Beginilah Sakralnya “Mudik Lebaran” Bagi Perantau
Saturday, June 9, 2018

Beberapa hari lagi Lebaran akan tiba. Bagi umat muslim khususnya, kegiatan yang paling sibuk jelang lebaran ini adalah berkemas-kemas untuk mudik alias pulang kampung ke tanah kelahiran. Terutama bagi para perantau yang tinggal di negeri orang. Yah, tradisi mudik memang lebih identik dengan perantau. Kalaupun bukan perantau, mudik juga kadang dilakukan untuk berlibur ke kampung asal kelahiran orang tua, bertemu kakek nenek di kampung, sanak sodara, sepupu dan ponakan, sekaligus untuk bersilaturrahmi dengan keluarga lainnya.
MERANTAU adalah sebuah episode perjalanan hidup, meninggalkan tanah kelahiran, meniti garis takdir, untuk menjelajahi sumber penghidupan baru, mengadu peruntungan nasib, menguji kemandirian, mencari kebebasan, atau menghitamkan kenangan "kasih tak sampai" di kampung halaman.
Sedangkan MUDIK merupakan sebuah tradisi sakral tuk melepas kerinduan terhadap tanah leluhur, dan bernostalgia dengan tempat masa kecil, meski di sana yang tersisa hanyalah pusara kedua orangtua atau sanak sodara.
Lebaran tanpa mudik akan terasa hambar dan kurang bermakna. Apalagi bagi perantau yang telah sukses mengais penghidupan di negeri orang. Berbagi "oleh-oleh" buat kerabat, handai taulan dan tetangga di kampung, atau hanya sekadar berjabat tangan dengan mereka, sungguh suatu kebahagiaan yang luar biasa.
Tak ada nilainya rasanya kesuksesan di negeri orang, jika keberhasilan itu tak dibarengi dengan berbagi kebahagiaan dengan orang-orang terkasih, di tempat di mana dulu kita tumbuh sebagai orang yang tak punya apa-apa. Lalu dengan dukungan moril dan doa dari mereka, kita berangkat ke kota lain karena tuntutan hidup, hingga akhirnya bisa menjadi "orang", meski bukan "orang kaya" yang sebenarnya.
Beberapa teman Ane yang tak bisa pulang kampung saat lebaran, entah karena tugas, atau karena hal lain di luar kemampuannya, mereka menurutkan bahwa mereka selalu mengucurkan airmata saat mendengar kumandang takbir, karena teringat kampung halaman. "Ah, andai bkan karena ada suatu rintangan, pasti aku akan terbang karena rindu pada kampung halaman," begitu ungkap mereka dengan nada sendu.
Kiranya, cukuplah lirik lagu Merantau yang dinyanyikan Titiek Sandhora berikut ini yang menggambarkan betapa sakralnya tradisi mudik lebaran:
[URL=[youtube]C-V6qwLju6g[/youtube]]Merantau - Titiek Sandhora[/URL]
Oh ibuku hatiku pilu seorang diri
Bila kuingat masa yang t'lah silam
Ku dibesarkan oleh ibuku di kampung halamanku
Tapi kini hanya kenangan yang kualami
Kini kududuk seorang diri di malam sunyi
Terdengar olehku suara gitar mengalun
Kuteringat ayah bundaku yang t'lah tiada kini
S'lamat tinggal kampung halamanku abadi
S'lamat tinggal kampung halamanku abadi.
***
Bagi yang tidak mudik lebaran tahun ini, Ane harap jangan mendengarkan lagu di aats di malam Lebaran. Ane khawatir airmata GanSis tak bisa berhenti mengalir karenanya. :D
Begitulah sakralnya mudik versi Ane. Lalu bagaimana menurut GanSis semua?(*)
Spoiler for Referensi: