Penghayat Kepercayaan (2-habis)  Terganjal Catatan Sipil

Penghayat Kepercayaan (2-habis) 

Terganjal Catatan Sipil

Oleh Elly Burhaini Faizal


ALIRAN kebatinan dan kepercayaan merupakan realitas yang sudah tumbuh 
sejak zaman nenek moyang orang Indonesia ada. Warisan budaya rohaniah 
itu tetap bertahan di tengah derasnya syiar agama-agama yang masuk ke 
Indonesia kemudian. Tidak heran apabila para penganut aliran 
kebatinan dan kepercayaan menuntut eksistensi mereka diakui.

"Sebelum datangnya agama, bangsa kita sudah berbudaya. Sesuai alam 
kita yang subur makmur, ada ungkapan rasa terima kasih kita kepada 
Tuhan. Keyakinan hubungan dengan Tuhan itu sudah lama ada," ungkap 
Engkus Rusmana, seorang penghayat, mantan Ketua Aliran Kebatinan 
Perjalanan yang memiliki sedikitnya 60.000 pengikut.

Namun, era reformasi tidak membuat situasi semakin baik. Klaim-klaim 
tentang keberagamaan, kata Engkus, sekarang cuma menjadi milik 
agama "pendatang". Antagonisme kultural dan ideologis semacam itu, 
menurut Muhammad Kamal Hassan (1982), sejak lama mengakar secara 
historis. Misalnya saja antara pandangan dunia budaya Jawa-Hindu 
sinkretis, yang dihormati oleh para penguasa kolonial Indonesia, 
dengan pandangan dunia ortodoksi Islam puritan sebagai musuh penguasa 
Belanda, sebelum masuknya nasionalisme Indonesia modern. 

Awalnya, aliran kebatinan masuk ke dalam struktur keagamaan. Namun, 
sejak awal zaman Orde Baru, bertolak dari pemikiran aliran kebatinan 
bukanlah agama, pembinaannya dimasukkan ke dalam departemen 
pendidikan dan kebudayaan. 

Alamsjah Ratu Prawiranegara, dalam suratnya 3 Juli 1976 selaku 
Menteri Agama, pernah mengatakan, kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha 
Esa bukan merupakan agama. Pembinaan terhadap kepercayaan itu tidak 
mengarah kepada pembentukan agama baru. Karena aliran kepercayaan 
bukan agama melainkan kebudayaan, maka orang yang mengikuti aliran 
kepercayaan tidak kehilangan agamanya yang dipahami dan dipeluknya. 
Tidak ada tatacara sumpah, perkimpoian, dan sebagainya menurut aliran 
kepercayaan. 

Bertolak dari sikap tersebut, legislasi yang bersinggungan dengan 
masalah agama mengalami perdebatan besar ketika dibahas. Misalnya 
yang menyangkut UU Perkimpoian Nomor 1 Tahun 1974.



Pasal-pasal awal yang tidak disetujui menyangkut perkimpoian antara 
pemeluk agama yang berbeda, pertunangan, dan konsekuensinya, adopsi, 
prosedur perkimpoian dan prosedur perceraian, akhirnya dibuang. Pasal 
2 (1) undang-undang itu menjadi berbunyi, "Perkimpoian adalah sah, 
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan 
kepercayaannya itu." 

Kendala dalam masalah perkimpoian warga negara tidak otomatis sirna. 
Sebab istilah "kepercayaannya" dalam UU Perkimpoian itu ternyata 
kemudian ditafsirkan berbeda-beda. 

Seorang staf Litbang Kehidupan Beragama, Departemen Agama, 
berpendapat, istilah "kepercayaannya" dalam UU Perkimpoian tidak bisa 
dimaknai sebagai aliran kepercayaan. "Istilah 'kepercayaan' itu tetap 
merujuk kepada agama sebagai sebuah bentuk kepercayaan," kata staf 
tersebut menjawab Pembaruan. Konsekuensinya, negara hanya mencatat 
perkimpoian apabila dilakukan menurut hukum agama Islam, Kristen 
Protestan dan Katolik, Hindu, serta Budha.

Sementara sebagian kalangan berpendapat, istilah "kepercayaannya" 
dalam UU Perkimpoian bisa dimaknai sebagai aliran kepercayaan. Negara 
dinilai semestinya menghargai hak-hak para penghayat kepercayaan, 
termasuk mencatat perkimpoian mereka di catatan sipil tanpa harus 
memilih agama. "Akibatnya kan melecehkan agama itu sendiri. Sebab 
memang kenyataannya kami tidak pernah memeluk agama," ungkap Koesumo 
Hartami, Ketua Himpunan Penghayat Kepercayaan. 

Tidak seluruh penghayat berani mempersoalkan diskriminasi yang 
dialami, misalnya dalam masalah identitas dan perkimpoian. Perasaan 
sebagai minoritas, memicu keengganan mereka melawan birokrasi negara. 
Hanya sedikit yang mencoba menghadapi perlakuan yang diskriminatif.

Asep Setia Pujanegara (32), misalnya, terpaksa menggugat Badan 
Koordinasi Catatan Sipil Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Ia menggugat 
penolakan lembaga itu mencatat perkimpoiannya dengan Rela Susanti. 
Mereka menikah secara adat Sunda, 23 Agustus 2001. Penolakan itu 
menyusul sikap Asep yang menolak mengisi kolom agama di kartu tanda 
penduduknya. Pengisian kolom agama itu merupakan syarat mencatatkan 
perkimpoian. Meskipun kalah dalam persidangan, Maret 2002, Asep dan 
istrinya memutuskan naik banding.

Asep hanyalah segelintir penghayat kepercayaan yang berani bersikap, 
agar negara mengakui hak-hak sipil penganut aliran kebatinan. Bagi 
mereka, negara harus mengakui eksistensi siapa pun yang ingin menjadi 
seorang penghayat murni. "Buat apa kami mengaku penghayat kalau 
memang harus melakukan dualisme. Kalau memang bisa diarahkan untuk 
memilih salah satu agama itu baik. Tapi juga tolong pemerintah 
menghargai penghayat yang ingin tetap murni," ungkap Tuti Ekawati, 
kakak kandung Asep Setia, yang juga seorang penghayat.

Keberadaan penghayat juga tak perlu ditakuti, sebab mereka tidak 
pernah berkeinginan menjadikan kepercayaan mereka sebagai agama baru. 
Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa bukanlah agama, dan tidak ada 
keinginan untuk menjadi agama baru. "Itu sudah jaminan," ungkap 
Koesumo Hartami, Ketua Himpunan Penghayat Kepercayaan. Aliran 
kebatinan dan kepercayaan, kata Hartami, adalah warisan budaya 
rohaniah bangsa yang telah ada sejak dulu kala. 

Pendiskreditan terhadap aliran kebatinan sering muncul dengan 
berbagai cara. Contohnya, anggapan bahwa penghayat aliran tersebut 
gemar menyembah benda-benda seperti kuburan, bebatuan dan pepohonan 
besar. Padahal, mereka tetap mempercayai adanya Tuhan yang Maha Esa. 
Dia jelaskan, inti ajaran aliran kebatinan "Perjalanan" yaitu manusia 
harus mengenali dirinya terlebih dahulu sebelum mengenal Tuhan. 

"Kalau sudah memahami tentang dirinya sendiri, maka manusia akan bisa 
mengenal Tuhannya," kata Engkus Rusmana. 

Aliran-aliran kebatinan umumnya tumbuh menjadi semacam kesadaran 
terhadap keberadaan yang murni di seberang subjek dan objek. "Kalau 
menyebut Tuhan, kita harus menyerahkan diri, tidak bisa memikirkan 
Tuhan itu seperti apa bentuknya," kata Haryono Sumohadiwidjojo, 
pengikut aliran olah kejiwaan Susilo Budhi Darmo (SUBUD) kepada 
Pembaruan.

Pemerintah membantah tudingan tidak mengakui eksistensi para 
penghayat. "Aliran itu bukan agama, dan merupakan budaya spiritual 
bangsa kita. Kalau pemerintah tidak mengakui, kenapa membentuk 
organisasi yang membina penghayat kepercayaan," kata M Sinaga, Kepala 
Seksi Pemberdayaan Organisasi, Subdirektorat Penghayat Kepercayaan, 
Depdiknas. Tetapi, ia sendiri mengaku tidak tahu persis, ketika 
ditanya Pembaruan mengapa perkimpoian para penghayat bisa terganjal di 
catatan sipil. Jadi siapa yang salah? 

https://groups.yahoo.com/neo/groups/...s/topics/17468

Related Posts

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel