Ikatan Keluarga Sedarah Diuji Saat Sudah Menikah


Lebaran edisi tahun 1439 resmi usai. Jika puasa sebulan, maka bagi saya, lebaran pun harus sebulan. Ini prinsip keadilan yang berimbang, meski kaleng Khong Guan harus berganti isi menjadi rengginang.

Pada lebaran tahun ini, ada beberapa kisah menarik yang saya bisa petik hikmahnya. Tapi saya tidak mengulas cerita dari orang-orang dewasa. Terlebih dari para orangtua, yang saya hapal sikap ceriwisnya. Lagian, pertanyaan yang dilontarkan dari orang-orang tua itu mudah ditebak. Jika datang tanpa pasangan, maka pertanyaannya "pasangannya mana"? Bila sudah mengakhiri masa kritis jomblo akut, pertanyaannya gak kalah serem, "kapan nikah"? Sudah menikah pun, sikap dan pertanyaan belum berhenti dan dilanjutkan "momongannya udah berapa"? Demikian siklus pertanyaan itu berlangsung dan tidak akan pernah berhenti sampai yang ditanya suatu saat nanti berganti posisi menjadi penanya. Benar-benar menjengkelkan.

Berdasarkan kebiasaan sebagian besar masyarakat Indonesia, hari raya atau biasa disebut lebaran, merupakan waktu berkumpul bagi sesama kerabat. Saking keramatnya momentum ini, jarak yang jauh rela ditempuh demi bisa merayakan lebaran bersama-sama. Bagi yang telah berkeluarga dan sukses beranak -pinak, kurang afdol rasanya jika tidak membawa rombongan keluarganya. Termasuk anak keturunannya. Dan tingkah laku anak-anak inilah yang membuat saya tertarik. Apa hal? Mari kita bahas!

Melihat tawa riang anak-anak bercengkrama dengan saudara-saudaranya, terutama yang keluaran satu pabrikan, yaitu satu ayah dan satu ibu, hampir setiap orang pernah mengalaminya. Kecuali bagi mereka yang ditakdirkan menjadi anak semata wayang.

Selain tertawa, tak jarang mereka saling tendang dan pertarungan cakar-mencakar kerap terjadi. Persoalannya mungkin bisa dipicu oleh perkara yang sepele, seperti rebutan mainan, berharap diberi perhatian lebih, atau salah satu memang usil dan suka nyinyir seperti para pejabat akhir-akhir ini. Bukankah dunia anak-anak demikian indah? Sebentar mereka bertengkar, namun dalam tempo sesingkat-singkatnya pertengkaran dengan begitu mudahnya padam.

***
Seiring dengan bergulirnya waktu, masing-masing anak akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan kodratinya. Yang mendapat asupan gizi seimbang, bisa jadi tumbuh menjadi anak sehat. Adapula yang melas dengan tubuh kurus dan sedikit korengan karena tak diurus. Hingga tiba masanya, anak-anak beranjak menjadi remaja, dewasa, lalu mengarungi kehidupannya sesuai dengan jalan yang dipilih. Karena memang demikian pada umumnya.

Pada saat tersebut, ikatan saudara diuji dan dipengaruhi oleh berbagai faktor bahkan tak jarang didera masalah. Pemicunya bisa disebabkan oleh beberapa hal dibawah ini:

1. Salah Paham

Faktor mengenai frasa "salah paham" bersifat secara universal. Hampir semua sendi kehidupan mampu bergejolak akibat kata ini. Mungkin salah satu dari beberapa pihak terkait, berniat membuat sebuah langkah atau keputusan yang baik. Namun akibat kurangnya komunikasi, melahirkan sebuah kesalahpahaman, baik dari segi diksi kalimat penyampaian, maupun gestur tubuh.

2. Harta dan Warisan

Saya masih teringat dengan jelas ketika tetangga rumah saya, harus berurusan dengan aparat kepolisian karena membacok saudaranya sendiri akibat rusuh dengan skema pembagian warisan yang menurut perspektifnya tidak adil. Tentu, cek-cok perkara harta dan warisan bukan rahasia umum yang kerap terjadi dikalangan keluarga sendiri.

3. Pengaruh Pasangan

Filosofis suku Jawa dalam memberikan kriteria terhadap calon pasangan hidup anaknya yang meliputi bibit, bobot dan bebet bisa menjadi alat kalibrasi berdasarkan pelbagai kriteria yang diharapkan menjadi pedoman terhadap anaknya untuk mencari pasangannya. Meski ketiga unsur tersebut tidak mutlak adanya, setidaknya demikianlah gambaran ideal para orangtua. Setidaknya ada satu diantara unsur-unsur dari yang tiga ditemukan dari calon pasangan hidup.

Sederhananya, jikapun tak rupawan, minimal baik hatinya, lembut pula sifatnya. Jika rupawan pun tidak, lembut apalagi, minimal kaya hartanya. Lepas perkara sandang dan pangan. Jika kaya tidak, setidaknya rupawan, meski harus siap sakit hati jadi incaran tetangga. Dan paling apes, tidak ada satu unsur positif pun yang didapat. Itu artinya kehidupan yang dijalani akan mendobrak pakem yang mendahului ketentuan Tuhan. Sebab mati saja belum, tapi sudah merasakan siksa neraka di dunia. Seperti sopir Habiburokhman yang konon merasakan mudik di neraka.

***
Sebagai sesama saudara yang meneguk susu yang sama dari ibunya, susu alami yang kadar nutrisinya paling baik dari susu formula semahal apapun harganya serta multifungsi, karena sang bapak yang kadang biadab, ikutan menyesap kala anak-anaknya sudah tidur, maka sudah seharusnya tetap meneruskan ikatan persaudaraan dan mengingat kembali masa-masa kecil dahulu.

Oleh sebab itu, carilah pasangan yang memang sebaik-baiknya agar makna dari pernikahan yang diantaranya adalah mengikuti perintah Tuhan, tidak malah menjadi beban. Maksud sebaik-baiknya bukan pula harus pilih-pilih calon dengan standar tinggi. Sesuaikanlah dengan diri kita sendiri.

Pasangan hidup tidak hanya partner bergumul diatas ranjang dan menjadi pelepas birahi serta ajang barter air liur. Namun lebih dari sekedar itu. Ia adalah sekutu paling setia dan tidak akan menghianati koalisi jika semua berjalan diatas rel yg sama. Meski berada pada posisi yang berbeda, roda kereta akan menuju tempat yang sama, yang telah disepakati bersama-sama.

Jika nanti ketiga faktor yang saya sebutkan terjadi, sikapilah dengan bijak. Karena ketiga faktor tersebut, benar bisa membuat hubungan persaudaraan sedarah diuji. Jangan sampai ada ungkapan sesat lagi menyesatkan yang mengatakan "saudara jadi musuh sedangkan orang lain justru menjadi saudara", menemukan celah dan hadir untuk merusak hubungan antar saudara.


©Skydavee

Sumber gambar: google


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel