Perempuan Penghayat Melawan Diskriminasi

Perempuan Penghayat Melawan Diskriminasi

Oleh : Damar Fery Ardiyan

Diskriminasi terhadap kaum penghayat kepercayaan di tanah air masih terus terjadi. Sebut saja diantaranya kewajiban mencantumkan agama di kolom kartu tanda penduduk. Sampai keharusan ikuti pelajaran agama tertentu di bangku sekolah. Cerita itu disampaika

?

penghayat, diskriminasi, perempuan

  

KBR68H - Diskriminasi terhadap kaum penghayat kepercayaan di tanah air masih terus terjadi. Sebut saja diantaranya kewajiban mencantumkan agama di kolom kartu tanda penduduk. Sampai keharusan ikuti pelajaran agama tertentu di bangku sekolah. Cerita itu  disampaikan sejumlah perempuan penghayat  dari berbagai daerah di Mahkamah Konstitusi. 


Puluhan perempuan berpakaian adat tampak wara-wiri di aula Mahkamah Konstitusi, Jakarta pagi itu. Mereka berasal dari berbagai daerah, seperti Kuningan, Jawa Barat, Surabaya, Jawa Timur, hingga yang berasal dari seberang timur pulau Jawa, Sulawesi.

Di sana, mereka membeberkan berbagai diskriminasi pelayanan publik yang kerap diterima penghayat kepercayaan. Penghayat adalah pemeluk ajaran atau keyakinan leluhur yang berkembang di nusantara. Dewi Kanti, Dian Jennie dan Tentri Bibi diantara para penganutnya.

Dialog publik yang digagas Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan atau Komnas Perempuan  ini dihadiri 35 perwakilan penghayat kepercayaan. Mulai dari  Sunda Wiwitan Jawa Barat, Sapta Darma dan Budho Tengger di Jawa Timur sampai Tolotang, Sulawesi Selatan.

Salah satu diskriminasi yang kerap menimpa kaum penghayat adalah tidak diakuinya perkimpoian mereka, ujar  Dewi Kanti. "Saya belum punya surat nikah. Jadi tidak diakui, meskipun kami sudah menikah. Tetapi negara tidak mengakui status hukum perkimpoian kami."

Penganut Sunda Wiwitan ini sudah lebih dari 10 tahun menikah dengan Okky Satrio.  Upaya mereka  mencatatkan pernikahan di Catatan Sipil, Kabupaten Kuningan sia-sia.

KBR68H: Pernikahan bagaimana?
Dewi: Tidak dilayani pemerintah. Tidak ada juklak dan juknis. Untuk perkimpoian aliran kepercayaan. Setelah UU Adminduk, alasannya organisasi. Jadi selalu ada penyekatan-penyekatan."

Akibatnya,  suami Dewi tak bisa menerima tunjangan gaji untuk istri dan anak. Karena dinilai belum menikah. Dampak lain, Dewi tidak terdaftar sebagai penerima asuransi. Ia juga sulit mengajukan kredit perumahan dan kendaraan bermotor.

Undang-Undang Administrasi Kependudukan atau Adminduk lah yang membuat hak sipil Dewi terenggut. Pasalnya, pemerintah hanya mengakui pernikahan adat yang ajarannya  telah dilembagakan.

Sedangkan, Sunda Wiwitan yang dipeluknya belum berbentuk organisasi. "Peraturan yang dibuat pemerintah itu, di situ dinyatakan memang untuk pelayanan penghayat, ada syarat di mana mendaftarkan sebagai organisasi, baru pemuka penghayat itu bisa mencatatkan atau mengesahkan perkimpoian. Di situ masalahnya. Ketika sebetulnya perwakilan para penghayat itu kan dasarnya perkimpoian adat. Perkimpoian adat itu disahkan oleh kedua orangtua mempelai atau yang dituakan, sesepuh adat. Nah, ketika misalnya yang mengesahkan perkimpoian itu. Sederhananya harus meminjam orangtua tetangga sebelah. Jadi, dalam sisi tradisi itu menyalahi tata karma," jelas Dewi.

Berdampak ke Anak

Aturan yang dibuat pemerintah ia nilai tidak adil dan sangat dipaksakan. "Selama ini kami sadar hukum, segala peristiwa yang berakibat hukum selalu kami laporkan, perkimpoian, kelahiran, bahkan kematian. Cuma problemnya ketika negara menjawab tidak ada peraturan untuk itu, karena kami tidak legal, karena tidak terdaftar itu masalah. Mengapa syarat organisasi itu dipaksakan," imbuhnya.

Diskriminasi  juga merembet ke anak-anak kaum penghayat. Kembali Dewi Kanti. "Pada kenyataanya, anak-anak kami masih di sekolah itu masih didiskriminasi dalam arti pelajaran agama itu dipaksakan. Itu kan lebih pada kekerasan psikologis, meskipun hanya dengan sindiran tetapi itu menurunkan mental. Sehingga mental anak kami kepercayaan dirinya kurang. Apa salahnya si kami menjalani atau mewarisi tradisi spiritual kami sendiri. Toh kami tidak  melakukan perbuatan melawan hukum, pidana atau merugikan orang lain."

Penghayat Kepercayaan Sapta Darma, Dian Jenni ikut menimpali. Menurut dia, tidak sedikit anak penghayat kepercayaan yang tinggal kelas karena tidak menyakini 6 agama resmi yang diakui negara. Islam, Kristen Katolik, Protestan, Hindu, Budha dan Konghucu. 
 

"Ada juga yang tidak lulus di tahun kemarin. Karena, dia mau melakukan ujian tertulis, tetapi dia tidak mau melakukan sembahyang, ujian praktek. Jadi, dia hanya mau melakukan ujian tertulis.  Itu tidak diterima oleh gurunya, dan dia tidak lulus. Karena dia tidak lulus, mau tidak mau untuk tahun ini dia harus tunduk. Kasus yang seperti ini banyak," jelas Dian.

Siswa yang tak lulus itu  dua murid SMP kelas 3 di Karanganyar, Jawa Tengah. Menurut Dian, kasus itu seharusnya tidak perlu terjadi. Pasalnya, Oganisasi Penghayat Sapta Darma telah memberikan sejumlah silabus dan soal ujian kepada Dinas Pendidikan, Kabupaten Rembang.

Situasi serupa sempat menimpa anaknya, Nendio Agung saat duduk dibangku kelas 3 Sekolah Dasar. Bocah itu menolak pelajaran agama Islam. "Saya kira anak saya itu enjoy saja (di sekolah). Ketika di rumah menganut penghayat kepercayaan, di sekolah dia dipaksa untuk memilih salah satu agama, saya pikir itu bisa berjalan normal. Tetapi ternyata, kalau berangkat sekolah dia selalu cemberut. Suatu hari, saya dipanggil kepala sekolah dan dikatakan bahwa setiap pelajaran agama, anak ibu selalu sembunyi di kamar mandi. Saya kaget. Saya Tanya, kenapa kamu lakukan itu, karena yang diajarkan mama tidak sama yang diajarkan guru. Kalau anak lain bisa mendapatkan pelajaran yang sama, mengapa aku tidak bisa mendapatkan pelajaran seperti yang aku yakini. Baru saya merasa, ada masalah yang harus diselesaikan di sini. Dan ternyata itu tidak hanya dialami anak saya, banyak. Kadang mereka bisa mengungkapkan, kadang juga tidak," jelasnya.

Meski begitu, menurut Dian, tidak semua sekolah berlaku diskriminatif terhadap para penghayat. "Soal ujian, beserta kurikulum dan silabus yang kami kirim ke Karanganyar untuk membantu seorang anak yang sudah mengatakan bahwa saya penghayat kepercayaan dan itu pun tidak diterima oleh sekolah dan dia dipaksa untuk mengikuti ujian yang sudah ada. Tetapi, di Sidoarjo, Jawa Timur hal itu bisa kita lakukan. Nah, ini tergantung dari pemahaman dan mindset dari masing-masing sekolah."

Kolom Agama

Kisah diskriminasi terhadap perempuan penghayat lainnya diceritakan Tentri Bibi penganut Tolotong saat urus Kartu Tanda Penduduk Elektronik (E-KTP).  "Setelah adanya EKTP saya sangat resah, karena sebelum ada ektp saya bebas menuliskan agama saya di KTP. 

Agama saya tolotang. Tetapi, setelah EKTP muncul, saya di-Hindu-kan. Saya tidak pernah mengaku Hindu. Saya mohon yang menangani ini, minta tolong seluruh Indonesia jangan lagi begitu," kata Tentri.

Yang menyakitkan tuduhan sesat yang kerap mereka dengar kata penganut Sapta Darma, Dian Jenni menuturkan, "Terlepas dari rasa diskirimnasi ini juga terkait dengan subjektifitas dari aparat pemerintah yang masih menstigma penghayat itu manusia yang tidak punya Tuhan, tidak beragama dan sepertinya kami tidak punya hak konstitusi." 

Untuk menghindari stigma atau cap buruk itu, tutur Dewi Kanti tidak jarang penghayat kepercayaan terpaksa mencantumkan salah satu agama resmi dalam kolom KTP. "Banyak, karena  tidak setiap warga kami punya mental cukup kuat untuk bertahan. Yang penting masalah hati. Tetapi untuk urusan administratif banyak yang bersampan dua untuk selamat, karena kami  butuh kehidupan wajar. Meskipun secara spiritual dan keyakinan kami tetap bertahan," ungkapnya.

Tetapi, Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Maria Farida Indrati meminta jalan ke luar yang ditawarkan Dewi itu tidak dilakukan para penghayat.  "Dalam Undang-Undang Dasar Negara kita. Khususnya terhadap jaminan tentang keagamaan dan penganut kepercayaan. Jaminan pemenuhan hak asasi warga negara Indonesia untuk memluk agama dan kepercayaannya telah diatur dalam Pasal 29 (2) UUD 1945. Menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agama dan kepercayaannya itu," tegasnya. 

Benarkah negara telah menjamin kemerdekaan bagi penganut kepercayaan?

Pemerintah Sangkal

Berbagai perlakuan diskriminasi yang dialami Dewi Kanti, Dian Jennie dan Tentri Bibi dalam diskusi bertajuk Pesan Ibu Nusantara di Mahkamah Kontitusi (MK) langsung disangkal pemerintah.
Ini penegasan Direktur Pencatatan Sipil Ditjen Kependudukan, Kementerian Dalam Negeri, Joko Mursito, "Masalah pencatatan sipil ini sudah clear. Tidak ada lagi diskriminasi terhadap pelayanan yang timbul terhadap penghayat kepercayaan Tuhan yang Maha Esa. Tidak ada lagi diskriminasi mulai dari pencatatan kelahiran, percerain, pengakuan anak, pengesahan anak, pencatatan kewarganegaran semua sama. Itu tidak ada. Mohon itu dilihat kembali."

Joko mengklaim, pemerintah juga telah melindungi secara hukum anak penghayat. "Di dalam regulasi pencatatan sipil itu haknya sama. Dengan hadirnya PP 37 itu sama. Status anak itu sama, ada empat. Sebagaimana penduduk Indonesia pada umumnya. Anak yang lahir dari perkimpoian yang sah, anak seorang ibu, anak yang tidak diketahui asal-usulnya, atau status yang keempat kemarin baru dimunculkan dengan putusan MK. Tidak ada diskriminasi," terangnya.

PP 37 tahun 2007 yang disebut Joko tadi maksudnya Peraturan Pemerintah yang mengatur pencatatan perkimpoian para penganut kepercayaan. Menurut ia jika masih terjadi perlakuan diskriminatif itu akibat belum semua aparat di daerah tahu aturan tersebut. Kondisi ini diperparah  buruknya komunikasi dengan lembaga penghayat.  
"Organisasi penghayat yang selalu komunikasi dengan kita tahu masalah ini. Tetapi yang hidup inklusif ya tentu saja tidak terjadi komunikasi. Kita kan hidup di dalam Indonesia, rumah kita semua. Apa susahnya. Jangan komunikasi di saat ada masalah," jelas Joko.
Dia menegaskan,"Kalau ada Dinas Catatan Sipil di kabupaten/kota, yang masih menolak pelayanan pencatatan sipil yang membedakan penghayat kepercayaan tolong dilaporkan kepada saya."

Terapkan Putusan MK

Suara berbeda datang dari anggota parlemen anggota Komisi Hukum DPR, Eva Kusuma Sundari. Dia yakin, diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan masih terjadi. Pemicunya akibat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Undang Undang  No. 1 PNPS/1965 tentang Penodaan Agama belum dimasukan  ke dalam peraturan pelaksanaan Undang-Undang Administrasi Kependudukan (Adminduk).

"Ini kan sudah beres di tingkat konten, di UU. Tetapi ada aspek yang harus diluruskan. Seperti temuanku tadi, bahwa Undang-Undang Adminduk, Putusan MK tidak dijadikan rujukan pelaksanaan UU-nya. Ketika MK menjudicial review Undang-Undang PNPS kan salah satu putusannya adalah negara tidak berhak untuk menentukan resmi tidaknya suatu agama dan tidak benar kalau agama yang resmi enam itu saja. Jadi artinya bukan otoritas negara untuk menentukan mana resmi mana tidak. Jadi, adminduk kan harusnya merujuk pada putusan MK itu. Karena argument pak Joko itu tersandera oleh UU Adminduk yang menyatakan bagi agama yang belum resmi diakui negara maka dikosongkan. Loh, pelaksanaan hukum ini tidak merujuk pada putusan MK terbaru tahun 2009 tadi. Jadi ada gap tentang pelaksanaan hukum dan itu menjadi problem," beber Eva

Oleh sebab itu, politisi PDI Perjuangan ini mendesak pemerintah segera menerapkan Putusan MK. Menurut dia, penerapan putusan itu bisa diawali dengan merevisi UU Adminduk dan menghilangkan kolom agama dari KTP.  "Agama itu menjadi sumber diskriminasi ternyata. Dalam revisi itu, rujukanku ya Putusan MK. Negara tidak berhak mengurusi atau mendefinisikan agama-agama resmi," ungkap Eva.
Penghapusan kolom agama ini pula yang diinginkan Dian Jenni dan penghayat lainnya.   "Saya inginnya kolom Agama di KTP itu dihapuskan. Sebab itu hanya memicu konflik dan diskiriminasi bagi bangsa ini. Karena yang mencantumkan identitas agama di seluruh dunia itu kalau tidak salah hanya ada dua negara, Indonesia dan Mesir," katanya.
Dengan begitu, harap Dewi Kanti, mereka bisa beribadah dan merawat tradisi dengan tenang.  Tak terus  disibukan  urusan administratif dan perlakuan  diskriminatif.  "Kami ingin menjaga tradisi, misalnya berdoa dengan bahasa kami, berdoa tata cara ritual yang leluhur kami ajarkan. Jadi tidak lebih ingin mempertahankan apa yang sudah dikodratkan. Bukan ingin diakui agama baru. Kami bukan untuk itu," pungkasnya.

(Dmr, Fik)

http://m.kbr.id/saga/01-2013/perempu...asi/35034.html

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel