STOP Pernikahan Dini
Berkaca pada berbagai tanggapan dari thread ane yang
ini, ane menggaris bawahi beberapa pendapat agan sista.
Ada beberapa yang ngomen "apa kerugian bagi ane jika ada seorang anak di luar lingkungan ane sendiri menikah di usia dini?"
Jawaban nya gak ada, secara langsung gak ada, karena si anak yang menikah di usia dini juga berada di luar lingkungan ane sendiri. Tapi, hal ini juga gak bisa kita biarkan terjadi terus menerus. Bukan tentang apa kerugian yang ane rasakan, tapi apa kerugian yang mungkin dirasakan si anak setelah menikah di usia dini, dan itu banyak, banget. Dari aspek pendidikan, psikologi, kesehatan juga yang lain nya.
Kenikmatan apa sih yang kita rasakan saat masih berusia dibawah 18 tahun? Banyak! Namun intinya adalah tentang membangun jati diri dan memperkaya diri dengan pengalaman. Baik dalam hal cinta-cintaan atau kenakalan. Iya, nakal ketika di usia remaja adalah hal yang wajar selama gak melewati batas. Daripada nakalnya nanti pas udah dewasa dan punya keluarga sendiri kan?
Lalu bagaimana dengan anak yang menikah di usia dini? Ya kenikmatan itu besar kemungkinan hilang. Terutama untuk anak laki-laki, serius. Akan ada banyak yang hilang setelah mereka menikah karena kehidupan nya sudah berbeda lagi. Mereka mau gak mau harus memikirkan keluarga mereka sendiri, kan? Gimana sama anak yang udah tajir bahkan sejak orang tua mereka baru berencana membikin anak? Ya sama aja ada hal yang hilang, cuma mungkin gak sebanyak anak yang lahir dari keluarga cukup. Cukup buat makan hari ini.
Contohnya, saat menikmati masa-masa SMA bersama teman. Main bareng, nakal di sekolah bareng, cinta-cintaan yang bikin dunia milik berdua doang, mencoba berbagai hal.
Alasan utama ane hikin thread
Nikah Kok Sedini Mungkin adalah untuk memberitahu para orang tua dan anak-anak bahwa menikah di usia dini gak harus dilakulan. Bahwa menikahkan anak di usia dini bukan jalan keluar untuk menghindari fitnah dan tanggapan miring yang diterima keluarga mengenai si anak.
Anak dan Permainan di Era Digital
Lalu tentang anak-anak sekarang yang bermain dengan teknologi dan internet. Hal ini sudah ane bahas di thread
Akhirnya! Tik Tok diblokir Kominfo Di thread itu ane ingin mengajak para orang tua untuk lebih menerima dengan perubahan zaman yang menuntut si anak untuk mengerti teknologi sejak dini. Dan fenomena Tik Tok adalah salah satu dampak negatif, tapi itu juga bukan salah si anak. Itu murni karena lingkungan dan zaman yang sudah berubah.
Buat kita mungkin panas-panas sambil main layangan itu menyenangkan, tapi buat anak-anak sekarang menyenangkan itu saat main ke rumah temen yang ada wifinya. Setiap zaman punya "sesuatu yang spesial" nya masing-masing. Dan kita gak bisa memaksakan zaman kita untuk diterapkan di zaman sekarang, coba ada berapa banyak tempat buat anak-anal sekarang bermain permainan tradisional Indonesia yang dulu sering para orang tua lakukan?
So, Stop menghujani tingkah laku para anak dengan komentar-komentar yang menyakitkan. Mereka belum saatnya menerima hal-hal seperti itu. Baiknya kita memberikan contoh yang bisa membuat mereka menjadi lebih baik lagi.
Anak dan Bahasa
Kemudian tentang fenomena anak asli Indonesia yang lebih lancar berkomunikasi mengguanakan bahasa inggris daripada bahasa daerah dan bahasa indonesia.
"Utamakan Bahasa Indonesia, lestarikan Bahasa Daerah, kuasai Bahasa Asing Menguasai bahasa asing sejak dini tentu menjadi satu nilai plus bagi anak, karena di Indonesia guru bahasa inggris pun ada yang gak menguasai bahasa inggris. Tapi gak harus menggunakan bahasa asing untuk berkomunikasi sehari-hari juga, bahkan sampai gak bisa Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah.
Mereka hidup dan berkembang di Indonesia, dengan lingkungan yang menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa daerah untuk berkomunikasi. Lantas bagaimana caranya mereka yang gak bisa berkomunikasi menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah bermain dengan teman sebayanya?
Mungkin para orang tua bisa membuat "Friday English" atau "Senin Indonesia" atau "Rebo Nyunda" untuk melatih kemampuan berbahasa anak-anak.
Perlindungan Anak
Berkaca pada teori Hak Asasi Manusia, melakukan kekerasan pada anak itu haram, meskipun hanya sekedar cubitan atau sentilan di telinga. Namun, bila berkaca pada pengalaman hidup, hukuman seperti dipukul sapu lidi, rotan, dicubit dan lain sebagainya cukup ampuh.
Namun cara yang paling sesuai adalah dengan mengajarkan anak untuk terbiasa berdiskusi. Dari hal yang kecil sampai hal-hal yang menentukan masa depan mereka. Dengan begini ada proses saling menghargai dan menerima pendapat orang lain. Orang tua tentu saja bisa mengarahkan anak untuk menjadi seperti apa yang para orang tua inginkan, tapi jangan sampai memaksakan kehendak. "Si anak harus jadi dokter, harus jadi polisi" Karena setiap anak adalah hadiah dari yang Maha Kuasa, dan mereka punya waktunya masing-masing untuk membuka kemasan mereka sendiri. Sudah jadi tugas orang tua untuk mendukung dan mengembangkan potensi anak-anak.