Agan gampang dibohingi orang dekat? Mungkin ini penyebabnya
Friday, October 12, 2018

Sebelumnya ane udah ngeposting kenapa orang suka berbohong.
:malu
Nah di artikel ini, kita liat dari sudut pandang lain. Kenapa kita mudah banget dibohongin orang lain, terutama ama orang deket seperti keluarga, teman, rekan kerja dan pasangan
:hammer
Dari pada bingung nyari jawabannya, simak aja langsung dah gan
:cystg
Quote:

Ilustrasi orang penasaran. | Khosro /Shutterstock
Begitu banyak hal kita percayai meskipun bukti pendukungnya hanya sedikit. Padahal, konsekuensi terburuk dari mudah percaya adalah dibohongi.
Kebohongan yang disampaikan orang dekat seperti teman, keluarga, atau pasangan pun cenderung lebih mudah dipercaya. Kenapa begitu?
Secara evolusioner, manusia belajar bertahan hidup dan bekerja sama membangun hubungan sosial dimulai dengan memercayai orang terdekatnya.
Kepercayaan itu lantas berkembang pada nonkerabat dan menjadi kecenderungan alami manusia untuk berkomunikasi langsung dengan orang lain. Ini menunjukkan bahwa seseorang bisa diandalkan dan dipercaya.
Di sisi lain, membuatnya mudah tertipu karena kedekatan juga bisa dipupuk hingga titik tertentu lewat tindakan berbohong.
Contohnya kebohongan tanggal 1 April (April mop). Bila tidak sadar itu tanggal 1 April, mungkin reaksi pertama Anda ketika dibohongi adalah percaya, alih-alih merasa dibohongi.
Ini sangat lazim karena otak manusia memproses informasi dengan cara yang bias. Ada banyak teori yang mengemukakan kecenderungan bias manusia.
Salah satunya yang disebut psikolog evolusioner sebagai "bias positif", di mana otak dirancang untuk menganggap kebanyakan orang bertindak dengan cara yang jujur dan tulus.
Bias positif, selain memungkinkan kita lebih disukai orang lain, juga membuat ambang penerimaan lebih rendah alias tidak kritis, sehingga lebih mudah percaya pada suatu kebohongan.
Tentu saja bias positif tidak berlaku terus menerus karena kita hanya menerapkannya pada orang yang dikenal atau layak menurut kita. Ada kalanya pula seseorang sadar—meskipun hanya secara intuitif--bahwa orang lain sedang memanipulasinya demi tujuan pribadi.
Pasalnya, tiap manusia memiliki rasa takut akan kebodohan atau sugrofobia. Selain itu, menurut psikolog pemenang Nobel, Daniel Kahneman, kita telah berevolusi dengan dua konsep pemikiran, yakni sistem pemikiran pertama yang intuitif layaknya nenek moyang kita, dan sistem pemikiran kedua yang analitik dan lebih rasional.
Akan tetapi, kata Paul Ekman, seorang profesor emeritus psikologi di University of California, San Francisco, sekalipun mampu berpikir rasional, jika sumbernya adalah orang yang dikenal, seseorang tetap saja bisa mudah dibohongi karena adanya keinginan untuk percaya. Bahkan sampai memberi kesempatan kedua.
Faktor keinginan ini mengacu pada konstruksi psikologis yang disebut "disonansi kognitif", yakni ketika Anda meyakinkan diri sendiri untuk percaya—sekalipun tidak benar--pada hal-hal yang ingin Anda percayai, dan mengabaikan fakta yang tidak ingin Anda yakini.
Ekman mencontohkan, ketika Anda tidak yakin pada kesetiaan pasangan lalu ditawari cara untuk mengetahui apakah ia mengkhianati Anda, kemungkinan besar Anda akan tertarik. Namun, ketika cara itu siap dilancarkan, boleh jadi Anda urung dan lebih memilih ingin percaya. Jadi, semacam melakukan penyangkalan disengaja.
Secara teknis, teori dan contoh yang dikemukakan Ekman senada dengan dua teori lain yang menjelaskan alasan orang mudah dibohongi.
Pertama, bias konfirmasi. Yakni aksi mencari pembenaran untuk mengonfirmasi keyakinan, dengan mengabaikan informasi (valid) yang bertentangan dan justru memilih informasi yang meragukan.
Bias konfirmasi ditemukan dalam satu studi sebagai pemicu kabar hoax.
Kedua, "cognitive misers" atau kikir secara kognitif, yang menggambarkan otak kita lebih memilih memercayai intuisi ketimbang analisa sebagai cara instan tanpa repot.
Contoh terkenal dari teori ini adalah suatu kondisi yang disebut "ilusi Musa"—disimpulkan berdasarkan pertanyaan survei "Berapa banyak jenis hewan yang dibawa Musa ke bahteranya?"
Ilusi Musa menjelaskan bahwa kita begitu mudah mengacuhkan detail sebuah pernyataan, karena ada hal lain yang dinilai lebih menarik. Sekitar 10-50 persen orang yang disurvei gagal menyadari bahwa yang memiliki bahtera itu adalah Nuh, bukan Musa.
Jadi, walaupun kita tahu harus merunut fakta dan bukti, kita tetap menggunakan perasaan berdasarkan penilaian diri sendiri terhadap apa yang benar dan salah.
Efek kebohongan dari ilusi Musa ini, meski awalnya bisa saja menimbulkan keraguan, akan diyakini sebagai kebenaran mutlak bila disampaikan berulang-ulang.
Selain penjelasan di atas, ada banyak faktor yang membuat kita lebih mudah dibohongi.
Suasana hati misalnya, bisa memengaruhi cara kita memproses kebohongan. Orang yang sedang senang justru lebih sembrono dibanding orang yang marah saat dibohongi. Suasana hati negatif membantu kita lebih fokus dan berhati-hati dalam memilh informasi.
Lalu, orang yang merasa lebih cerdas ketimbang orang lain juga cenderung lebih mudah dibohongi. Sebabnya, karena merasa lebih banyak tahu mereka cenderung enggan memperhatikan fakta.
Orang pun cenderung mudah dibohongi jika berkaitan dengan status dan identitas sosial. Cara ini sering dimanfaatkan dunia pemasaran dan periklanan.
Misalnya, iklan barang bermerek secara halus bisa menarik kita untuk memenuhi kebutuhan sosial tadi, walau nyatanya status dan identitas nyata tak bisa diperoleh hanya dengan membeli produk.
Kebohongan yang disampaikan orang dekat seperti teman, keluarga, atau pasangan pun cenderung lebih mudah dipercaya. Kenapa begitu?
Secara evolusioner, manusia belajar bertahan hidup dan bekerja sama membangun hubungan sosial dimulai dengan memercayai orang terdekatnya.
Kepercayaan itu lantas berkembang pada nonkerabat dan menjadi kecenderungan alami manusia untuk berkomunikasi langsung dengan orang lain. Ini menunjukkan bahwa seseorang bisa diandalkan dan dipercaya.
Di sisi lain, membuatnya mudah tertipu karena kedekatan juga bisa dipupuk hingga titik tertentu lewat tindakan berbohong.
Contohnya kebohongan tanggal 1 April (April mop). Bila tidak sadar itu tanggal 1 April, mungkin reaksi pertama Anda ketika dibohongi adalah percaya, alih-alih merasa dibohongi.
Ini sangat lazim karena otak manusia memproses informasi dengan cara yang bias. Ada banyak teori yang mengemukakan kecenderungan bias manusia.
Salah satunya yang disebut psikolog evolusioner sebagai "bias positif", di mana otak dirancang untuk menganggap kebanyakan orang bertindak dengan cara yang jujur dan tulus.
Bias positif, selain memungkinkan kita lebih disukai orang lain, juga membuat ambang penerimaan lebih rendah alias tidak kritis, sehingga lebih mudah percaya pada suatu kebohongan.
Tentu saja bias positif tidak berlaku terus menerus karena kita hanya menerapkannya pada orang yang dikenal atau layak menurut kita. Ada kalanya pula seseorang sadar—meskipun hanya secara intuitif--bahwa orang lain sedang memanipulasinya demi tujuan pribadi.
Pasalnya, tiap manusia memiliki rasa takut akan kebodohan atau sugrofobia. Selain itu, menurut psikolog pemenang Nobel, Daniel Kahneman, kita telah berevolusi dengan dua konsep pemikiran, yakni sistem pemikiran pertama yang intuitif layaknya nenek moyang kita, dan sistem pemikiran kedua yang analitik dan lebih rasional.
Akan tetapi, kata Paul Ekman, seorang profesor emeritus psikologi di University of California, San Francisco, sekalipun mampu berpikir rasional, jika sumbernya adalah orang yang dikenal, seseorang tetap saja bisa mudah dibohongi karena adanya keinginan untuk percaya. Bahkan sampai memberi kesempatan kedua.
Faktor keinginan ini mengacu pada konstruksi psikologis yang disebut "disonansi kognitif", yakni ketika Anda meyakinkan diri sendiri untuk percaya—sekalipun tidak benar--pada hal-hal yang ingin Anda percayai, dan mengabaikan fakta yang tidak ingin Anda yakini.
Ekman mencontohkan, ketika Anda tidak yakin pada kesetiaan pasangan lalu ditawari cara untuk mengetahui apakah ia mengkhianati Anda, kemungkinan besar Anda akan tertarik. Namun, ketika cara itu siap dilancarkan, boleh jadi Anda urung dan lebih memilih ingin percaya. Jadi, semacam melakukan penyangkalan disengaja.
Secara teknis, teori dan contoh yang dikemukakan Ekman senada dengan dua teori lain yang menjelaskan alasan orang mudah dibohongi.
Pertama, bias konfirmasi. Yakni aksi mencari pembenaran untuk mengonfirmasi keyakinan, dengan mengabaikan informasi (valid) yang bertentangan dan justru memilih informasi yang meragukan.
Bias konfirmasi ditemukan dalam satu studi sebagai pemicu kabar hoax.
Kedua, "cognitive misers" atau kikir secara kognitif, yang menggambarkan otak kita lebih memilih memercayai intuisi ketimbang analisa sebagai cara instan tanpa repot.
Contoh terkenal dari teori ini adalah suatu kondisi yang disebut "ilusi Musa"—disimpulkan berdasarkan pertanyaan survei "Berapa banyak jenis hewan yang dibawa Musa ke bahteranya?"
Ilusi Musa menjelaskan bahwa kita begitu mudah mengacuhkan detail sebuah pernyataan, karena ada hal lain yang dinilai lebih menarik. Sekitar 10-50 persen orang yang disurvei gagal menyadari bahwa yang memiliki bahtera itu adalah Nuh, bukan Musa.
Jadi, walaupun kita tahu harus merunut fakta dan bukti, kita tetap menggunakan perasaan berdasarkan penilaian diri sendiri terhadap apa yang benar dan salah.
Efek kebohongan dari ilusi Musa ini, meski awalnya bisa saja menimbulkan keraguan, akan diyakini sebagai kebenaran mutlak bila disampaikan berulang-ulang.
Selain penjelasan di atas, ada banyak faktor yang membuat kita lebih mudah dibohongi.
Suasana hati misalnya, bisa memengaruhi cara kita memproses kebohongan. Orang yang sedang senang justru lebih sembrono dibanding orang yang marah saat dibohongi. Suasana hati negatif membantu kita lebih fokus dan berhati-hati dalam memilh informasi.
Lalu, orang yang merasa lebih cerdas ketimbang orang lain juga cenderung lebih mudah dibohongi. Sebabnya, karena merasa lebih banyak tahu mereka cenderung enggan memperhatikan fakta.
Orang pun cenderung mudah dibohongi jika berkaitan dengan status dan identitas sosial. Cara ini sering dimanfaatkan dunia pemasaran dan periklanan.
Misalnya, iklan barang bermerek secara halus bisa menarik kita untuk memenuhi kebutuhan sosial tadi, walau nyatanya status dan identitas nyata tak bisa diperoleh hanya dengan membeli produk.
Tenyata sifat mudah percaya emang diturunin dari nenek moyang dan itu memang udah alami karena kita ingin dipercaya dan mempercayai orang lain.
:matabelo
Selain itu, suasana hati juga berpengaruh ternyata. Kita akan sulit berbohong pada orang yang sedang marah karena orang marah akan sulit percaya pada orang lain karena lebih fokus dan berhati-hati
:nohope
Semoga artikel ane bermanfaat yah gan
:shakehand2
Quote:
:hn Buat liat informasi menarik lainnya seperti artikel di atas bisa liat di sini :cystg
Jangan lupa rate bintang 5, tinggalin komentar dan bersedekah sedikit cendol buat ane dan ane doain agan makin ganteng dan cantik deh :cendolgan
SUMUR :
Beritagar.id
Jangan lupa rate bintang 5, tinggalin komentar dan bersedekah sedikit cendol buat ane dan ane doain agan makin ganteng dan cantik deh :cendolgan
SUMUR :
Beritagar.id
Quote:
Jangan lupa kunjungi thread ane yang lain gan :thumbup:thumbup
Inilah alasan mengapa orang berbohong
'Dewa' penolong di tengah bencana Donggala
Baru hadir di indonesia Realme keluarkan 3 jagoan dengan spek dan harga terjangkau
Buat agan yang nyari kerja, hindari 5 kesalahan ini saat diwawancara
Warner Bros dekati Margot "Harley Quinn" Robbie untuk perankan Barbie
Efek buang air besar sambil main hp bagi kesehatan
Sekolah terlalu pagi gak efektif, ente setuju?
Data bocor, Google+ bakal ditutup untuk publik
Melihat baik buruknya kerokan dari sudut pandang ilmiah
Berpelukanlah karena itu menyehatkan
Inilah alasan mengapa orang berbohong
'Dewa' penolong di tengah bencana Donggala
Baru hadir di indonesia Realme keluarkan 3 jagoan dengan spek dan harga terjangkau
Buat agan yang nyari kerja, hindari 5 kesalahan ini saat diwawancara
Warner Bros dekati Margot "Harley Quinn" Robbie untuk perankan Barbie
Efek buang air besar sambil main hp bagi kesehatan
Sekolah terlalu pagi gak efektif, ente setuju?
Data bocor, Google+ bakal ditutup untuk publik
Melihat baik buruknya kerokan dari sudut pandang ilmiah
Berpelukanlah karena itu menyehatkan
