“Siang Bertanding Rupa, Malam Bersanding Rasa”, Filosofi Istri yang Dipoligami
Sunday, June 24, 2018
tribunnews.com
"Siang Bertanding Rupa, Malam Bersanding Rasa" adalah sebuah ungkapan filosofis, yang lazim digunakan oleh masyarakat Banjar, untuk menggambarkan kondisi kejiwaan (psikologis) para istri yang dipoligami oleh suaminya.
Secara harfiah, ungkapan tersebut bisa diterjemahkan bahwa pada umumnya istri-istri yang dipoligami itu "saling bersaing" untuk mendapat "perhatian lebih" dari suami mereka. Maka pada siang hari, sang istri bersolek sedemikian rupa agar terlihat lebih cantik dan menggoda dari istri yang lainnya. Maka tidak heran jika mereka lebih telaten merawat diri (tubuh), seperti sering pergi ke salon, atau ikut senam untuk membentuk bodi biar terlihat lebih aduhai.
Dan pada malam hari, jika mendapat giliran, sang istri akan memberikan "layanan ekstra" atau yang lebih hot dari biasanya, dengan tujuan agar suami merasa paling puas dengan servis yang diberikannya, sehingga ia lebih disayangi oleh suaminya.
Dengan demikian, maka pada siang hari akan terjadi semacam kontes kecantikan (rupa), dan malam hari terjadi kompetesi memberikan "layanan terbaik" (rasa).
Memang, secara psikologi, wanita yang dipoligami itu merasa tersaingi oleh wanita lain yang menjadi istr suaminya. Dan rasa cemburu adalah hal utama yang mendorong mereka melakukan "kompetesi hati" tersebut. Jika ia bias bertahan dari gejolak amarah dan cemburunya itu, maka selama itu pula akan berlangsung pertandingan "rupa dan rasa" itu. Dan pada akhirnya, yang kalah adalah yang tidak tahan dengan memilih mundur dari arena yang dilematis itu.
Pada dasarnya, tiada seorangpun wanita di dunia ini yang mau dimadu atau cinta suaminya terbagi. Pun rasanya tak ada seorangpun di jagat raya ini yang tak punya keinginan untuk berpoligami. Ketika ada "kemampuan dan kesempatan" pada seorang pria, Ane kira hanya "pria lemah" yang tak punya keinginan sama sekali untuk memanfaatkan peluang tersebut.
Beberapa teman Ane, baik yang bertitel Ustadz apalagi yang awam seperti Ane, ketika Ane tanya adakah keinginan untuk menikah lagi jika punya kemampuan dan kesempatan, semuanya menjawab "Ya". Artinya, memang sudah naluriah semua pria memiliki kecenderungan itu.
Persoalannya sekarang, jika memang terlanjur terjadi poligami, mampukah seorang suami "menjadi juri yang adil dan bijaksana" bagi istrinya yang menjadi kontestan dalam ajang Rupa dan Rasa tersebut? Mampukah ia menjadikan semua istrinya sebagai pemenang dari perlombaan tersebut, sehingga tidak ada pihak dan merasa kalah dan tersakiti? Jika jawabannya adalah "ya", maka dialah pria yang memenuhi syarat seperti yang disebutkan dalam Alquran, "Boleh menikahi empat orang wanita, asal mampu berlaku adil. Jika tidak, maka cukup seorang saja."(*)
"Siang Bertanding Rupa, Malam Bersanding Rasa" adalah sebuah ungkapan filosofis, yang lazim digunakan oleh masyarakat Banjar, untuk menggambarkan kondisi kejiwaan (psikologis) para istri yang dipoligami oleh suaminya.
Secara harfiah, ungkapan tersebut bisa diterjemahkan bahwa pada umumnya istri-istri yang dipoligami itu "saling bersaing" untuk mendapat "perhatian lebih" dari suami mereka. Maka pada siang hari, sang istri bersolek sedemikian rupa agar terlihat lebih cantik dan menggoda dari istri yang lainnya. Maka tidak heran jika mereka lebih telaten merawat diri (tubuh), seperti sering pergi ke salon, atau ikut senam untuk membentuk bodi biar terlihat lebih aduhai.
Dan pada malam hari, jika mendapat giliran, sang istri akan memberikan "layanan ekstra" atau yang lebih hot dari biasanya, dengan tujuan agar suami merasa paling puas dengan servis yang diberikannya, sehingga ia lebih disayangi oleh suaminya.
Dengan demikian, maka pada siang hari akan terjadi semacam kontes kecantikan (rupa), dan malam hari terjadi kompetesi memberikan "layanan terbaik" (rasa).
Memang, secara psikologi, wanita yang dipoligami itu merasa tersaingi oleh wanita lain yang menjadi istr suaminya. Dan rasa cemburu adalah hal utama yang mendorong mereka melakukan "kompetesi hati" tersebut. Jika ia bias bertahan dari gejolak amarah dan cemburunya itu, maka selama itu pula akan berlangsung pertandingan "rupa dan rasa" itu. Dan pada akhirnya, yang kalah adalah yang tidak tahan dengan memilih mundur dari arena yang dilematis itu.
Pada dasarnya, tiada seorangpun wanita di dunia ini yang mau dimadu atau cinta suaminya terbagi. Pun rasanya tak ada seorangpun di jagat raya ini yang tak punya keinginan untuk berpoligami. Ketika ada "kemampuan dan kesempatan" pada seorang pria, Ane kira hanya "pria lemah" yang tak punya keinginan sama sekali untuk memanfaatkan peluang tersebut.
Beberapa teman Ane, baik yang bertitel Ustadz apalagi yang awam seperti Ane, ketika Ane tanya adakah keinginan untuk menikah lagi jika punya kemampuan dan kesempatan, semuanya menjawab "Ya". Artinya, memang sudah naluriah semua pria memiliki kecenderungan itu.
Persoalannya sekarang, jika memang terlanjur terjadi poligami, mampukah seorang suami "menjadi juri yang adil dan bijaksana" bagi istrinya yang menjadi kontestan dalam ajang Rupa dan Rasa tersebut? Mampukah ia menjadikan semua istrinya sebagai pemenang dari perlombaan tersebut, sehingga tidak ada pihak dan merasa kalah dan tersakiti? Jika jawabannya adalah "ya", maka dialah pria yang memenuhi syarat seperti yang disebutkan dalam Alquran, "Boleh menikahi empat orang wanita, asal mampu berlaku adil. Jika tidak, maka cukup seorang saja."(*)
Spoiler for Referensi:
Quote: