Diskriminasi Umat Hindu dalam Pekerjaan
Senin, 11 Juni 2018 08:58

Tribun Bali/ I Putu Darmendra
Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda
TRIBUN-BALI.COM, -- Belakangan ini, relatif banyak bermunculan lowongan pekerjaan non Hindu atau tidak menerima karyawan yang beragama Hindu.
Ironisnya, perusahaan itu berada di Bali, yang sebagian besar masyarakatnya beragama Hindu. Apa sesungguhnya yang membuat umat Hindu terdiskriminasi di daerahnya sendiri?
Perlu kita sadari, itu semua terjadi karena hukum kausalitas atau hukum sebab akibat. Bali, dengan eksotisme alam dan budaya yang berbasis agama Hindu, telah menarik wisatawan untuk berlibur atau menghabiskan uang di Bali.
Kondisi ini menarik sejumlah investor untuk berinvestasi di Bali. Hal ini juga menjadikan Bali sebagai tempat orang-orang luar mengadu nasib.
Sementara itu, agen-agen tenaga kerja yang mencari tenaga kerja untuk perusahaan di Bali, menginginkan tenaga kerja murah dan tidak banyak libur.
Di satu sisi, pekerja Hindu di Bali cenderung banyak libur, karena tuntutan agama. Hal inilah yang kerap dijadikan acuan oleh pencari tenaga kerja untuk tidak menerima orang Bali.
Tapi orang-orang luar yang berinvestasi di Bali ini tidak sadar. Investasi itu tidak hanya bersifat finansial atau materi. Masyarakat Bali, sesungguhnya telah melakukan investasi melalui kegiatan budaya berbasis agama Hindu. Dan, hal inilah yang menjadi daya tarik wisatawan datang ke Bali.
Silakan saja sebuah hotel dibangun di pulau lain, wisatawan tidak akan datang berbondong-bondong karena di sana tidak ada investasi budaya seperti di Bali.
Karena seringnya orang Bali terdiskriminasi di daerahnya sendiri, menyebabkan kita berpikir bahwa orang luar hanya ingin mengeskploitasi Bali. Mereka hanya ingin mencari keuntungan.
Padahal, orang Bali secara umum, ketika melakukan investasi budaya dan agama, mereka tidak pernah berbicara tentang keuntungan dalam bentuk finansial. Mereka hanya menginginkan keselamatan masyarakat dan alam semesta ini.
Orang lain hanya mengais di sini, tapi tidak tahu sumber rezekinya dari mana. Maka oleh sebab itu, akhirnya kita hanya menjadi pelaku-pelaku, sementara penonton-penonton ini yang menikmati keuntungannya.
Sekarang, sangat penting sekali regulasi, supaya diskriminasi terhadap umat Hindutidak terus-terusan terjadi. Enak sekali mereka, mau mencari keuntungan di Balitapi tidak mau menggunakan tenaga orang Bali.
Orang Bali mengatakan hal ini sebagai, "Nyandat di teba. Bungane sumpangin, punyane kiladin". Artinya, rezekinya diterima, pendukung dari sumber rezeki itu diabaikan.
Dalam hal ini, desa pakraman tidak boleh tinggal diam. Lembaga adat harus introspeksi diri. Adat harus memikirkan perkembangan zaman.
Setiap kegiatan adat harus menggunakan manajemen moderen. Artinya, kalau karya atau upacaranya sekian, harus dipikirkan berapa hari warga terlibat.
Guyub ngayah bersama-sama, okelah kalau kita berbicara masalah agama pertanian. Tapi kan saat ini kita sudah memasuki era industri.
Sudah banyak sekali umat kita yang bekerja di sektor jasa. Dan sering terjadi, mereka harus hadir dalam kegiatan adat, tapi volume pekerjaan dalam adat itu tidak seberapa.
Di sinilah sering menimbulkan dilema umat. Kalau tidak menghadiri kegiatan adat, mereka akan kesepekan. Kalau mereka banyak libur, mereka akan diberhentikan oleh perusahaan.
Marilah kita sama-sama pikirkan, supaya adat, agama, dan pekerjaan bisa berjalan beriringan. (weg)
http://bali.tribunnews.com/2018/06/1...kerjaan?page=2