Neratalk : Agama di Indonesia kehilangan sensitifitas sosial
Thursday, June 28, 2018
Neratalk : Agama di Indonesia kehilangan sensitifitas sosial
Nera Academia kembali menggelar Neratalk, sebuah program diskusi populer yang dilaksanakan secara rutin dalam setiap bulan. Judul Neratalk kali ini adalah "Beragama di Indonesia" yang merupakan sub judul dari Neratalk 2018 " Indonesia Yang Disempurnakan". Kegiatan diskusi populer yang sudah berjalan selama tiga tahun ini tetap memilih Warung Mbah Cokro di Jalan Prapen sebagai tempat diskusi. Walaupun sedari sore hujan lebat (Jumat, 16 Maret 2018), ternyata tidak menyurutkan minat peserta untuk datang.
"Neratalk kali ini membahas tentang "Beragama di Indonesia" sebagai turunan dari sila pertama Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa" ungkap Wahyu, Biro Diseminasi Isu Nera Academia yang didaulat jadi moderator diskusi.
Wahyu Mahatara menjelaskan bahwa, diskusi ini secara khusus membahas agama dalam kaitannya dengan situasi Indonesia saat ini. Walaupun membahas tentang Ke-Tuhanan Yang Maha Esa, bukan berarti diskusi ini memisahkan sila itu dari rangkaian sila-sila lainnya. Karena pada dasarnya Pancasila merupakan satu kesatuan yang utuh dan oleh karena itu pembahasan tentang Ke-Tuhanan mau tidak mau harus dikaitkan dengan nilai-nilai dalam sila lainnya. Sari diskusi ini akan menjadi jembatan untuk membahas sila Pancasila berikutnya yaitu Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
Diskusi ini menghadirkan Aan Ansori (Jaringan Islam Anti Diskriminasi-JIAD, Gusdurian), Andreas Kristianto (Aktivis Gereja Kristen Indonesia), Aloysius Widyawan (Rohaniawan Katolik Paroki SMTB Surabaya) dan Dian Jennie Cahyawati (Penganut Kepercayaan Sapta Darma-Surabaya). Acara dibuka dengan penampilan Djafar Kacaubung, yang menyanyikan lagu tentang ketamakan manusia menjarah Indonesia.
Acong, salah satu peserta diskusi membagikan pendapatnya terkait situasi ke-agamaan di Indonesia. Foto : @Andreyuris
Bagaimana Situasi kehidupan beragama di Indonesia saat ini?
"Saya harus jujur mengatakan bahwa, Gereja, umat dan lembaga Katolik khususnya yang saya amati di Surabaya tidak sensitif terhadap situasi sosial kemasyarakatan" ungkap Romo Aloysius Widyawan membuka diskusi.
Romo Widyawan mengajak peserta diskusi jujur melihat dan memperhatikan Gereja dan sekolah Katolik di Surabaya. Sekolah dan Gereja Katolik di Surabaya tampak menonjol dengan bangunan besar dan luas, mewah dan sudah pasti mahal khususnya sekolah-sekolah Katolik. Namun dibalik kemegahan itu, sayangnya dalam aktivitas sehari-hari dengan sadar mencaplok badan jalan umum sebagai tempat parkir. Keberadaan Gereja dan lembaga Katolik dalam contoh ini alih-alih memberikan kenyamanan, malah menghadirkan situasi yang menjengkelkan karena tidak memberikan rasa nyaman bagi orang lain khususnya pengguna jalan raya. Ini contoh kecil, ketidak-sensitifan Gereja dan umat Katolik dalam kehidupan bersama.
"Saya yakin, kalau kita semua disini jujur; pasti mangkel (Bhs. Jawa : marah) pada gereja dan sekolah Katolik yang membuat macet tiap hari" kata Romo Widya.
Dian Jennie Cahyawati, Penghayat Kepercayaan Sapta Dharma mengatakan, bila berbicara tentang agama di Indonesia selalu ada situasi ketidakadilan. Kelompok penghayat, menjadi korban ketidakadilan oleh negara selama kurang lebih tigapuluh tahun. Hak beribadah, perkimpoian, pendidikan dan pemakaman dipasung atas nama pengertian agama yang diakui negara. Keputusan negara yang tidak mengakui penghayat kepercayaan, kemudian menjadi alasan bagi kelompok tertentu untuk merusak dan mengitimidasi warga Sapta Dharma.
Dari kanan, Andreas Kristianto (Aktivis Gereja Kristen Indonesia), Aan Ansori (Jaringan Islam Anti Diskriminasi-JIAD, Gusdurian), Dian Jennie Cahyawati (Penganut Kepercayaan Sapta Darma-Surabaya) dan Aloysius Widyawan (Rohaniawan Katolik Paroki SMTB Surabaya) menjadi pemantik diskusi Neratalk : Beragama di Indonesia yang selenggrakan di warung Mbah Cokro Suarabaya (Jumat, 16 Maret 2018). Foto : @Andreyuris
"Perjuangan kami selama tiga puluh tahun, baru mendapat keadilan paska putusan MK tahun 2017 yang mengakui keberadaan Penghayat Kepercayaan di Indonesia. Keputusan itu mengatakan kami boleh mencantumkan Pengahayat Kepercayaan dalam kolom agama di KTP. Walaupun demikian , secara teknis masih belum jelas karena penolakan beberapa pihak" kata Dian.
Andreas Kristianto, aktivis Gereja Kristen Indonesia, mengutip survei Wahid Foundation yang mengatakan sebagian masyarakat kita menolak bertetangga dengan orang yang berbeda agama. Survei ini menunjukan, betapa situasi ke-agamaan di Indonesia ada pada titik yang mengkhawatirkan. Hai ini merupakan dampak sosial dari prilaku buruk tokoh agama dan politisi yang menggunakan agama sebagai alat mencapai dan memuaskan birahi kekuasaan politik dan ekonomi.
" Agama semakin tercerabut dari perannya sebagai pembawa kebaikan, lantaran dijadikan alat untuk mencapai kekuasaan politik dan ekonomi. Sangat disayangkan, karena hal seperti ini terkesan kita biarkan. Banyak dari kita yang memilih diam " kata Andreas.
Aan Ansori, Aktivis Gusdurian Jawa Timur mengatakan mau tidak mau dan harus jujur diakui situasi keagamaan di Indonesia saat ini buruk. Islam, sebagai agama mayoritas sepertinya harus bertanggungjawab terhadap situasi ini. Agama Islam merupakan patron bagi semua agama dan kepercayaan di Indonesia. Bila relasi antar umat islam, antar lembaga Islam baik maka akan terasa baik juga bagi yang lainya. Namun yang terjadi saat ini, relasi yang tidak harmonis di internal umat Islam merembet pada sikap umat pada agama lain.
"Beragama di Indonesia itu berat, kamu gak bakalan kuat. Biar aku saja " seloroh Aan, disambut tepuk tangan dari pengujung Warung Mbah Cokro.
Situasi diskusi di Warung Mbah Cokro. Foto : @Andreyuris
Masihkah Agama diharapkan membawa kebaikan bagi Indonesia?
"Selama kita tidak ikut larut dan melawan politik segregasi yang akhir-akhir ini masif, saya berani mengatakan agama masih bisa diharapkan. Namun bukan agama Islam saja yang harus melawan pola segregasi ini, semua agama harus berperan. Ngene yo rek , kalau Islam ditinggal sendirian yo, ga ngatasi. Teman-teman agama lain juga harus bersuara, ojo meneng wae ( Bhs. Jawa : jangan diam saja) " tegas Aan Ansori.
Gus Aan menyebut "presto-isasi" sebagai cara sekelompok orang dalam islam dan partai politik yang ada dibalik politik segregasi dengan isu agama, suku dan bahkan ekonomi. Ibarat bandeng preseto, tampak luar baik dan mulus, namun didalamnya rapuh dan hancur. Pola prestoisasi ini berjalan mulus melalui produk politik seperti peraturan daerah, buku-buku ajar di sekolah, tayangan televisi hingga kebijakan lokal di kota, sekolah dan kampus.
" Negara harus menjamin semua warga menggunakan hak-haknya. Dengan demikian warga tergugah untuk berperan dalam menjaga kebersamaan dan keselarasan sebagai bangsa Indonesia " lanjut Dian Jennie.
Bagi Dian selain negara; lembaga agama dan kepercayaan harus menjadi tempat persemaian bibit persahabatan dengan terus menerus berjumpa dan berdiskusi seperti saat ini. Sementara itu Andreas, Aktivis GKI; mengatakan terkait peran agama, sejatinya agama dan aliran kepercayaan itu mewartakan ajaran cinta dan kebaikan bagai semua mahluk. Jika ada oknum mewartakan Kitab Suci tapi menyulut kebencian, permusuhan dan perpecahan, maka umat beragama dan penghayat kepercayaan harus kritis. Tidak menelan mentah mentah.
Diah Puspita, Ketua BEM Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya menghadiri diskusi Neratalk Beragama di Idonesia. Foto : @Andreyuris
" Umat dan kita semua harus bisa lebih kritis dalam menerima pesan dan ajaran-ajaran yang disampaikan tokoh agama. Kalau dirasa bertentangan dengan kebaikan, tolong disuarakan, jangan didiamkan. Sering-seringlah berjumpa dan berdiskusi lintas agama". tegas Andreas.
Romo Widyawan mengatakan, agama itu bercita-cita menjadikan manusia semakin manusiawi. Sadar diri jadi manusia, barulah ber-Tuhan kemudian beragama. Saat ini yang terjadi, kita semakin berjarak dari kemanusiaan atau semakin tidak manusiawi saat kita beragama. Sensitifitas dan kepekaan sosial diharapkan lahir dari orang-orang yang beragama. Dosen Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya ini mengatakan cara yang terbaik merawat sensitifitas beragama salah satunya melalui pendidikan khsusunya pendidikan dasar hingga menengah.
" Saya menyakini semua agama berupaya mewujudkan kebaikan bersama. Agama katolik juga terus memperharui diri, mencoba selalu berperan mengatasi persoalan dunia dan Indonesia. Cara kita merawat selain memperbanyak perjumpaan dan dialog juga dengan secara bersama mendorong pendidikan pluralisme, kebangsaan dan kemanusiaan di lembaga pendidikan. Sekolah harusnya jadi pintu masuk perjumpaan antar agama dan kepercayaan. Mari kita wujudkan " ajak Romo yang betugas di Gereja Santa Maria Tak Bercela Surabaya ini.
Diskusi yang berlangsung selama empat jam dibawah guyuran hujan ini diikuti kurang lebih seratusan peserta. Peserta hadir dari lintas komunitas keagamaan, organisasi masyarakat, kampus, seni, akademisi dan bahkan dari luar kota seperti Mojokerto, Jombang, Gempol dan Pare. Acara malam itu di tutup dengan rancak oleh Kelompok Perkusi Al-faz Gempol berkolaborasi dengan Sanggar Ranseba Pare.
Galeri Foto Diskusi Neratalk " Beragama di Indonesia" dapat di lihat dan di unduh melalui halaman facebook : @neraacademia
https://www.idenera.com/neratalk-ber...-di-indonesia/