Calon Dokter Jadi Kapten Indonesia  di Piala Dunia 1938



"Sebelum berangkat ke Piala Dunia, beliau dianggap 'pengkhianat' karena memperkuat tim Hindia Belanda, maju dengan bendera merah-putih-biru."

Menetap berpuluh-puluh tahun di Amerika Serikat tak membuat Farida Nawir lupa akan sejarah yang ditorehkan ayahnya, Achmad Nawir, pemain sepakbola legendaris dari Kota Surabaya sekaligus kapten tim Hindia Belanda dalam Piala Dunia 1938 di Prancis.

Nawir memimpin tim nasional Hindia Belanda, kini Indonesia, menjadi negara Asia pertama yang bermain di putaran final Piala Dunia. "Ayah adalah pahlawan kami sekaligus pahlawan sepakbola pada masanya," ujar Farida dalam percakapannya dengan detikX pekan lalu. "Beliau tercatat dalam buku sejarah sepakbola."

Farida memang tak melihat langsung kehebatan ayahnya mengolah si kulit bundar di Stadion Velodrome Municipal, Kota Reims, pada Minggu, 5 Juni 1938, sore kala melawan tim raksasa Hungaria. Tapi cuplikan video pertandingan tersebut dengan mudah didapatkan di internet. "Kami bisa melihat dia bermain di Piala Dunia," katanya.

Achmad Nawir dan saudara-saudaranya lahir dari pasangan Mohammad Isa Sutan Bandaro dan Siti Bandaro. Farida Nawir menyebut keluarga ini berasal dari sebuah desa di Maninjau, Sumatera Barat. "Saudara-saudara ayah saya orang penting dalam sejarah Indonesia. Mereka berasal dari sebuah desa kecil di dekat Danau Maninjau yang indah," kata Farida. Achmad Nawir masih remaja saat merantau ke Batavia.

Achmad Nawir merupakan anak keempat dari tujuh orang bersaudara. Kakak laki-lakinya, Mohammad Nazir Isa, pernah menduduki posisi Menteri/Panglima Angkatan Laut pada 1946-1948 dengan pangkat terakhir laksamana muda. Nazir juga pernah ditunjuk sebagai Menteri Pelayaran dalam Kabinet Juanda pada 1957-1959. Sementara adik lelakinya, Basir Isa Baharudin, pernah menjadi kepala kantor urusan ekspor Indonesia pada 1970-an.

Spoiler for Achmad Nawir (berkacamata) saat menghadapi tim Belanda pada 26 Juni 1938:

Foto: dok. Nationaal Archief

Sempat bersekolah di Batavia, Nawir pindah ke Surabaya dan menjadi mahasiswa di Sekolah Kedokteran Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) pada 1929. Koran berbahasa Belanda yang terbit di Surabaya, De Indische Courant, edisi 28 Mei 1930 menyebut Nawir naik dari tingkat satu ke tingkat dua di sekolah pendidikan dokter pribumi yang sekarang menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga itu.

Semasa masih jadi mahasiswa, ia tercatat masuk dalam skuat klub Houd Braef Stand (HBS) Surabaya pada 1931. Waktu itu HBS melawan klub dari Australia dalam rangka turnamen peringatan ulang tahun klub Tot Heil Onzer Ribben (THOR) Surabaya. Dalam pertandingan yang berakhir imbang tersebut hanya tercatat dua pemain bumiputera, yakni Achmad Nawir dan Saleh. Saat itu Nawir sudah diplot menjadi pemain gelandang.  

Debut internasional Nawir terjadi pada Februari 1935. Dia menjadi salah satu pemain yang terpilih mewakili Hindia Belanda dalam Philippines Football Championship di Manila. Posisinya tak berubah, tetap sebagai pemain tengah. Tim Hindia Belanda ini menempati posisi kedua dari tujuh tim yang diundang mengikuti turnamen tersebut. Nawir mencetak satu gol pada kejuaraan tersebut.

Nawir terbilang pemain yang setia pada klubnya. Ia akhirnya terpilih secara aklamasi menjadi kapten tim HBS pada April 1938 didampingi Rohrig sebagai wakil kapten. Pada tahun itu juga Nawir lolos seleksi masuk tim nasional Hindia Belanda untuk Piala Dunia di Prancis. Rupanya, saat berangkat ke Prancis, pria yang terkenal dengan kacamatanya itu belum menyandang predikat dokter. Ia masih seorang mahasiswa. 

"Ayah adalah pahlawan kami sekaligus pahlawan sepakbola pada masanya."

Farida Nawir, putri Achmad Nawir, kapten tim Hindia Belanda di Piala Dunia 1938

Spoiler for Tim Hindia Belanda di Amsterdam pada 26 Juni 1938:

Foto: dok. Nationaal Archief

Kalah kelas, juga kalah pengalaman, tim Hindia Belanda disikat Hungaria di babak pertama, 6-0. Tapi Nawir, Tan Mo Heng, Soedarmadji, Soetan Anwar, Isaak Pattiwael, dan teman-temannya memberikan perlawanan mati-matian kepada Hungaria. Pengalaman sekali seumur hidup, bertanding di putaran final Piala Dunia. "Ini benar-benar satu keajaiban. Kami mendapatkan banyak sekali pengalaman, banyak sekali yang dilihat, susah untuk diceritakan satu demi satu," kata Nawir, dikutip koran Belanda, Twentsch Dagblad, sesaat sebelum pulang ke Indonesia pada akhir Juni 1938.

'Eervolle 6-0 Nederlaag van Indie', Kekalahan Terhormat untuk Hindia Belanda, harian asal Medan berbahasa Belanda, De Sumatra Post, edisi Selasa, 7 Juni 1938, memberikan judul untuk tulisan panjangnya mengenai pertandingan tim Hindia Belanda melawan The Magyars. Hungaria melaju hingga babak final Piala Dunia 1938 sebelum ditekuk Italia.

Setahun setelah pulang dari Piala Dunia, pada bulan September 1939, Nawir berhasil lulus untuk ujian pertama untuk memperoleh gelar dokter Hindia di NIAS seperti yang dikabarkan De Indische Courant, edisi 4 September 1939. De Indische Courant baru menambahkan gelar dokter di depan namanya dalam susunan pemain klub HBS melawan klub Gie Hoo pada pertengahan Oktober 1939.

Dokter Achmad Nawir masih memperkuat klub HBS sampai akhirnya kompetisi berhenti karena invasi Jepang pada 1942. Saat masa pendudukan Jepang itu, Achmad Nawir turun tangan mempraktikkan keahliannya sebagai seorang dokter. Ia mendatangi tempat-tempat penampungan tahanan perang untuk mengobati para interniran yang menderita sakit.

Putra Achmad Nawir, Ferril Nawir, menceritakan kisah tersebut kepada sutradara Tino Saroengallo saat mereka bertemu di Los Angeles Indonesian Film Festival beberapa tahun lalu. "Jadi dia itu ke kamp membawa obat-obatan untuk para tahanan perang. Baik untuk orang Indonesia maupun Belanda," tulis Tino di akun media sosialnya. Tak seperti ayahnya yang seorang dokter, Ferril memilih jalan hidup sebagai seniman. 

Spoiler for Medali dari Piala Dunia 1938 di Prancis milik keluarga Isaak Pattiwael:




Jasa Achmad Nawir saat pendudukan Jepang itu dikenang baik. Ketika pendudukan berakhir, koran di Surabaya memujinya sebagai sosok yang berjasa besar untuk kemanusiaan. Kesempatan perginya Jepang itu juga dipergunakan Achmad Nawir membuka klinik rawat jalan dan inap untuk perempuan yang akan melahirkan di Jalan Darmo, Surabaya, pada awal 1946.

Menyandang status sebagai seorang dokter, Achmad Nawir rupanya tak bisa meninggalkan lapangan hijau. Di tengah-tengah kesibukan mengobati pasiennya, ia tetap turun ke lapangan bersama klub lamanya. Ia juga terlibat aktif dalam dewan pengurus Soerabajase Voetbal Bond (SVB). Pria asal Maninjau itu bahkan terpilih menjadi Ketua Umum SVB, yang disebut-sebut sebagai cikal bakal Persebaya Surabaya, dalam rapat umum luar biasa yang digelar pada Juli 1948.

Nawir, yang kemudian menjadi suami Hermine Blose, seorang perempuan berdarah campuran Jerman, Belanda, dan Maluku, masih mengurusi sepakbola saat tim nasional Indonesia berhadapan dengan salah satu tim kuat dari China, Nan Hua, pada 30 Juli 1952. Beberapa pemain dalam laga tersebut, seperti Tee San Liong dan Sidi, kemudian masuk dalam tim nasional Indonesia berlaga di Asian Games 1954 di Manila.

Tahun 1957 Nawir juga masih ikut cawe-cawe di pentas sepakbola nasional. Bersama pelatih asal Yugoslavia Antun 'Tony' Pogacnik, adiknya Basir Isa, dan Muchtar Isa, ia menjadi anggota komisi seleksi pemain terbaik pada turnamen yang digelar Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia di Padang. 

Pemilik klub HBS Surabaya saat ini, Ferril Raymond Hattu, menuturkan kecintaan Nawir pada sepakbola tak perlu diragukan. Zaman itu hampir seluruh masyarakat Surabaya mengenal Achmad Nawir. "Ayah saya, JA Hattu, yang juga pemain Surabaya memberikan nama Ferril kepada saya, sama persis dengan nama anak dokter Achmad Nawir," ujar Raymond, mantan kapten tim nasional Indonesia, kepada detikX. 

Tak hanya tenar sebagai pemain sepakbola, Achmad Nawir juga merupakan sebagai dokter ahli kandungan ternama di Kota Surabaya. Nawir masuk berita dalam koran De Vrije Pers: Ochtendbulletin edisi 27 Desember 1949 saat meninggalkan Surabaya menuju Jakarta, lalu selanjutnya ke Belanda, untuk melanjutkan studi obstreti dan ginekologi di Utrecht.


Spoiler for Pangeran Bernhard hadir saat tim Hindia Belanda melawan tim Belanda di Amsterdam pada 27 Juni 1938.:

Foto: dok. Nationaal Archief


Tercatat sejumlah iklan pemberitahuan kelahiran di klinik milik dokter Achmad tersebut. Salah satunya iklan yang dipasang keluarga Wisnoe Djajengminardo di koran De Nieuwsgieredisi 16 Januari 1956 untuk memberitahukan kelahiran putranya bernama  Irmawan Emir Wisnandar. Irmawan sekarang menjabat Duta Besar Republik Indonesia untuk Laos.

Rekan setim Achmad Nawir di Piala Dunia 1938, Isaak Pattiwael, hidupnya juga tak bisa jauh dari sepakbola. Isaak berdarah Maluku, tapi lahir di Meulaboh, Aceh, pada 1915. Ayah Isaak seorang prajurit tentara kerajaan Hindia Belanda (KNIL) yang ditugaskan bertempur di Aceh. Isaak mengikuti ayahnya yang dimutasi ke Batavia pada 1930.

Isaak remaja langsung masuk klub sepakbola yang berisi pemuda-pemuda asal Maluku bernama Sport Vereniging Jong Ambon. Sampai akhirnya ikut seleksi ke Piala Dunia 1938. "Sebelum berangkat ke Piala Dunia, beliau dianggap 'pengkhianat' karena memperkuat tim Hindia Belanda, maju dengan bendera merah-putih-biru," ujar cucu Isaak, John Izaac Minotty Pattiwael, kepada detikX. 

John menganggap sah-sah saja kakeknya dan anggota tim Hindia Belanda dari kalangan bumiputera ikut seleksi tersebut. Karena saat itu Indonesia bahkan belum mencapai kemerdekaan. "Kesempatan untuk bumiputera masuk tim NIVU juga bukan hal yang gampang," kata John, yang saat ini berprofesi sebagai advokat. 

Semasa perang kemerdekaan, Isaak menyingkir ke wilayah Garut, Jawa Barat. Ia bekerja di sebuah perkebunan tanpa melupakan latihan sepakbola. Begitu kembali ke Jakarta, Isaak mendapati klubnya terpecah menjadi Bintang Timur dan Persekutuan Olahraga Maluku. Ia memilih bergabung dengan PO Maluku sebagai pemain sekaligus pelatih pada 1952. Isaak masih dipercaya membela Persija saat umurnya tak muda lagi.

Spoiler for Hindia Belanda melawan Hungaria di Stadion Reims saat Piala Dunia 1938:

Foto: dok. Nationaal Archief

Isaak akhirnya baru benar-benar gantung sepatu pada 1957. Sekitar awal 1970-an, Isaak menerima tawaran melatih klub milik Asuransi Jiwasraya yang berlaga di Galakarya. "Opa saya juga bekerja di Jiwasraya," ujar John. Sampai akhirnya Isaak wafat karena menderita kanker pankreas. "Waktu mau dioperasi di RSPAD Gatot Soebroto, dia bilang, 'Saya mau kembali lengkap kepada Tuhan saya.' Intinya, dia tidak mau dioperasi."

Kenangan bermain di Reims, Prancis, itu terus dijaga Isaak. Medali keikutsertaan di Piala Dunia 1938  masih ada sampai saat ini dan dipegang anak keduanya, Yohannes Pattiwael, yang juga ayah John. "Dulu ke mana-mana Opa selalu bawa medalinya. Pokoknya tidak mau hilang," John menuturkan.

Demikian yang saya kutip dari detikX



Sekian dan terima gaji

:ngacir::ngacir::ngacir::ngacir::ngacir::ngacir::ngacir::ngacir::ngacir::ngacir::ngacir::ngacir::ngacir::ngacir::ngacir::ngacir::ngacir::ngacir::ngacir::ngacir::ngacir::ngacir::ngacir::ngacir::ngacir::ngacir::ngacir::ngacir::ngacir::ngacir::ngacir::ngacir:




:cendolgan:cendolgan:cendolgan:cendolgan:cendolgan:cendolgan:cendolgan:cendolgan
Sumber

Penulis: Pasti Liberti
Editor: Sapto Pradityo
Desainer: Luthfy Syahban
Ilustrasi: Edi wahyono

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel