Ubah Perilaku Konsumtif Menjadi Produktif
MENTERI Perdagangan, Gita Wirjawan belakangan ini gencar mengkampanyekan penggunaan produk dalam negeri. " Bangga menggunakan produk anak bangsa" begitu kampanye melalui sejumlah media massa, termasuk di koran kita.
Penggunaan produk dalam negeri memang harus menjadi gerakan nasional. Gerakan ini tidak bisa ditunda – tunda lagi mengingat penggunaan produk impor kian merebak bagi sebagian besar masyarakat kelas menengah ke atas.
Repotnya lagi, sikap hidup konsumtif pun sepertinya sudah menjadi budaya di Indonesia. Jika konsumtif terhadap produk lokal, dapat memajukan perekonomian nasional, tetapi konsumtif terhadap produk luar negeri, ini yang harus dicegah. Padahal barang impor yang dibeli pun belum tentu dibutuhkan.
Tidak bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan inilah salah satu ciri sikap komsumtif. Artinya sepanjang mampu membeli, apapun dibeli, meski barang tersebut bukan merupakan kebutuhan mendesak.
Setiap ada produk-produk baru yang muncul dipasaran seperti telepon genggam, gadget, laptop, kosmetik, baju, sepatu, tas, berusaha membelinya, meski belum lama sudah beli produk serupa.
Bagi kalangan menengah ke atas yang mempunyai cukup uang, tidak begitu masalah, tetapi bagaimana dengan kalangan bawah?
Yang pasti gaya hidup konsumtif memberikan dampak yang negatif, di antaranya kian membuat kesenjangan sosial.
Negara pun semakin terbebani karena terlalu banyak barang yang diimpor untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia. Akibat lebih lanjut gairah memproduki barang-barang buatan dalam negeri semakin lemah. Tidak itu saja,produk lokal kalah bersaing dengan produk impor yang kebanyakan harganya lebih murah.
Setidaknya ada dua solusi yang bisa ditempuh untuk menekan pola hidup konsumtif agar tidak membudaya di Indonesia.
Pertama, makin mencitai produk dalam negeri. Gerakan mencintai produk dalam negeri seperti dikampanyekan Menteri Perdagangan, Gita Wirjawan harus diikuti tindakan nyata, yakni malu menggunakan produk impor. Artinya pejabat negara harus memberi contoh agar rakyatnya mengikuti.
Kunjungan kerja, studi banding dan berobat atau melakukan tindakan medis tak harus ke luar negeri. Apalagi jika sifatnya sangat pribadi, misalnya liburan keluarga. Sebab, dengan perjalanan ke luar negeri, lazimnya berbelanja produk impor di negara yang dikunjungi.
Kedua, pemerintah harus mengurangi komoditas impor, di antaranya dengan menaikkan berkali lipat pajak barang mewah impor.
Ketiga, merangsang masyarakat menciptakan produk buatan dalam negeri dengan memberi fasilitas dan kemudahan perizinan, permodalan dan pengembangan pasar. Kebijakan ini bisa ditujukan kepada kelas menengah yang jumlahnya cukup besar ( diproyeksikan menjadi 135 juta pada tahun 2025) agar tidak berlaku konsumtif, tetapi mengivenstasikan uangnya untuk usaha produktif. (*)
Sumber
#gayahidupproduktif #investasi #investasicerdas