Ketika Hujan Bercerita

Halo gan! Kenalin, nama ane Olif. 

Tulisan ini pernah dimuat di blog pribadi milik ane dengan judul, "PESAN UNTUK TARI"

http://www.warkoppp.com/2018/06/pesa...ntuk-tari.html

Sengaja di share ulang di kaskus, karena menurut ane, hingga saat ini kaskus masih menjadi platform terbaik untuk mencari pembaca yang loyal, aktif, dan kritis. Ane sih berharap dari kaskus ane bisa nemuin banyak kritik yang membangun, supaya ane bisa lebih meningkatkan kualitas tulisan ane, soalnya ane belum bisa setegar Young lex, yang kalau dikritik negativ, masih bisa bertahan :P

Selamat membaca :wowcantik:wowcantik:wowcantik




Ini kisah tentang seseorang yang semenjak kecil selalu melakukan hal yang sama ketika aku datang. Berlari ke tengah padang rumput, setelah itu memejamkan mata dengan kedua tangan diluruskan ke belakang. Tak lupa ia tersenyum manis. Ia menengadahkan kepalanya, membiarkan wajah dan tubuhnya basah akibat aku yang terlalu bersemangat melumat habis dirinya.

Dia adalah seorang perempuan yang membuatku selalu bersyukur karena aku merasa dihargai ketika mendapat tugas di wilayah tempat ia tinggal. Aku menyebut dia Tari. Meskipun aku tidak tahu siapa namanya. Aku memanggil dia dengan sebutan itu karena ia selalu menari dan berputar-putar menunjukan kebahagiaan ketika aku datang.


Saat aku masih sibuk terbuai akan energi positif yang ia pancarkan dari aura tubuhnya, tiba-tiba atasanku memanggil dan memintaku segera berpindah tugas. Terpaksa aku patuh karena tak kuasa untuk melawan. Padahal aku sering menjelaskan pada atasan bahwasanya aku rela menghabiskan seluruh waktu dan segenap kemampuanku untuk membahagiakan dirinya yang saat ini masih asyik bermain di tengah padang rumput itu.

Aku menuliskan ini bukan karena aku tak nyaman dengan tugas yang aku emban semenjak aku ada di dunia. Tapi baru kali ini aku bisa menilai ada orang yang tulus mensyukuri kedatanganku yang selalu tiba-tiba. Selama ini aku sering mendengar umpatan bahkan cacian karena mereka tidak suka bila aku datang secara mendadak, karena mereka menganggap aku adalah sebuah petaka. Meskipun ada juga sekelompok manusia yang melakukan ritual khusus agar aku segera datang. Bahkan ada yang berharap aku datang, tapi aku tidak diberi kesempatan oleh atasan untuk bertandang.

Aku seringkali komplain pada atasan perihal kreativitas orang-orang yang menyelipkan jati diriku untuk disematkan dalam karyanya. Seolah-olah aku adalah perwakilan perasaan manusia yang sedang dilanda kegalauan. Padahal aku tidak selemah itu. Aku adalah titipan yang diutus untuk bertanggungjawab memberikan kemakmuran pada seluruh makhluk hidup yang menghabiskan sisa waktunya di dunia sebelum menghadapi sesuatu yang kekal abadi di kehidupan selanjutnya. 

Meskipun pada kenyataanya tidak semua bisa menerima kehadiranku. Namun sayangnya atasanku tak pernah menggubris protesku. Seolah-olah itu adalah sebagian kecil resiko yang harus aku emban ketika aku ditakdirkan seperti ini.

~**~

Setelah aku menuntaskan permintaan atasan untuk menyelesaikan tugas di beberapa wilayah lain, akhirnya ia memberikan kesempatan padaku untuk kembali bertemu gadis itu. Aku pun memberanikan diri untuk menolak bila waktu yang disediakan terlalu singkat. Seusai proses negosiasi yang terbilang alot, ternyata atasanku cukup baik. Aku diberi waktu yang cukup panjang untuk bertugas disana. Oh, ya, aku juga memaksa atasanku untuk tidak mengganggu. Ia hanya tersenyum dan mengangguk.  


"Aku tau perasaanmu. Aku pun tak bisa menyalahkan bila ternyata kamu memiliki rasa padanya. Khusus hari ini, aku akan memberikan kesempatan lebih. Tapi jangan terkejut bila apa yang biasa kamu terima disaat bertugas disana, tidak sesuai dengan harapanmu." Atasanku berpesan disaat aku bersiap-siap.

Secepat kedipan jari aku sudah berada di wilayah tempat gadis itu tinggal. Aku mulai menabuh genderang untuk memperingati bahwa aku akan datang. Aku juga tak sabar untuk kembali melihat Tari yang akan keluar dari rumah untuk menyambut kedatanganku. Tapi hari ini aku tak melihat batang hidungnya. Dan, tempat biasa aku bertemu dengannya kali ini sudah dipenuhi oleh belasan orang menggunakan topi, yang sedang sibuk menggali.

Aku pun meninggalkan lokasi itu dan berjalan menyusuri perkampungan lalu berhenti di depan rumahnya. Aku memandang ke lantai atas karena aku tahu disanalah kamar tempat biasa ia beristirahat. Ternyata dia ada di sana! Aku terkejut melihat wajahnya yang murung, pelupuk matanya basah tapi bukan karena ulahku. Bibirnya pucat dengan piyama yang kumal. Rambutnya pun berantakan. Pipinya pun tirus seperti kurang gizi.

"Tari sayang, coba jelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi?"  Semenjak kamu mulai bisa menerima kedatanganku, tak pernah sekalipun kamu menunjukan raut wajah semurung ini? Apa karena aku sudah lama tidak datang kesini? Atau ada permasalahan yang cukup berat yang menyebabkan kamu tidak bisa memancarkan aura positif seperti biasanya?"

Seusai aku bergumam dalam hati, tiba-tiba pintu yang tertutup di lantai atas terbuka. Aku melihat sosok wanita lain yang mirip dengan Tari namun raut wajahnya terlihat lebih tua. Apakah itu orangtua nya? Wanita itu membawa satu nampan berisi piring dan segelas air putih. Aku melihat wanita itu sedikit berdialog pada Tari. Samar-samar aku dapat mendengar percakapan yang terjadi antara dua manusia tersebut. Kira-kira begini bunyinya.

"Nak, ayolah makan. Untuk apa berlarut-larut dalam kesedihan. Mama rasa awan pun turut menangis disaat melihat kamu bersedih."

Gadis yang aku sebut Tari itu menoleh dan menjawab, "Mah… sampai kapanpun awan akan tetap berada disana, kehidupanpun akan terus berjalan. Andai Mama tahu alasan kenapa hati aku mendadak pedih disaat mendengar kabar kalau Mama menjual tanah lapang itu untuk komplek perumahan, apa Mama akan mengurungkan niat Mama?"

"Itu hak Mama, nak. Toh kita sudah tidak ada pemasukan lagi. Mama masih butuh banyak biaya untuk menyelesaikan pendidikan kamu. Coba kamu jelaskan pada Mama kenapa kamu begitu terpukul? Kalau memang logis, Mama akan mempertimbangkan ulang tentang keputusan Mama."

"Wilayah ini sedang krisis lahan kosong, Mah. Sebanyak apapun pembangunan perumahan, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa merasakan. Aku takut kampung ini kehilangan identitasnya. Kemana lagi anak-anak bermain bola jika lapangan tersebut dijual? Kemana lagi tempat ternyaman aku menikmati indahnya karunia Tuhan dalam bentuk hujan? Ingat, kampung ini dekat dengan sungai. Jika tanah resapan satu-satunya wilayah ini sudah tidak ada, apa Mama siap bertanggungjawab akan datangnya musibah banjir?"

Andai aku diberi mulut untuk mengeja kata-kata, andai aku bisa menunjukan tulisan ini padanya, mungkin itu satu-satunya cara untuk menenangkan Tari. Tapi apalah daya, atasanku tidak menciptakan hal tersebut pada diriku.

Aku hanyalah rintik hujan yang datang dan menguap bersama awan. Seiring bertambah tua dunia, volume air ku juga selalu berkurang karena aku pun turut bertambah tua. Selama ini aku selalu mematuhi perintah untuk membasahi wilayah-wilayah yang dirasa perlu untuk aku genangi. Tapi aku tidak sejahat itu, Tari. Aku akan selalu datang dan membuatmu bahagia sampai catatan kisah tentang  dunia ini ditutup oleh atasan.


Aku menjelma menjadi hujan semenjak bumi ini masih kosong. Lubang besar yang selama ini kamu kenal sebagai laut, atau sungai, belum terisi. Jarak satu pohon dengan pohon yang lain masih rapat. Langitpun masih biru, dan jauh lebih biru dari laut yang selama ini kalian anggap itu adalah hal paling indah, namun sekarang sudah banyak yang mulai berwarna kecoklatan.

Oh ya dulu tugas pertamaku sangatlah berat. Yaitu aku harus mengisi lubang-lubang besar itu dengan air. Aku pun juga bertanggungjawab untuk menyuburkan pohon-pohon kerdil agar mereka dapat memenuhi nutrisi makhluk-makhluk yang masih tahu diri.


Untuk beberapa saat, aku sangat menikmati apa yang sudah seharusnya aku kerjakan. Namun seiring berjalannya zaman, aku mulai keberatan dengan kemunculan manusia yang beberapa diantaranya memiliki sifat seolah-olah ingin menandingi atasan. Akibat ulah mereka yang sewenang-wenang, terkadang aku terlampau emosi hingga menyebabkan marabahaya. Tapi bukankah bahaya itu datang akibat ulah mereka sendiri? Toh, sebelum mereka ada di dunia, aku berlaku sesukanya pun, tidak menimbulkan dampak yang signifikan untuk makhluk ciptaan atasan.

Sejujurnya tulisan ini aku buat semata-mata bukan hanya untuk Tari. Tapi untuk siapapun kalian yang sangat mencintai aku. Dari lubuk hati ini, aku ingin menghaturkan rasa terimakasih yang paling dalam untuk kalian yang tidak pernah mengumpat ketika aku datang. Karena keberadaan kalian, secara tidak langsung telah membantu menjaga keseimbangan ekosistem dunia. Karena kalian lah aku bersemangat menjalani tanggungjawabku.

Andai aku tahu kapan catatan tersebut ditutup aku pasti akan memberitahu pada kalian. Namun sayangnya, atasan tidak pernah memberitahu padaku. Sebelum  tulisan ini berakhir aku hanya ingin berpesan pada kalian.

"Jagalah kelestarian hutan, air, dan udara. Jangan hanya mencintai usus karena kebanyakan nonton iklan. Tapi, keberlangsungan hidup di dunia juga harus mulai kalian fikirkan. Ingat, kalian hidup di akhir zaman."



4:06PM

6/29/2018


Hujan.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel