Mereka menyebut diri mereka sendiri sebagai 'sapeurs'. Sapeurs sendiri adalah akronim dari: La Société des Ambianceurs et des Personnes Élégantes yang memiliki arti kurang lebih "kumpulan orang-orang keren/elegan". Well, cukup menarik bukan? Yuk, kita mengenal mereka lebih dalam :)
Quote:
Quote:
Dibalik betapa mewah dan meriahnya selera fashion mereka, sebenarnya mereka hanya orang biasa-biasa saja. Petani, supir taxi, pedagang asongan sampai tukang bangunan adalah pekerjaan mayoritas dari para Sapeurs ini. Mereka menumbuhkan rasa cinta dan syukur atas diri mereka sendiri dengan berpakaian selayaknya dandies yang mencolok sebagai manuver budaya dan politik yang bisa dibilang cukup rumit. Walaupun berpakaian ala dandies ini memiliki sejarah kelam bagi Congo, seperti contoh perdagangan manusia / perbudakan oleh Belgia dan Perancis yg pada saat itu menjajah. Sebenarnya gerakan sosial Sapeurs ini popular diperkenalkan oleh musisi Papa Wemba asal Ibukota Congo, Kinshasha pada tahun 70-an. Wemba berhasil menjadi influencer sukses pada saat itu dengan mempromosikan budaya La Sape atau Sapeurs melalui cara berpakaian yg cerdas kepada seluruh pria Congo.
Bukan hanya dalam cara berpakaian saja yang seperti ala Gentlemen, para Sapeurs juga menerapkan etos, etika, integritas dan respek dalam segala sikap dan perilaku mereka. Wemba menggunakan hal ini sebagai motif politik untuk "melawan" penguasa pada saat itu. Rezim kolot yang memaksa seluruh penduduknya untuk kembali ke akar budaya Afrika. Presiden Mobutu Sese Seko adalah yang menerapkan "kutukan" terhadap masyarakat yg masih memiliki hubungan simbolis terhadap penjajah. "kutukan" ini diterapkan secara paksa pasca kemerdekaan Congo. Wemba melakukan perlawan kepada penguasa pada saat itu menerapkan peraturan ketat dalam tata cara berpakaian khususnya eropa, dengan memanfaatkan Budaya berpakaian mewah ala Sape di Perancis.
Quote:
Quote:
Well, meskpun fenomena gerakan fenomenal ini begitu menginspirasi, tapi Sapeurs memiliki sisi gelap yang tidak dipungkiri lagi sangat miris. Ya tentu semua tau, untuk saat ini negara Congo sedang menghadapi krisis dalam banyak hal. Mereka lebih memilih mengumpulkan uang untuk membeli topi trendy asal desainer Perancis atau Italia agar cocok dengan sepatu kulit ala desainer Inggris milik mereka daripada dananya dipakai untuk melanjutkan ke pendidikan lebih tinggi, membeli rumah, mobil, dll. Di Congo, fashion sudah menjadi kebutuhan pokok bagi Sapeurs. Yang lebih mirisnya lagi mereka dengan bangga mampu merawat pakaian fashion yg mereka punya dengan begitu baik seperti contoh dengan sering membersihkan dengan mencuci aksesoris milik mereka seperti ikat pinggang, sepatu, dll Di tengah negara yang sedang menghadapi krisis air. :(
Quote:
Quote:
Di negara yang sedang berlangsung, perang saudara masih membayangi, bom, perampasan dan latar belakang negara yg kumuh. Subkultur Congo yang mempesona ini menjadi sebuah dilema tersendiri. Di satu sisi, masyarakat lapis luar menyatakan keprihatinannya kepada gaya hidup Sapeurs. Di sisi lainnya La Sape adalah gerakan revolusioner yang menentang tirani para pemimpin politik pada saat itu. Melawan dengan elegan, dengan fashion, yang memberikan lingkungan yang lebih damai. Tapi makin ke sini pesona subkultur tersebut lebih condong ke keprihatinan daripada takjub!
Uniknya ada output survey dalam bentuk indikator, bahwa. Lapisan masyarakat yang menganut gaya hidup Sapeurs adalah mereka yang paling bahagia di negara Congo. Mereka sadar akan kontrasnya gaya hidup mereka. Tapi mereka pun sadar, gaya hidup Sapeurs adalah upaya untuk melarikan diri dari masalah sehari-hari yg mereka alami...
So! Jadi begitu Gan, ternyata ada fenomena yg unik di belahan Afrika sana :rolleyes
Apa tanggapan kalian akan fenomena ini?
So please, ungkapkan apa pendapat kalian dan kita akan diskusikan ini bersama dengan secangkir kopi di tangan :coffee:
Sumur bor: le Journal Internatioanale~