Ketika Uang Berbicara
Thursday, July 26, 2018
Publik (kembali) terhenyak ketika KPK melakukan operasi tangan terhadap praktik suap di dalam Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin (baca:misqueen). Meski mendapatkan resistensi, operasi yang dilakukan oleh lembaga anti rasuah ini sukses membuat Kalapas Wahid Husen tak berkutik.
Temuan tim KPK, tidak hanya berhasil membongkar praktek busuk suap menyuap di lingkungan lembaga pemasyarakatan (lapas). Sebuah "budaya" absurd yang terlanjur dianggap normal di negeri ini. Namun, operasi ini sukses menimbulkan efek domino yang lebih luas dari sekedar praktik sogok-menyogok yang ditengarai telah berlangsung sejak lama.
***
Keberadaan lapas, atau yang dikenal oleh masyarakat awam sebagai penjara, secara sederhana adalah sebuah tempat dimana pesakitan menerima hukuman atas perbuatannya. Hukuman yang dimaksud, merupakan sebab dari adanya peraturan pidana yang dilanggarnya dan telah diatur sebelumnya dalam sebuah rumusan perundang-undangan yang berlaku (hukum positif).
Tujuan utama didirikannya Lembaga Pemasyarakatan adalah membentuk narapidana agar menjadi manusia seutuhnya yang menyadari kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat serta menjadi warga negara yang baik dan bertanggungjawab (Vincent Suriadinata/Kompasiana).
Berdasarkan hal tersebut, keberadaan lembaga ini, secara psikologis, adalah memberikan kesempatan kepada pelaku pelanggaran hukum, agar dapat kembali menjadi orang yang baik. Sebab, setiap orang memiliki kesempatan untuk merubah jalan hidupnya. Tidak ada yang hidup dalam garis yang konstan.
***
Temuan tim KPK dari lapas Sukamiskin, ditambah sorotan dari sebuah program televisi yang dipandu oleh host Najwa Shihab, membuat mata terbelalak dan mendapatkan realitas yang mencengangkan. Meski praktik suap menyuap di dalam lapas sudah menjadi rahasia umum, tetap saja fakta yang terjadi membuat publik kian apatis bahwa penegakan hukum dapat benar-benar dilakukan tanpa pandang bulu. Dan ini terjadi disaat situasi semakin tak nyaman.
Melihat disparitas fasilitas yang diterima narapidana kasus koruptor dan pidana umum, yang seakan surga dengan neraka, tak ayal membuat logika waras masyarakat awam seakan semburat dan sekonyong-konyong keluar dari pakemnya. Kesannya, lapas hanya sebuah formalitas dari penerapan hukuman yang diterima pelaku koruptor. Toh, mereka dengan dompet tebal yang dimiliki, akan dengan sangat mudah memindahkan barang-barang mewah. Bahkan barang yang tidak pernah saya miliki semenjak menjadi anak kos.
Hasil dari sidak, petugas mendapatkan berbagai alat dan benda yang seharusnya tabu bahkan haram dimiliki oleh napi. Mulai dari aneka gadget, pendingin ruangan, sepeda statis dan lain sebagainya. Belum lagi drama tak berkesudahan yang disuguhkan oleh lakon kita yang terkenal gegara menabrak tiang listrik. Terakhir, beliau dan dia "yang namanya tidak boleh disebut", ternyata menempati sel palsu. Sel tempat mereka diwawancarai oleh si cantik nan cerdas Najwa, bukan sel sehari-hari yang ditempati. Dan itu diamini oleh Menkum HAM.
***
Mewahnya fasilitas di dalam penjara bagi sebagian napi koruptor, adalah sebuah pengkhianatan terhadap upaya melahirkan pribadi yang diharapkan insyaf serta kembali ke jalan yang benar. Tujuan penerapan pidana sebagai upaya yang bersifat "ultimum remedium" tidak akan pernah mencapai sasaran jika integritas petugas tergadaikan. Percuma semangat heroik didengungkan dan genderang perang terhadap kejahatan korupsi ditabuh bila disisi lain, budaya suap masih melekat dibenak. Tentu, kita mafhum bahwa uang terbukti dan sanggup menggelapkan mata hati.
Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan jika kejadian korupsi seakan tak akan tercabut dari akarnya. Sebab, setelah di vonis sekalipun, praktek suap tidak sertamerta dihentikan. Tidak ada efek jera. Mungkin, melihat kenyataan bahwa dengan uang hasil korupsi yang berhasil digarong, hanya membuat mereka berpindah tempat tidur. Alih-alih dipenjara dengan jeruji besi, justru fasilitas mewah masih bisa mereka dapatkan. Dan mungkin saja, ini yang membuat mantan narapidana koruptor tak sungkan mendaftar lagi menjadi calon legislatif. Sebab mereka pernah merasakan gurihnya uang panas, dan pembinaan di lapas tak lantas membuat mereka tidur tanpa fasilitas seperti layaknya dirumah sendiri.
***
Pusaran korupsi yang terjadi di Indonesia menunjukkan gejala yang kian akut. Nyaris semua lini pernah dihempas oleh perbuatan terkutuk bernama korupsi. Tengoklah, siapa pernah menduga sebelumnya jika dana Haji tega dikorupsi. Demikian pula pengadaan kitab suci tak lepas dari bancakan oleh mereka yang rakus. Belum lagi dana pendidikan yang seharusnya mampu mencerdaskan anak-anak negeri, justru uangnya masuk kedalam kantong pribadi.
Berdasarkan dampak dari korupsi yang bisa mengakibatkan sendi perekonomian menjadi keropos, saya tidak sependapat dengan pernyataan Menkum HAM yang terkesan "memberi kemudahan" terhadap napi koruptor. Bila menurut ketentuan perundang-undangan ditegaskan dilarang membawa barang-barang tertentu, sebaiknya hal tersebut berlaku bagi semua narapidana. Tidak boleh ada diskriminatif dan dalih apapun yang justru membuat peraturan diseret ke ranah abu-abu. Hal ini akan memantik kecemburuan bagi narapidana yang lain. Abaikan napi yang merasa "akan mati" jika gadgetnya disita. Jika ingin bebas, harusnya sedari awal jangan pernah bermain-main dengan api.
Pernahkah pelaku koruptor memikirkan nasib banyak orang akibat perbuatannya? Apakah terlintas dibenaknya banyak cucuran air mata keluar karena kesenjangan terjadi sebab korupsi sanggup mencabut mimpi dari anak-anak di negeri ini?
©Skydavee
Sumber gambar: google