan berpendapat, istilah "kepercayaannya"
dalam UU Perkimpoian bisa dimaknai sebagai aliran kepercayaan. Negara
dinilai semestinya menghargai hak-hak para penghayat kepercayaan,
termasuk mencatat perkimpoian mereka di catatan sipil tanpa harus
memilih agama. "Akibatnya kan melecehkan agama itu sendiri. Sebab
memang kenyataannya kami tidak pernah memeluk agama," ungkap Koesumo
Hartami, Ketua Himpunan Penghayat Kepercayaan.
Tidak seluruh penghayat berani mempersoalkan diskriminasi yang
dialami, misalnya dalam masalah identitas dan perkimpoian. Perasaan
sebagai minoritas, memicu keengganan mereka melawan birokrasi negara.
Hanya sedikit yang mencoba menghadapi perlakuan yang diskriminatif.
Asep Setia Pujanegara (32), misalnya, terpaksa menggugat Badan
Koordinasi Catatan Sipil Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Ia menggugat
penolakan lembaga itu mencatat perkimpoiannya dengan Rela Susanti.
Mereka menikah secara adat Sunda, 23 Agustus 2001. Penolakan itu
menyusul sikap Asep yang menolak mengisi kolom agama di kartu tanda
penduduknya. Pengisian kolom agama itu merupakan syarat mencatatkan
perkimpoian. Meskipun kalah dalam persidangan, Maret 2002, Asep dan
istrinya memutuskan naik banding.
Asep hanyalah segelintir penghayat kepercayaan yang berani bersikap,
agar negara mengakui hak-hak sipil penganut aliran kebatinan. Bagi
mereka, negara harus mengakui eksistensi siapa pun yang ingin menjadi
seorang penghayat murni. "Buat apa kami mengaku penghayat kalau
memang harus melakukan dualisme. Kalau memang bisa diarahkan untuk
memilih salah satu agama itu baik. Tapi juga tolong pemerintah
menghargai penghayat yang ingin tetap murni," ungkap Tuti Ekawati,
kakak kandung Asep Setia, yang juga seorang penghayat.
Keberadaan penghayat juga tak perlu ditakuti, sebab mereka tidak
pernah berkeinginan menjadikan kepercayaan mereka sebagai agama baru.
Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa bukanlah agama, dan tidak ada
keinginan untuk menjadi agama baru. "Itu sudah jaminan," ungkap
Koesumo Hartami, Ketua Himpunan Penghayat Kepercayaan. Aliran
kebatinan dan kepercayaan, kata Hartami, adalah warisan budaya
rohaniah bangsa yang telah ada sejak dulu kala.
Pendiskreditan terhadap aliran kebatinan sering muncul dengan
berbagai cara. Contohnya, anggapan bahwa penghayat aliran tersebut
gemar menyembah benda-benda seperti kuburan, bebatuan dan pepohonan
besar. Padahal, mereka tetap mempercayai adanya Tuhan yang Maha Esa.
Dia jelaskan, inti ajaran aliran kebatinan "Perjalanan" yaitu manusia
harus mengenali dirinya terlebih dahulu sebelum mengenal Tuhan.
"Kalau sudah memahami tentang dirinya sendiri, maka manusia akan bisa
mengenal Tuhannya," kata Engkus Rusmana.
Aliran-aliran kebatinan umumnya tumbuh menjadi semacam kesadaran
terhadap keberadaan yang murni di seberang subjek dan objek. "Kalau
menyebut Tuhan, kita harus menyerahkan diri, tidak bisa memikirkan
Tuhan itu seperti apa bentuknya," kata Haryono Sumohadiwidjojo,
pengikut aliran olah kejiwaan Susilo Budhi Darmo (SUBUD) kepada
Pembaruan.
Pemerintah membantah tudingan tidak mengakui eksistensi para
penghayat. "Aliran itu bukan agama, dan merupakan budaya spiritual
bangsa kita. Kalau pemerintah tidak mengakui, kenapa membentuk
organisasi yang membina penghayat kepercayaan," kata M Sinaga, Kepala
Seksi Pemberdayaan Organisasi, Subdirektorat Penghayat Kepercayaan,
Depdiknas. Tetapi, ia sendiri mengaku tidak tahu persis, ketika
ditanya Pembaruan mengapa perkimpoian para penghayat bisa terganjal di
catatan sipil. Jadi siapa yang salah?
https://groups.yahoo.com/neo/groups/...s/topics/17468