Ini Salah Satu Cara Selamatkan KRL Jabodetabek!


Kereta Rel Listrik (KRL) saat ini telah menjadi tulang punggung transportasi umum masyarakat se-Jabodetabek. Per hari sudah sekitar 1,1 juta orang hidupnya bergantung pada operasi KRL Jabodetabek. Sayangnya, KRL yang dioperasikan oleh PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) d/h KCJ ini pada 2018 akan mengalami penurunan keuntungan karena munculnya kebijakan pemerintah yang "ngawur". Kebijakan yang dimaksud adalah Peraturan Dirjen (Perdirjen) Perkeretaapian No. 207 Tahun 2018 Tentang Tat Cara Pengajuan Tagihan dan Verifikasi Penyelenggaraan Kewajiban Pelayanan Publik Angkutan KA Pelayanan Kelas Ekonomi.


Seperti kita pahami bersama bahwa operasional dan perawatan KRL Jabodetabek selama ini didukung dengan kebijakan Public Service Obligation (PSO) atau subsidi dari pemerintah melalui perusahaan induk PT KCI, yaitu PT Kereta Api Indonesia (KAI). Pada 2017 PSO yang diberikan kepada PT KAI untuk KCI adalah Rp 1.261.611.637.141. Naik dibandingkan pada 2016 yang sebesar Rp 1.048.959.234.600 (data PT KAI 2018) sejalan dengan meningkatnya jumlah penumpang. Subsidi ini membuat harga yang harus dibayarkan oleh penumpang ringan (Rp 3.000/pax untuk 25 Km pertama, Rp 1.000/pax untuk 10 Km berikutnya, dan Rp 13.000/pax untuk tarif terjauh), dibandingkan jika tanpa subsidi (Rp 6.250/pax untuk 25 Km pertama, Rp 2.500/pax untuk 10 Km berikutnya, dan Rp 31.250/pax untuk tarif terjauh).

Kebijakan pemberian PSO kepada PT KAI untuk beberapa angkutan kereta api kelas ekonomi, termasuk KRL Jabodetabek diatur oleh beberapa aturan, antara lain UU No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, PP No. 72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan KA, PM Perhubungan No. 17 tahun 2018, hingga Perdirjen No. 207 Tahun 2018. Sayang, terbitnya Perdirjen No. 207/2018 ini berpotensi membunuh PT KCI.

Akibat munculnya Perdirjen No. 207/2018 yang "ngawur" dan berlaku surut serta adanya rekomendasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), PT KCI harus mengembalikan keuntungan yang sudah diaudit tahun anggaran 2017 kepada negara sebesar Rp 406.624.518.446,83. Hal ini menyebabkan laba bersih PT KCI pada 2017 turun drastis dari Rp 495.309797.159 menjadi hanya Rp. 90.020.412.349 saja. Kondisi ini tentu akan memperburuk keuangan PT KCI pada tahun berjalan (2018).

Jadi, bisa dipastikan pada 2018 ini PT KCI akan merugi, dan pada akhirnya akan berdampak buruk pada kualitas pelayanan. Pertanyaan saya, pahamkah negara ini akan kebutuhan masyarakatnya? Mengapa Kementerian Perhubungan tidak menolak, atau minimal mempertanyakan rekomendasi BPK?
Mempertanyakan Kebijakan

PT KCI adalah anak perusahaan PT KAI (BUMN), dan Pasal 1 angka 1 UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN menyatakan bahwa BUMN adalah perusahaan yang modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung. Sedangkan, anak perusahaan BUMN diatur oleh Peraturan Menteri Negara BUMN No. 3 Tahun 2012 tentang Pedoman Pengangkatan Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris Anak Perusahaan Badan Usaha Milik Negara.

Di dalam Pasal 1 angka 2 Permeneg BUMN 3/2012, dinyatakan bahwa anak perusahaan BUMN (termasuk BUMN Persero) bukan BUMN karena sahamnya tidak dimiliki oleh negara, tapi oleh BUMN. Jadi, PT KCI bukan BUMN, dan yang mengaudit seharusnya bukan BPK melainkan akuntan publik saja.

Di tengah menurunnya daya beli masyarakat, mengapa pemerintah justru mengeluarkan kebijakan (Perdirjen No. 207/2018) yang membuat PT KCI kehilangan keuntungan pada 2017 sebesar Rp 406.624.518.446,83? Pengurangan keuntungan ini akan menurunkan kinerja manajemen PT KCI, dan akan berakibat pada penurunan pelayanan, serta tertundanya beberapa ekspansi yang pada akhirnya juga berdampak pada kualitas pelayanan.

Pertanyaan saya, apa tujuan Dirjen Kereta Api mengeluarkan peraturan yang akan membunuh sebuah pelayanan transportasi publik yang sangat dibutuhkan masyarakat dan di bawah kendali Kemenhub? Mengapa dengan alasan teknis tidak menolak rekomendasi BPK?

Jika mengikuti saran BPK, maka meningkatnya jumlah penumpang tidak sejalan dengan meningkatnya penerimaan, keuntungan, dan kinerja PT KCI. Pada akhirnya supaya operasional PT KCI tidak semakin memburuk jika penumpang terus bertambah, PT KCI akan mengurangi perjalanan KRL Jabodetabek supaya penerimaannya impas, dan tidak harus mengembalikan sebagian penerimaannya kepada pemerintah. Tidak ada lagi motivasi bagi karyawan PT KCI untuk terus memacu kinerja karena pendapatannya tidak akan bertambah (bonus tidak ada). Semakin rajin bekerja pendapatan tetap saja, jadi ya kerja biasa saja tidak perlu mengejar target. Akibatnya, pelayanan pada konsumen akan turun drastis.

Saya tidak habis pikir, bagaimana BPK yang tidak paham dengan operasi dan perawatan Kereta Api khususnya KRL bisa memberikan rekomendasi kepada Dirjen KA untuk mengeluarkan peraturan yang akan membunuh operasi KRL Jabodetabek. Mengapa Dirjen KA bersedia begitu saja mengeluarkan peraturan yang menyesatkan ini dengan hanya berdasarkan tata cara audit tanpa melihat kepentingan teknis yang menjadi tulang punggung operasi KRL Jabodetabek? Saya tidak melihat ada perlawanan dari Dirjen KA terkait hal ini. Selemah itukah Kementerian Perhubungan?

Laporan pertanggungjawaban merupakan laporan perhitungan kembali tarif yang ditetapkan oleh Badan Usaha Penyelenggara Sarana berdasarkan realisasi frekuensi, volume penumpang, dan biaya. Sehingga, kenaikan volume penumpang akan berdampak positif pada kinerja keuangan perusahaan. Namun, semakin besar kenaikan jumlah penumpang, maka semakin besar subsidi yang harus dikeluarkan oleh pemerintah. Hal ini rupanya yang mendasari BPK untuk memaksa Dirjen KA mengeluarkan Perdirjen tersebut.

Tiga Usulan

Dari perhitungan yang dilakukan, untuk menghindari kebangkrutan karena sistem audit yang kurang pas dari BPK, sebaiknya PT KCI tidak usah lagi tergantung 100% pada dana PSO untuk menunjang operasinya. Kalaupun ada, tentukan seminimal mungkin. Operasi dan perawatan dibiayai langsung saja oleh tarif komersial yang dikenakan pada penumpang. Pada 2018, PT KCI mendapatkan PSO sebesar Rp 1.297.529.357.011. Konsekuensi menggunakan PSO adalah selalu harus diaudit oleh BPK.

Selain itu PSO akan dibayarkan ketika BPK sudah memberikan lampu hijau. Artinya, dalam operasional dana PSO diberikan selalu terlambat. Akibatnya, operasional dan investasi PT KCI sering terganggu. Lalu, apa untungnya PSO bagi PT KCI? Hampir tidak ada, karena PSO-nya memberikan subsidi langsung kepada penumpang.

Ada tiga usulan supaya KRL Jabodetabek beroperasi dengan dana PSO yang minimalis. Pertama, untuk operasi di jam puncak/sibuk berlakukan tarif khusus tanpa PSO, di luar jam sibuk tetap pakai tarif PSO. Kedua, pada saat akhir pekan (Sabtu-Minggu), penumpang membayar tarif non-PSO; atau, ketiga, PT KCI mengadakan dua kelas pelayanan (eksekutif dan ekonomi). Namun, alternatif ketiga ini tidak lazim dikenakan pada pelayanan KRL dengan menggunakan dua kelas berbeda.

Silahkan mana yang lebih efisien bagi PT KCI, dan diizinkan oleh Kemenhub untuk dijalankan. Saat ini PT KCI tengah melakukan perhitungan ulang tiga alternatif di atas. Kalau sudah selesai segera bahas dengan PT KAI, dan segera umumkan ke publik. Intinya, selamatkan KRL Jabodetabek dan terus tingkatkan pelayanan angkutan komuter Jabodetabek. Hingga saat ini KRL Jabodetabek, dengan segala kekurangannya, masih merupakan angkutan umum terbaik dan diminati publik.

Agus Pambagio pemerhati kebijakan publik dan perlindungan konsumen >>SUMBER<<

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel