Filosofi Cacing
Monday, June 11, 2018

Halo selamat ngaskus agan dan sista yang makin banyak duitnya :D
Pertama-tama ane mau mengajak agan dan sista untuk membaca sepenggal cerita dibawah ini
Galih, Radit dan Dika sama-sama anak dari SMP Merah Putih Bekasi. Mereka memiliki perbedaan. Galih sangat suka memancing, sehingga doi nggak jijik sama cacing. Sementara si Radit dan Dika jijiknya setengah mati sama vertebrata yang satu itu. sangking jijiknya pernah suatu hari Galih terbirit-birit lari setelah melihat cacing kemudia menabrak ibu guru.
Dulu doi nggak jijik sama cacing. Malah si Radit juga suka ikut Galih memancing bahkan memasangkang cacing ke kail. Baunya dia nggak tahan. Bau tanah. Tapi anehnya kalo bau tanah saat hujan seger dan enak. Tapi bau cacing iiiihh, dan lendirnya itu loh.
Katanya, setelah dia liburan sekitar waktu dia berumur sepuluh tahun, saat ke rumah saudaranya, orang-orang disekitarnya sering menyebutkan bahwa cacing itu menjijikan. Wajah mereka berkernyit-kernyit saat mendengar atau melihat cacing.
Sementara Dika dia sudah jijik denga cacing sedari dulu. Karena dia pernah tanpa sengaja menginjak cacing dan kakinya nggak pake sendal. Kemudian dia kaget dan loncat-loncat merasa ada sesuatu yang kenyal dan bergerak-gerak di telapak kakinya.
Ane mengambil kesimpulan dari cerita diatas bahwa sesuatu yang dilakukan secara konsisten seolah menjadi karakter bukan berarti nggak bisa di ubah. Segala seseuatu pasti mengalami perubahan kecuali sesuatu yang kekal. Semua hal berpotensi mengalami perubahan baik secara mental, perilaku atau perasaan akan selalu berubah mengikuti perubahan mindset.
Bagaimana mindset itu ditentukan oleh pengalaman, pendidikan, atau terkadang prasangka dan perkiraan. Seperti mindsetnya si Galih, adit dan Dika terhadap pengalaman dan prasangkanya terhadap cacing.
Terkadang kita memutuskan untuk menilai sesuatu adalah menurut 'mainstream'. Bukan menurut mindset kita. Terkadang juga sesuatu dianggap mutlak dan absolute hanya karena sudah menjadi mainstream. Padahal mainstream sendiri terbentuk karena proses doktrin yang mempengaruhi mindset kita bukan karena kebenaran yang ada.
Untung saja kita sebagai manusia yang berakal selalu bisa belajar dari pengalaman. Kita diberi kamampuan untu mengotak atik mindset kita supaya kita bisa menentukan pandangan dan penilaian kita terhadap suatu hal.
Banyak contoh lainya ketika pemikiran kita lebih condong ke sesuatu yang mainstream dari pada yang realistis. Masing-masing dari kita pasti pernah mengalaminya :D
Pertama-tama ane mau mengajak agan dan sista untuk membaca sepenggal cerita dibawah ini
Galih, Radit dan Dika sama-sama anak dari SMP Merah Putih Bekasi. Mereka memiliki perbedaan. Galih sangat suka memancing, sehingga doi nggak jijik sama cacing. Sementara si Radit dan Dika jijiknya setengah mati sama vertebrata yang satu itu. sangking jijiknya pernah suatu hari Galih terbirit-birit lari setelah melihat cacing kemudia menabrak ibu guru.
Dulu doi nggak jijik sama cacing. Malah si Radit juga suka ikut Galih memancing bahkan memasangkang cacing ke kail. Baunya dia nggak tahan. Bau tanah. Tapi anehnya kalo bau tanah saat hujan seger dan enak. Tapi bau cacing iiiihh, dan lendirnya itu loh.
Katanya, setelah dia liburan sekitar waktu dia berumur sepuluh tahun, saat ke rumah saudaranya, orang-orang disekitarnya sering menyebutkan bahwa cacing itu menjijikan. Wajah mereka berkernyit-kernyit saat mendengar atau melihat cacing.
Sementara Dika dia sudah jijik denga cacing sedari dulu. Karena dia pernah tanpa sengaja menginjak cacing dan kakinya nggak pake sendal. Kemudian dia kaget dan loncat-loncat merasa ada sesuatu yang kenyal dan bergerak-gerak di telapak kakinya.
Ane mengambil kesimpulan dari cerita diatas bahwa sesuatu yang dilakukan secara konsisten seolah menjadi karakter bukan berarti nggak bisa di ubah. Segala seseuatu pasti mengalami perubahan kecuali sesuatu yang kekal. Semua hal berpotensi mengalami perubahan baik secara mental, perilaku atau perasaan akan selalu berubah mengikuti perubahan mindset.
Bagaimana mindset itu ditentukan oleh pengalaman, pendidikan, atau terkadang prasangka dan perkiraan. Seperti mindsetnya si Galih, adit dan Dika terhadap pengalaman dan prasangkanya terhadap cacing.
Terkadang kita memutuskan untuk menilai sesuatu adalah menurut 'mainstream'. Bukan menurut mindset kita. Terkadang juga sesuatu dianggap mutlak dan absolute hanya karena sudah menjadi mainstream. Padahal mainstream sendiri terbentuk karena proses doktrin yang mempengaruhi mindset kita bukan karena kebenaran yang ada.
Untung saja kita sebagai manusia yang berakal selalu bisa belajar dari pengalaman. Kita diberi kamampuan untu mengotak atik mindset kita supaya kita bisa menentukan pandangan dan penilaian kita terhadap suatu hal.
Banyak contoh lainya ketika pemikiran kita lebih condong ke sesuatu yang mainstream dari pada yang realistis. Masing-masing dari kita pasti pernah mengalaminya :D
Ok cukup sekita corat coret dari ane.
Salam tempel buat semua.
sampe jumpa lagi di trit ane berikutnya. Bay bay