Susahnya Cari Makanan Halal di Kamboja

Susahnya Cari Makanan Halal di Kamboja

Rabu, 27 Mei 2015 14:32

 

?

OLEH MISBAHUL JANNAH YUSUF,Mahasiswa Program Doktoral di Universiti Kebangsaan Malaysia dan Dosen FTK UIN Ar-Raniry Banda Aceh, melaporkan dari Phnom Penh, Kamboja

MATAHARI sangat terik ketika saya dan rombongan dari Universiti Kebangsaan Malaysia sampai di Bandara Phnom Penh. Kunjungan saya kali ini dalam rangka menjadi Fasilitator Science Technology Engineering and Mathematics (STEM) di Norton University Phnom Penh dan Sekolah Menengah Ma'had Haji Fickry Kg Cham Kamboja selama seminggu.

Acara ini merupakan program Kementerian Pengajian Tinggi Malaysia. Penyelenggaranya ditunjuk tiga universitas terkemuka di Malaysia, yaitu Universiti Kebangsaan Malaysia, Universiti Teknologi Malaysia, dan Universiti Malaya. Program ini dinamakan CLMV (Cambodia, Laos, Myanmar, dan Vietnam) yang bertujuan untuk membantu para pelajar dari negara dunia ketiga dalam artian negara berkembang supaya mempunyai minat dalam belajar STEM.

Melalui pemilihan yang dilakukan di universitas, alhamdulillah saya dan seorang lainnya yang juga mahasiswa S3 yang terpilih berasal dari Aceh, sedangkan 22 fasilitator lainnya mahasiswa pascasarjana asal Malaysia.


Ke luar dari Bandara Phnom Pehn menuju hotel, kami dijemput dengan bus dan dipandu oleh seorang guide bernama Som. Som banyak bercerita tentang Kamboja, di antaranya tentang mata uang dan makanan halal. Mata uang utama di negara ini bernama riel, tapi mata uang yang biasa gunakan dalam jual beli adalah adalah US dolar. Pecahan dolar yang paling kecil adalah 1 dolar, jika kita membeli suatu barang seharga 50 sen, maka mereka akan memberi kembalian dengan uang riel, yaitu 2.000 riel (karena 1 dolar setara dengan 4.000 riel. Jika dirupiahkan, sekitar Rp 13.000).

Masih menurut Som, mereka memakai dolar karena negara ini sedang berkembang dan rawan konflik, sehingga apabila mata uang riel jatuh mereka mempunyai dolar sebagai penstabil keuangan. Namun, yang ruginya jika dolar jatuh, maka perekonomian mereka pun ikut jatuh.

Mengenai makanan halal, Som bercerita bahwa di ibu kota negara bekas rezim Polpot ini sangat susah dijumpai makanan halal (halal food). Kalaupun ada, hanya terdapat beberapa tempat makanan halal dan ini pun sangat mahal. Misalnya, untuk sekali makan siang atau makan malam, lazimnya menghabiskan USD 7, yaitu setara dengan Rp 91.000 per orang dengan menu biasa. Harga ini sangat fantastis jika dibandingkan dengan harga makan siang atau makan malam di Aceh dengan menu yang sama, bisa dinikmati oleh 4-5 orang.

Saya pun merasakan apa yang Som katakan, karena selama saya berada di Phnom Penh, baik di hotel, di pusat perbelanjaan, di tempat wisata, maupun di Norton University, sangatlah susah dijumpai makanan halal. Untuk menyiasatinya ketika waktu sarapan pagi kami memilih tidak makan makanan yang telah disediakan oleh pihak hotel karena tidak terjamin kehalalannya. Kebetulan saya dan rombongan membawa mi instan, roti, milo, dan makanan ringan lainnya dari Malaysia, maka inilah yang menjadi makanan sarapan pagi dan snack kami selama di sini.

Untuk makan siang dan makan malam kami dibawa ke rumah makan muslim Melayu khas Malaysia seperti Wau Restoran dan Ah Man Green Restoran. Jika di Aceh restoran adalah sebuah rumah makan yang mewah dan dilengkapi dengan AC, namun sangat berbeda dengan dua restoran yang saya kunjungi ini. Kondisinya hampir sama dengan warung kopi sederhana di Aceh, tempatnya kecil dan tak ber-AC.

Pada hari keempat saya di Kamboja, ketika saya dan rombongan menuju Sekolah Menengah Ma'had Haji Fickry di Provinsi Kampong Cham kami singgah sebentar di Pasar Skun Day Street. Pasar ini hampir sama dengan hari pekan (uroe ganto) tingkat kecamatan di Aceh, namun tetap saja di pasar ini tidak dijumpai makanan halal. Kawasan ini sangat terkenal dengan makanan goreng seperti ulat goreng, katak goreng, laba-laba goreng, kumbang goreng, dan jangkrik goreng, bahkan lipan goreng. Harga gorengan ini untuk dua ons bisa dibeli dengan harga 1.000-2.000 riel (Rp 3.250-Rp 6.500).

Chensi, salah seorang mahasiswa Norton University yang ikut bersama rombongan kami, menjelaskan bahwa kawasan ini sangat terkenal dengan makanan binatang goreng dan menjadi makanan istimewa penduduknya yang sebagian besar beragama Budha.

Kabarnya, asal mula makanan ini menjadi makanan istimewa bagi penduduk di kawasan ini disebabkan pada rezim Polpot mereka sangat susah mendapatkan makanan, sedangkan binatang-binatang itu sangat mudah didapatkan. Oleh itu, sampai sekarang makanan tersebut menjadi makanan favorit mereka dan juga sebagai salah satu daya tarik wisatawan ketika berkunjung ke tempat tersebut.

Untuk itu, berbahagialah kita di Aceh yang mayoritas penduduknya muslim dan sangat mudah mendapatkan makanan halal. Bisa pula diperoleh dengan harga yang terjangkau.


http://aceh.tribunnews.com/2015/05/2...lal-di-kamboja

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel