Penulisan Kata “Di” yang Bikin Saya Sakit Mata



Bulan Juni lalu, saya dipercaya menjadi juri Lomba Menulis Cerpen di kalangan mahasiswa Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Banjarmasin, dalam rangka Pekan Olahraga dan Seni (Porseni).

Ada 15 judul cerpen yang ditulis oleh peserta dari berbagai Fakultas dan Jurusan yang ada di lingkungan ULM tersebut.

Sesuai kriteria penilaian yang ditetapkan oleh Panitia, saya melakukan penilaian dan penjurian. Mulai dari memeriksa kesesuaian naskah dengan aturan penulisan yang ditetapkan, keselarasan antara tema, judul dan isi, dan terakhir adalah menilai keutuhan cerita, kesegaran ungkapan dan orisinalitas karya.

Secara umum, semua karya mereka sudah bagus, meski status mereka masih sebagai penulis pemula. Apalagi cerpen itu harus ditulis di tempat secara spontan, dalam waktu maksimal 6 jam. Saya sendiri rasanya belum tentu mampu melakukan hal seperti itu.

Hanya saja, ada hal yang menurut saya begitu sepele, namun sangat mengganggu mata saya ketika membaca setiap karya mereka, yaitu penulisan kata "di".

Tampaknya mereka semua tidak bisa membedakan antara "di" sebagai kata depan (kata tempat), dan "di" sebagai kata kerja pasif. Atau barangkali mereka tidak mengetahui aturan penulisan kata tersebut.

Secara teori, "di" sebagai kata depan/tempat, harus ditulis terpisah, misalnya "di Jakarta, di bawah". Tapi kalau "di" sebagai kalimat pasif, maka harus ditulis serangkai, misalnya "dibawa, dimakan, diserahkan". Kata "di" pada contoh tersebut bukan kata tempat, melainkan bentuk pasif dari kata "membawa, memakan, menyerahkan".

Cara membedakannya, jika "di" diikuti oleh kata benda/tempat, maka "di" itu adalah kata depan, sehingga harus ditulis terpisah. Tapi jika diikuti oleh kata kerja, maka itu adalah kalimat pasif yang harus ditulis serangkai.

Dari semua naskah, tidak ada satupun yang betul secara keseluruhan dalam penulis kata "di" tersebut. Bahkan banyak yang tertukar antara yang seharusnya terpisah, tapi ditulis serangkai, dan sebaliknya.

Dalam hati saya bertanya-tanya, "Ini mahasiswa, sudah belajar Bahasa Indonesia sejak Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi, tidak kurang dari 12 tahun, tapi kok untuk hal sepele seperti itu masih saja tidak mengetahui?"

Mungkin Gan Sis menganggap saya terlalu perfeksionis dan idealis, sehingga hal sekecil itu aja dipersoalkan. Bukan itu masalahnya, Bro Sis! Yang saya nilai itu adalah karya sastra. Sastra adalah bagian dari bahasa. Karena itu, bahasa dan tata cara penulisan juga menjadi bagian dari aspek penilaian.

Akhirnya, ada 6 karya finalis yang harus saya seleksi lagi sebagai pemenang 1, 2 dan 3. Karena saya sudah telanjur "sakit maka", maka juaranya saya tetapkan berdasarkan naskah yang paling sedikit keliru dalam menuliskan kata "di" tersebut.(*)

Quote:

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel