Menguji Nasionalisme Rini dalam Gurita Migas Soemarno



APBN cekak, utang pemerintah RI menumpuk, neraca perdagangan defisit gila-
gilaan karena impor migas. Kenaikan harga minyak dan penguatan dollar AS
terhadap Rupiah menjadi beban terbesar perekonomian RI. Sebab kita mengimpor
migas yang di gali dari bumi nusantara, jauh-jauh ke Singapura. Pakai harga spot
(pasar) pula, demi Menteri BUMN Rini Soemarno dan Ari Soemarno pengendali ISC
(Integrated Supply Chain).

Haruskah kita terus membebani APBN demi kerajaan bisnis keluarga Soemarno?
Karena, jika hal ini terus dibiarkan, defisit perdagangan migas akan selalu
bertambah. Jika selama semester I tahun 2018 dilaporkan telah terjadi defisit
sebanyak lima kali, bagaimana nasib neraca perdagangan Indonesia selama paruh
kedua 2018 nanti? Bila impor migas kian tinggi pada bulan-bulan berikutnya, maka
kinerja perdagangan nonmigas sebaik apa pun tak akan cukup kuat untuk
mengimbanginya.

Terkait hal ini, beberapa waktu lalu Bank Indonesia mencatat defisit neraca
pembayaran sepanjang kuartal II/2018 mencapai USD 4,3 miliar. Realisasi ini
dikontribusi oleh defisit pada neraca perdagangan migas. Sederhananya, transaksi
impor migas kita lebih tinggi dibanding ekspornya. Sehingga, surplus transaksi
modal dan investasi tak mampu menekan laju defisit.

Hal ini juga dipertegas dengan terkesan enggannya para pemegang kendali sektor
migas di Tanah Air untuk mengurangi ketergantungan pada impor migas. Impor
migas (yang kemudian dikonsumsi hingga satu juta barrel lebih per harinya), masih
tetap menunjukkan angka yang dominan terhadap ekspor nonmigas Indonesia,
padahal Pemerintah sedang gencar-gencarnya mengupayakan peningkatan ekspor
nonmigas.

Pengelolaan minyak mentah menjadi bahan bakar minyak siap pakai semestinya
mampu diterapkan oleh pemegang kendali sektor migas di Indonesia. Namun,
beberapa pejabat malah menyatakan bahwa Indonesia belum mampu mengolah
sendiri minyak bumi hingga siap dikonsumsi.

Kilang-kilang minyak yang ada kini hanya mampu menyuling minyak mentah,
sementara untuk pengolahan selanjutnya, harus dilakukan di luar negeri oleh
perusahaan asing. Sederhananya, kita mengekspor minyak mentah yang kita
hasilkan dari bumi Nusantara, kemudian balik mengimpor dalam keadaan siap
konsumsi.

Kementerian BUMN yang membawahi instansi-instansi yang secara langsung
berhubungan dengan tata kelola migas seperti Pertamina, selama ini terkesan 'tutup
mata' dengan kondisi tersebut, dan lebih memilih untuk melakukan impor migas
walau APBN kian terbebani.

Ironisnya lagi, walau perusahaan yang dikendalikan oleh Riza Chalid bernama
Pertamina Energy Trading Limited (PETRAL) yang sebelumnya menguasai impor
migas telah dibubarkan pada Mei 2015, monopoli impor migas Indonesia tampak
masih terus berjalan, melalui Integrated Supply Chain (ISC), anak perusahaan

Pertamina yang dikendalikan oleh Mafia Migas Pengganti Riza Chalid yaitu Ari
Soemarno.

ISC memakai Pola Tender Bebas Ekspor Migas di Singapura dengan Harga Spot,
lantaran Transparansi dan Liberalisasi Pasar merupakan satu-satunya 'istilah' yang
dapat digunakan untuk meruntuhkan PETRAL, agar jaringan migas ISC dapat
merebut posisi sebagai Pemasok Impor Migas.

Karenanya, tak peduli APBN terbebani, impor migas dari ISC harus jalan terus. Ini
juga yang membuat walaupun neraca perdagangan Indonesia defisit karena migas
sebagai faktor penentu terbesar, tak diupayakan adanya perubahan pola, walaupun
sebagian besar migas yang diimpor tersebut ditambang dari blok-blok migas milik
perusahaan-perusahaan asing di Indonesia.

Jadi, semestinya dalam kondisi APBN yang defisit seperti saat ini, Menteri BUMN
bisa mengubah pola pasokan migas dengan sistem B2B (Business to Business)
Pertamina dengan perusahaan migas asing yang beroperasi di Indonesia memakai
Harga Negosiasi, ketimbang terus mengimpor migas (yang digali di Indonesia)
melalui ISC di Singapura memakai Harga Spot.

Pertanyaan kini adalah:

Mampukah Menteri BUMN Rini Soemarno tidak mengalami benturan kepentingan
dengan kerajaan bisnis keluarganya dalam mencari solusi defisit impor migas?

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel