Mengakui Penghayat Kepercayaan

Mengakui Penghayat Kepercayaan

Minggu, 12 November 2017 00:00 WIB

MAHKAMAH Konstitusi pada Selasa pekan lalu mengabulkan gugatan para penganut kepercayaan terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013



MAHKAMAH Konstitusi pada Selasa pekan lalu mengabulkan gugatan para penganut kepercayaan terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013

MAHKAMAH Konstitusi pada Selasa pekan lalu mengabulkan gugatan para penganut kepercayaan terhadap Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan yang mewajibkan pengisian kolom agama di kartu tanda penduduk. Dengan putusan itu, para penghayat kepercayaan bisa mencantumkan aliran kepercayaan mereka di kolom agama.

Hakim konstitusi Saldi Isra mengatakan menganut agama atau kepercayaan merupakan hak konstitusional warga negara. Sedangkan Undang-Undang Administrasi Kependudukan membatasi warga negara untuk hanya menganut agama yang diakui negara. "Ini tak sejalan dengan jiwa Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin kemerdekaan warga negara memeluk agama dan kepercayaan," ujarnya.

Salah satu penggugat, Arnol Purba, menilai selama ini sering timbul diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan karena kolom agama di KTP berisi tanda setrip. "Saya senang kepercayaan ini telah diakui," katanya.

Putusan hukum yang mendukung penghayat kepercayaan pernah diulas majalah Tempo edisi 19 Agustus 1989 dalam tulisan berjudul "Bebas, tapi Terhambat". Isinya soal vonis bebas pengadilan terhadap dua penganut kepercayaan yang dituding "kumpul kebo".

kimpoi tanpa dicatat Kantor Catatan Sipil ternyata tak melanggar undang-undang. Karena itu, Pengadilan Negeri Pati, Jawa Tengah, memvonis bebas penganut ajaran Sapta Darma, Prialin, 30 tahun, dan Endang, 24 tahun. Mereka dibawa ke pengadilan dengan tuduhan melanggar Undang-Undang Perkimpoian karena hanya menikah secara adat Jawa. 

Perkara yang terhitung langka ini bermula dari upacara pernikahan keduanya pada 28 Juli 1988 di Desa Kutoharjo, Pati. Tak kurang dari 300 undangan menyaksikan Prialin dan Endang naik pelaminan. Pestanya meriah, lengkap dengan tari-tarian dan upacara perkimpoian adat Jawa.

Tapi tak ada seorang pun petugas pencatat perkimpoian mengesahkan perkimpoian itu. Penyebabnya, pasangan itu tak bersedia mengisi kolom agama di formulir yang dikeluarkan Kantor Catatan Sipil (KCS) Pati. "Kami tidak beragama. Keyakinan kami adalah Penghayat KepercayaanSapta Darma, yang juga wahyu pemberian Tuhan dengan bahasa Jawa," ujar Prialin.

Akibatnya, KCS Pati menolak mengawinkan mereka. Kepala KCS Pati Rasyid Hasan mengatakan, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah tertanggal 23 Desember 1987, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa bukan agama. Perdebatan itu akhirnya sampai ke meja hijau.

Jaksa menganggap Prialin dan Endang melanggar Undang-Undang Perkimpoian. Tapi majelis hakim menilai tuduhan jaksa tidak terbukti. Menurut majelis, perkimpoian Prialin-Endang bukan perkimpoian sebagaimana dikehendaki undang-undang. Hanya, majelis tampaknya enggan menyimpulkan bahwa keduanya sebenarnya masih berstatus "kumpul kebo". "Tapi, secara halus, kami kan sudah menyalahkan mereka," ucap hakim Nyonya Ida.

Prialin-Endang ternyata menyambut gembira putusan tersebut. "Dengan melampirkan putusan itu, kami tinggal menyodorkan pencatatan perkimpoian kami kepada pegawai KCS," kata Prialin. Upaya mereka tampaknya bakal terhambat. Soalnya, Rasyid Hasan tetap akan menolak mencatatkan perkimpoian mereka. "Kecuali mereka mau menginduk pada salah satu agama yang diakui," ujar Rasyid.

https://majalah.tempo.co/read/154350...yaan?read=true

Related Posts

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel