#IniIndonesiaku, dan Beliau Muhammad Ainun Nadjib. Kyaiku.
Sunday, August 19, 2018


1. LAUTAN JILBAB DI UGM

Quote:
Berikut merupakan penggalan sebuah syair yang "dulu" sangat populer di berbagai kalangan. Saking populernya puisi tersebut dibuatkan sebuah drama berdasarkan puisi tersebut. Tetapi tahukah teman-teman, kenapa puisi itu sangat fenomenal di tahun '80an. Siapakah yang membuatnya? Ada fakta apa dibalik pembuatan puisi tersebut?
Pada kurun akhir tahun '70-an penggunaan jilbab sebagai busana wanita semakin semarak, ramai digunakan. Banyak siswi sekolah umum yang pada waktu itu mulai memakai jilbab di sekolah. Namun demikian, pada waktu itu pemakaian jilbab tak sampai berkembang seperti sekarang ini. Pemerintah Orde Baru (Pemerintahan Soeharto) yang alergi pada penampakan ekspresi keislaman, melarang pemakaiannya di sekolah negeri pada 1982.
Ternyata pelarangan penggunaan jilbab sebagai busana tak hanya terjadi di Indonesia. Tepatnya di Inggris dan Perancis, Siswi muslim di sana juga mengalami hal yang serupa. Muhammad Ainun Nadjib—seorang penyair dan dramawan muda yang sedang naik daun—gelisah dengan fenomena seperti itu. Baginya, pelarangan tersebut adalah pelanggaran kehidupan dan karenanya harus diprotes [*1].
Kegelisahan itu beliau tuangkan dalam sebuah puisi berjudul "Lautan Jilbab". Puisi itu—yang ditulisnya secara spontan—lantas ia bacakan dalam forum "Ramadhan on Campus" [*2] yang diselenggarakan Jamaah Shalahuddin UGM pada Mei 1987. Ia naik panggung usai penyair senior Taufiq Ismail. Tak dinyana, "Lautan Jilbab" mendapat respon yang meriah dari sekitar 6.000 orang yang hadir.
"Pakai jilbab atau tak berjilbab," kata Emha, "adalah otoritas pribadi setiap wanita. Pilihan atas otoritas itu silahkan diambil dari manapun: dari studi kebudayaan, atau langsung dari kepatuhan teologis. Yang saya perjuangkan bukan memakai jilbab atau membuang jilbab, melainkan hak setiap manusia untuk memilih," Cak Nun [*3].
Pentas Lautan Jilbab yang diselenggarakan Jama'ah Shalahuddin sekitar 1986/89 (tolong dikoreksi) telah mengubah peta perempuan di Indonesia. Sosiolog Belanda yang perhatian pada perkembangan Indonesia, Niels Mulder, mengatakan bahwa sejak pentas Lautan Jilbab Jama'ah Shalahuddin dilakukan maka pakaian muslim jilbab telah ikut menjadi budaya masyarakat. Padahal Lautan Jilbab adalah sebuah puisi dadakan yang ditulis Emha Ainun Nadjib ketika harus merespon dan tampil di acara Pentas Seni Ramadhan Di Kampus Jamaah Shalahuddin UGM, Yogya, 1986. [*4]
Hingga pada akhirnya pada tahun 1991 larangan berjilbab bagi siswi sekolah negeri akhirnya secara resmi dilarang. Namun bukan Cak Nun namanya jika bukan manusia kritis, selang setahun setelah itu beliau kembali memanggungkan lakon protes bertajuk Perahu Retak kali ini rezim Soeharto lagi-lagi menjadi sasaran beliau.
2. Tukang Protes Sejak Kecil

Protes seakan sudah menjadi ciri khas dari seorang manusia berjuluk Emha. Sudah sejak sangat belia beliau sudah melakukan protes sana-sini. Salah satu kisah protesnya yang cukup terkenal di kalangan Jamaah Maiyah—komunitas yang secara istiqomah beliau asuh—di antaranya terjadi ketika masih di bangku sekolah dasar.
Alkisah, pada waktu di bangku sekolah Emha terlambat datang ke sekolah karena suatu alasan. Atas kesalahannya itu ia rela saja dihukum berdiri di depan kelas seharian. Lain waktu salah seorang gurunya terlambat mengajar. Bagi Emha aturan harus ditegakkan dan mengikat bagi semuanya, entah guru entah murid. Jadilah ia 'menghukum' gurunya itu untuk keliling lapangan sambil menggotong sepeda. Jelas saja, tidak usah ditanya, sang guru marah besar padanya dan langsung saja Emha dikeluarkan dari sekolah tersebut. [*5]
Cerita protes dari Emha tidak berhenti di situ saja, setelah kejadian di atas : Emha yang masih belia lantas dikirim mondok ke Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo. Kebetulan di sana ada kakak beliau, sering disapa Cak Fuad. Sang kakaklah yang mengurusi hampir semua keperluan Emha selama di Ponorogo. Cak Fuad cukup senang adiknya yang "mbeling" [*6] itu akhirnya diterima nyantri dan menjalani lakon tertib dan disiplin di pondok.
Seperti roda yang berputar, kejadian di atas berulang. Kali ini ia memobilisasi protes terhadap petugas keamanan pesantren yang menurutnya zalim. Gara-gara itu, seperti diakuinya sendiri dalam buku terbarunya, Kiai Hologram (2018: 29), Emha diusir dari Gontor.
Jiwa protes tersebut semakin meluap-meluap saat terjadinya rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto pada waktu itu. Melalui sastra, drama, essay, puisi beliau mengkritik habis-habisan fenomena-fenomena yang menurutnya janggal. Seperti puisi Lautan Jilbab (1986, tentang pelarangan jilbab di rezim Soeharto), Geger Wong Ngoyak Macan (1989, tentang pengkultusan) , Keajaiban Lik Par (1980, tentang eksploitasi rakyat oleh berbagai institusi modern), Mas Dukun (1982, tentang gagalnya lembaga kepemimpinan modern) Kemudian bersama Teater Salahudin mementaskan Santri-Santri Khidhir (1990, di lapangan Gontor dengan seluruh santri menjadi pemain, serta 35.000 penonton di alun-alun madiun), Kiai Sableng dan Baginda Faruq (1993). Juga mementaskan Perahu Retak (1992, tentang Indonesia Orba yang digambarkan melalui situasi konflik pra-kerajaan Mataram, sebagai buku diterbitkan oleh Garda Pustaka), di samping Sidang Para Setan, Pak Kanjeng, serta Duta Dari Masa Depan. dll.

3. SALAH SATU SAKSI HIDUP REFORMASI REZIM SOEHARTO

Quote:
Di saat orang takut, bersembunyi atas kekharismaan, keperkasaan kuasa Pak Harto yang berlangsung 32 tahun itu ada banyak manusia yang dari bawah turut andil untuk menginginkan Pak Harto turun. Salah satunya adalah Emha.
Namun jika dilihat, berbeda dengan cara orang lain yang berprotes dengan secara konvensional, Emha berprotes dengan jalan sowan [*7] ke Pak Harto. Alhasil, Presiden yang berkuasa 32 tahun itu luluh juga hatinya untuk bersedia untuk lengser keprabon.
Bahkan tak hanya itu, Emha dengan sigap berhasil membuat surat sumpah dengan empat poin pernyataan :
Quote:
Rencananya, sumpah itu akan dibacakan oleh Pak Harto dalam sebuah upacara di Masjid Baiturrahman, pada tanggal 21 Mei 1999, setahun setelah lengser. Namun hal itu tak jadi dilakukan lantaran ada isu yang mengatakan bahwa itu merupakan akal-akalan Pak Harto agar bisa lepas dari jeratan hukum.
Nyatanya sekarang adalah Pak Harto tak pernah diadili [*8]. Lagi-lagi ide Cak Nun ditolak. Namun, dia tak pernah menujukkan kemarahannya. Dia tetap istiqomah dengan jalannya.
Quote:
Quote:
Sumber Artikel :
http://kenduricinta.com/v5/kronik-mei-1998/
https://id.wikipedia.org/wiki/Emha_Ainun_Nadjib
[url=http://sejarahri.com/sepak-terjang-cak-nun-untuk-reformasi/]http://sejarahri.com/sepak-terjang-cak-nun-untuk-reformasi/[/url]
https://tirto.id/cak-nun-kiai-mbelin...an-sastra-cLrW