Apakah Generasi Milenial Seburuk yang Kita Pikirkan?
Friday, June 29, 2018
Generasi Milenial.
Mendengar atau membaca kalimat itu , apa yang terlintas dipikiran kita?
"Wah generasi micin… kids zaman now, viral harga mati… aksesoris musti branded, biar kawe yang penting hypebeast… generasi gak betah kerja, 3 bulan resign… mental tempe, dicubit guru ngadu ke ortu~"
Hahaha, oke oke gapapa. Tapi benarkah generasi milenial seburuk itu?
Selamat membaca :)
Dibandingkan dengan generasi lain, sikap generasi milenial dalam bekerja dan bersenang-senang mungkin membuat mereka lebih rumit untuk dipahami, tetapi memberikan generalisasi hanya akan memperlebar jurang pemisah.
"Malas, terobsesi pada diri sendiri, materialistis? Tomas Chamorro-Premuzic menjelaskan sifat paradoks karakter generasi milenial dan cara terbaik untuk memahami pandangan mereka tentang pekerjaan dan senang-senang"
Mereka disebut spesial, malas, dan "tenaga kerja dengan pemeliharaan paling tinggi dalam sejarah dunia" - tetapi apakah generasi milenial benar-benar seburuk itu? Seberapa berbeda mereka dari generasi sebelumnya, dan bagaimana konsekuensi dari perbedaan itu?
Kita tahu bahwa generasi milenial itu kompleks, hal ini juga yang menjelaskan munculnya berbagai pandangan berbeda tentang mereka. Sebenarnya, fakta yang paling menarik tentang generasi millennial adalah sifat paradoksikal dari karakter mereka, sifat ini yang kemudian menghadirkan tantangan, tidak hanya bagi generasi millennial itu sendiri, tetapi juga bagi mereka yang mencoba memahami dan mengelolanya.
Dan sekarang, marilah kita simak beberapa poin-poin tentang generasi milenial berikut ini:
Ambisius tapi malas.
Tidak ada bukti yang lebih jelas daripada cap yang menempel pada generasi milenial, bahwa ada ketidaksesuaian antara jiwa ambisius dan etika kerja mereka yang suam - suam kuku. Sayangnya, kaum milenial telah memiliki gagasan bahwa penyebab kesuksesan adalah kepercayaan diri yang tinggi; bukan disiplin, pengetahuan diri atau kerendahan hati. Ini yang membuat harapan pada bakat terpendam mereka (yang dipersepsikan sendiri) tetap kokoh, seolah-olah cepat atau lambat potensi luar biasa mereka akan muncul ke permukaan, bahkan jika mereka tidak mencurahkan banyak waktu untuk menggalinya.
Hyper-connected, tetapi terobsesi pada diri sendiri.
Meskipun sosial media seperti Facebook, Twitter dan Instagram telah memberi pandangan bahwa generasi millennial sangat mudah bergaul, namun justru kebalikannya. Memang benar Generasi Millenial terhubung secara luas dan intensif, tetapi mereka tidak begitu tertarik pada orang lain kecuali sebagai penonton saja.
Secara singkat, fenomena ini mungkin dikaitkan dengan revolusi media sosial, tetapi mungkin ini justru sebaliknya: kekuatan media sosial hanya menunjukkan betapa kita telah menjadi sia-sia. Memang, tingkat narsisisme terus meningkat selama beberapa dekade terakhir, membuat generasi millennial lebih terobsesi pada diri sendiri daripada generasi - generasi pendahulu mereka.
Misalnya, pada 1950-an, 12% siswa sekolah menengah menganggap diri mereka sebagai "orang penting" - pada 1990-an, 80% melakukannya. Sebagaimana diperlihatkan oleh studi-studi seminal Jean Twenge, mileniumial jauh lebih "Gen Me" daripada "We". Di Amerika Serikat, narsisisme telah meningkat pada tingkat obesitas dan merupakan penjelasan utama untuk sifat "all-out" dari generasi millennial - yang sebenarnya hanyalah untuk mencari perhatian, tetapi disamarkan sebagai bentuk sosialisasi.
Sulit dimotivasi, tetapi mudah terlibat.
Bukti menunjukkan bahwa generasi milenial lebih terlibat aktif dan puas di tempat kerja. Pada awalnya, ini mungkin tampak membingungkan: bagaimana sebuah generasi dengan aspirasi dan cita-cita delusional yang berlebihan menjadi lebih bahagia di tempat kerja? Jawabannya adalah bahwa Gen Y melihat pekerjaan kurang penting bagi kehidupan mereka, dan bahwa mereka menghargai keseimbangan antara kehidupan dan kerja lebih dari generasi yang lain. Ironisnya, ini membuat tuntutan dan standar kaum millennials lebih rendah - ketika Anda melihat pekerjaan sebagai "hanya mencari nafkah", Anda berharap menemukan makna di bidang kehidupan lain (misalnya pendidikan, hubungan, atau hobi).
Generasi Millenial lebih percaya pada bersenang-senang daripada bekerja, dan karenanya, mereka berharap untuk bersenang-senang di tempat kerja. Inilah sebabnya mengapa Google, Microsoft, dan banyak perusahaan lain telah mengubah kantor mereka menjadi taman bermain, dan mengapa banyak perusahaan harus membatasi akses ke situs media sosial di tempat kerja. Bahkan di kalangan generasi milenial, hanya sebagian kecil orang yang sepenuhnya terlibat di tempat kerja dan data menunjukkan bahwa di bagian-bagian tertentu tingkat keterlibatan lebih rendah di antara generasi millennial daripada generasi-generasi pendahulu mereka. Singkatnya, mempekerjakan lebih banyak generasi milenial tidak akan selalu meningkatkan keterlibatan di tempat kerja Anda.
Jadi, bagaimana kita bisa me-manage generasi milenial? Pertanyaan ini sudah dijawab terlalu sering, tetapi jarang memperhatikan sifat kompleks dari generasi millennial. Jika manajer perusahaan tertarik untuk merekrut dan menjaga generasi millenial di tempat kerja, mereka harus terlebih dahulu memahami mereka, yang membutuhkan waktu dan usaha. Mengandalkan stereotip yang ada tidak akan banyak membantu: stereotip tersebut terlalu sederhana dan tidak akurat.
Juga tidak baik untuk hanya mengandalkan intuisi, karena banyak kesimpulan yang dibuat tentang generasi millennial bukannya berfokus fungsi dan peran generasi milenial, tetapi hanya usia mereka. Generasi yang lebih tua selalu mengeluh tentang anak-anak muda dan mereka akan selalu mengeluh, meskipun fakta bahwa mereka juga pernah sangat mirip.
Jadi, kunci dasar untuk mengelola generasi milenial adalah pandanglah mereka sebagai manusia individual: tidak identik dengan orang lain, tetapi sangat mirip dengan individu lain dari generasi mana pun.
Credits :
1. The Guardian
2. Tomas Chamorro-Premuzic is a professor of business psychology at University College London and vice-president of research and innovation at Hogan Assessment Systems. He is co-founder of metaprofiling.com and author of Confidence: Overcoming Low Self-Esteem, Insecurity, and Self-Doubt
Terimakasih :)
Mendengar atau membaca kalimat itu , apa yang terlintas dipikiran kita?
"Wah generasi micin… kids zaman now, viral harga mati… aksesoris musti branded, biar kawe yang penting hypebeast… generasi gak betah kerja, 3 bulan resign… mental tempe, dicubit guru ngadu ke ortu~"
Hahaha, oke oke gapapa. Tapi benarkah generasi milenial seburuk itu?
Selamat membaca :)
Dibandingkan dengan generasi lain, sikap generasi milenial dalam bekerja dan bersenang-senang mungkin membuat mereka lebih rumit untuk dipahami, tetapi memberikan generalisasi hanya akan memperlebar jurang pemisah.
"Malas, terobsesi pada diri sendiri, materialistis? Tomas Chamorro-Premuzic menjelaskan sifat paradoks karakter generasi milenial dan cara terbaik untuk memahami pandangan mereka tentang pekerjaan dan senang-senang"
Mereka disebut spesial, malas, dan "tenaga kerja dengan pemeliharaan paling tinggi dalam sejarah dunia" - tetapi apakah generasi milenial benar-benar seburuk itu? Seberapa berbeda mereka dari generasi sebelumnya, dan bagaimana konsekuensi dari perbedaan itu?
Kita tahu bahwa generasi milenial itu kompleks, hal ini juga yang menjelaskan munculnya berbagai pandangan berbeda tentang mereka. Sebenarnya, fakta yang paling menarik tentang generasi millennial adalah sifat paradoksikal dari karakter mereka, sifat ini yang kemudian menghadirkan tantangan, tidak hanya bagi generasi millennial itu sendiri, tetapi juga bagi mereka yang mencoba memahami dan mengelolanya.
Dan sekarang, marilah kita simak beberapa poin-poin tentang generasi milenial berikut ini:
Ambisius tapi malas.
Tidak ada bukti yang lebih jelas daripada cap yang menempel pada generasi milenial, bahwa ada ketidaksesuaian antara jiwa ambisius dan etika kerja mereka yang suam - suam kuku. Sayangnya, kaum milenial telah memiliki gagasan bahwa penyebab kesuksesan adalah kepercayaan diri yang tinggi; bukan disiplin, pengetahuan diri atau kerendahan hati. Ini yang membuat harapan pada bakat terpendam mereka (yang dipersepsikan sendiri) tetap kokoh, seolah-olah cepat atau lambat potensi luar biasa mereka akan muncul ke permukaan, bahkan jika mereka tidak mencurahkan banyak waktu untuk menggalinya.
Hyper-connected, tetapi terobsesi pada diri sendiri.
Meskipun sosial media seperti Facebook, Twitter dan Instagram telah memberi pandangan bahwa generasi millennial sangat mudah bergaul, namun justru kebalikannya. Memang benar Generasi Millenial terhubung secara luas dan intensif, tetapi mereka tidak begitu tertarik pada orang lain kecuali sebagai penonton saja.
Secara singkat, fenomena ini mungkin dikaitkan dengan revolusi media sosial, tetapi mungkin ini justru sebaliknya: kekuatan media sosial hanya menunjukkan betapa kita telah menjadi sia-sia. Memang, tingkat narsisisme terus meningkat selama beberapa dekade terakhir, membuat generasi millennial lebih terobsesi pada diri sendiri daripada generasi - generasi pendahulu mereka.
Misalnya, pada 1950-an, 12% siswa sekolah menengah menganggap diri mereka sebagai "orang penting" - pada 1990-an, 80% melakukannya. Sebagaimana diperlihatkan oleh studi-studi seminal Jean Twenge, mileniumial jauh lebih "Gen Me" daripada "We". Di Amerika Serikat, narsisisme telah meningkat pada tingkat obesitas dan merupakan penjelasan utama untuk sifat "all-out" dari generasi millennial - yang sebenarnya hanyalah untuk mencari perhatian, tetapi disamarkan sebagai bentuk sosialisasi.
Sulit dimotivasi, tetapi mudah terlibat.
Bukti menunjukkan bahwa generasi milenial lebih terlibat aktif dan puas di tempat kerja. Pada awalnya, ini mungkin tampak membingungkan: bagaimana sebuah generasi dengan aspirasi dan cita-cita delusional yang berlebihan menjadi lebih bahagia di tempat kerja? Jawabannya adalah bahwa Gen Y melihat pekerjaan kurang penting bagi kehidupan mereka, dan bahwa mereka menghargai keseimbangan antara kehidupan dan kerja lebih dari generasi yang lain. Ironisnya, ini membuat tuntutan dan standar kaum millennials lebih rendah - ketika Anda melihat pekerjaan sebagai "hanya mencari nafkah", Anda berharap menemukan makna di bidang kehidupan lain (misalnya pendidikan, hubungan, atau hobi).
Generasi Millenial lebih percaya pada bersenang-senang daripada bekerja, dan karenanya, mereka berharap untuk bersenang-senang di tempat kerja. Inilah sebabnya mengapa Google, Microsoft, dan banyak perusahaan lain telah mengubah kantor mereka menjadi taman bermain, dan mengapa banyak perusahaan harus membatasi akses ke situs media sosial di tempat kerja. Bahkan di kalangan generasi milenial, hanya sebagian kecil orang yang sepenuhnya terlibat di tempat kerja dan data menunjukkan bahwa di bagian-bagian tertentu tingkat keterlibatan lebih rendah di antara generasi millennial daripada generasi-generasi pendahulu mereka. Singkatnya, mempekerjakan lebih banyak generasi milenial tidak akan selalu meningkatkan keterlibatan di tempat kerja Anda.
Jadi, bagaimana kita bisa me-manage generasi milenial? Pertanyaan ini sudah dijawab terlalu sering, tetapi jarang memperhatikan sifat kompleks dari generasi millennial. Jika manajer perusahaan tertarik untuk merekrut dan menjaga generasi millenial di tempat kerja, mereka harus terlebih dahulu memahami mereka, yang membutuhkan waktu dan usaha. Mengandalkan stereotip yang ada tidak akan banyak membantu: stereotip tersebut terlalu sederhana dan tidak akurat.
Juga tidak baik untuk hanya mengandalkan intuisi, karena banyak kesimpulan yang dibuat tentang generasi millennial bukannya berfokus fungsi dan peran generasi milenial, tetapi hanya usia mereka. Generasi yang lebih tua selalu mengeluh tentang anak-anak muda dan mereka akan selalu mengeluh, meskipun fakta bahwa mereka juga pernah sangat mirip.
Jadi, kunci dasar untuk mengelola generasi milenial adalah pandanglah mereka sebagai manusia individual: tidak identik dengan orang lain, tetapi sangat mirip dengan individu lain dari generasi mana pun.
Credits :
1. The Guardian
2. Tomas Chamorro-Premuzic is a professor of business psychology at University College London and vice-president of research and innovation at Hogan Assessment Systems. He is co-founder of metaprofiling.com and author of Confidence: Overcoming Low Self-Esteem, Insecurity, and Self-Doubt
Terimakasih :)